Saat memulai tulisan ini, saya memerlukan beberapa batang rokok agar mampu fokus dan menghayati apa yang akan saya berikan kepada Zaskia Gotik. Kalian tentu mengenalnya, sebagaimana saya mengenalnya, namun dia tak mengenal saya dan (mungkin) kalian. Karena saya merokok, kurang lengkap rasanya jika tidak ditemani secangkir kopi.
Orang-orang tua seperti Gibran, salah satu penulis Sediksi, sering berpetuah tentang hubungan unik antara rokok dan kopi. Ia mengutip banyak penelitian ketika bertutur tentang rokok dan kopi. Konon, kopi mampu menghilangkan dampak negatif dari rokok. Sebaliknya, orang yang ngopi tanpa merokok, seperti menikmati kehidupan bermahasiswa tanpa mengakhirinya dengan skripsi: kenikmatan yang tak akan tuntas.
Karena itu, saya berusaha menyeduh kopi untuk melengkapi pilihan hidup saya sebagai perokok. Akan tetapi, saya tidak perlu mencari biji kopi terbaik dan mengolahnya hingga menjadi secangkir kopi siap saji lengkap dengan makna filosofis pada tiap racikannya. Sebab, kisah yang demikian sudah pernah ditulis Dee – nama pena Dewi Lestari – dalam cerpen Filosofi Kopi yang akhirnya di-film-kan.
Saya hanya perlu mengambil cangkir, gula, kopi, dan air panas, serta sendok kecil untuk mengaduk racikan hingga menjadi secangkir kopi tanpa sianida yang siap saji. Saya ingin meminum secangkir kopi ini berdua bersama Zaskia Gotik. Tentu saja, keinginan ini utopis, tapi saya tetap berhak memiliki keinginan. Terlebih, sejak menulis judul tulisan ini saya telah mendeklarasikan diri sebagai fans berat artis yang sekarang jadi Duta Pancasila itu.
Kenapa saya ngefans Zaskia Gotik? Alasannya ya seperti yang sudah sedikit saya singgung, adalah karena dia Duta Pancasila. Sebagai warga negara yang baik, saya merasa berkewajiban menjunjung tinggi hal-hal yang berkaitan dengan dasar negara, termasuk orang yang ditunjuk sebagai Duta Pancasila. Dengan demikian, saya membantah pendapat M. Erza Wansyah dalam yang meminta Julian Assange ke Indonesia karena Pancasila membutuhkannya. Saya tegaskan, tidak! Pancasila hanya butuh Zaskia Gotik, karena dialah Duta Pancasila.
Pokoknya, saya harus menghormati Zaskia Gotik, tanpa perlu mempertimbangkan masa lalunya yang pernah melecehkan Pancasila. Saya juga tidak boleh ikut-ikutan tingkah-polah netizen yang repot-repot membuat petisi kecaman terhadap Zaskia Gotik karena dijadikan Duta Pancasila.
Menurut saya, kita harus paham bahwa kita hidup di Indonesia. Di negeri ini, mantan pecandu narkoba bisa dilantik sebagai duta anti-narkoba. Kita harus belajar dari kasus itu, meskipun seringkali si duta anti-narkoba tersebut kembali menjadi pecandu dan harus menjalani rehabilitasi lagi. Ah, itu kan hanya pengecualian. Kalau Zaskia Gotik nantinya sukses mempromosikan Pancasila sebagaimana tugasnya sebagai duta, bisa jadi KPK terinspirasi menjadikan mantan terpidana korupsi kelas kakap sebagai duta anti-korupsi. Ya, kita harus optimis.
Karena itu, saya ingin memberikan secangkir kopi yang harus saya nikmati berdua dengan duta kita ini. Saya ingin menikmati kopi itu sambil berdiskusi tentang Pancasila, barangkali seperti yang pernah dilakukan Bung Karno, Bung Hatta, Pak Yamin, dan tokoh-tokoh lain yang terlibat merumuskan Pancasila dulu. Saya menduga, mereka mampu merumuskan pemikiran tentang Pancasila karena pengaruh kopi dan beberapa batang rokok.
Terkait Pancasila, saya ingin menyampaikan kepada Zaskia Gotik apa yang dikatakan guru SD saya dulu. Konon, struktur Pancasila bersifat hierarki. Artinya, dalam implementasi pada kehidupan berbangsa dan bernegara, kita perlu mendahulukan sila pertama, kemudian sila berikutnya, hingga tercipta cita-cita yang tertuang di sila kelima. ‘Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia’ merupakan hal ideal yang mungkin tercapai jika sila-sila sebelumnya sudah terealisasi dengan benar. Jika hal ideal itu belum terwujud, patut diduga sila keempat, yakni ‘Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan, dalam Permusyawaratan Perwakilan’ belum terlaksana seutuhnya.
Sila tersebut berbicara tentang sistem ketatanegaraan. Kita memiliki Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, akan tetapi orang-orang yang memiliki hak bermusyawarah dan menjadi wakil rakyat tidak benar-benar merepresentasikan perwakilan rakyat, tidak benar-benar menjalankan kepemimpinan berdasarkan ‘Hikmat Kebijaksanaan’, melainkan lebih cenderung berdasarkan ‘nikmat kepentingan’.
Artinya, ada yang belum beres pada ‘Persatuan Indonesia’, ‘Kemanusiaan yang Adil dan Beradab’, serta ‘Ketuhanan yang Maha Esa’. Tiga sila itu, menurut penafsiran saya berdasarkan sejumlah referensi dan perenungan, berbicara terkait para pihak yang bertindak mengurusi ketatanegaraan. Orang-orang yang berkecimpung dalam dunia politik, haruslah memiliki jiwa ‘Persatuan Indonesia’, dan memperhatikan ‘Kemanusiaan yang Adil dan Beradab’, serta senantiasa berpedoman pada nilai-nilai ketuhanan.
Tercetusnya ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ pada sila pertama, bagi saya menunjukkan bahwa sebenarnya negeri ini bukanlah negara sekular, meskipun pada realisasinya saat ini hampir segala hal diselenggarakan atas pertimbangan matrealistik. Sementara, ketuhanan tidak semestinya dipahami sebagai pengutamaan materi.
Dengan demikian, saya rasa Zaskia Gotik perlu sebuah terobosan dalam mengemban tugas sebagai Duta Pancasila. Dengan secangkir kopi yang sudah saya sajikan untuk diminum bersama ini, harapannya mampu membawa saya dan Zaskia untuk menghayati benar-benar apa yang terkandung dalam Pancasila untuk diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Barangkali, Zaskia bisa memulainya dengan mencetuskan revolusi goyang itik, untuk menuju goyang itik berbasis syariah.
Begitulah kiranya khasiat kopi bisa bereaksi. Lagi pula, saya benar-benar memerlukan kopi untuk tetap fokus dengan diskusi, supaya tidak beralih fokus dan justru meminta mbak Zaskia mempraktikkan goyang itik di depan saya. Sebab, orientasi saya bisa terancam salah kiblat dan dampaknya pasti fatal jika hal itu terjadi. Maka, izinkan saya menikmati secangkir kopi ini bersamanya. Selamat ngopi.