Punya teman macam Cak Anam bisa membuat saya macam Valentino Simanjutak, jebre! Bahkan meski posisi kami berjauhan, kami masih berbasa-basi lewat chat, berbagi kabar, kemudian pisuh-pisuhan tentang bola. Terakhir dia mengajak saya menghadiri pertandingan klasik Persebaya Surabaya melawan Persib Bandung: dua tim yang punya kedekatan emosional–dari pemain, admin medsos, hingga supporternya. Cak Anam adalah seorang Arek Bonek, dan saya adalah Bobotoh Kultural garis tegas.
Ajakannya untuk menonton langsung pertandingan kedua tim besar ini tentu tidak saya tolak. Tapi saya hanya meragukannya dengan bertanya soal ketersediaan tiket yang sulit didapat pada momen-momen pertandingan besar dan penuh gengsi ini. Kalaupun bisa mendapatkan tiket dari calo, harganya akan melambung lebih tinggi.
Cak Anam menjamin kedatangan saya dengan dua tiket untuk kami berdua. Saya tidak menanyakannya lebih jauh soal tiket, yang penting saya bisa mendapatkan tiket dengan harga yang masih terjangkau. Akhirnya dengan modal membongkar celengan seadanya, saya berangkat ke Surabaya.
Di perjalanan menuju Surabaya, beberapa informasi sudah saya kumpulkan. Informasi sederhana bukan hanya seputar kedatangan suporter, tapi soal kesiapan kedua tim, analisis taktik dan prediksi pertandingan. Dengan modal ini, saya hendak datang tidak hanya untuk berteriak lantang agar tim Maung Bandung bisa mencetak banyak gol, tapi juga menikmati pertandingan dengan cara yang lumayan elegan. Wuih Edan lur!
Sesampainya di Surabaya, jalanan mulai ramai oleh rombongan Bonek, lengkap dengan atribut-atributnya. Sepanjang jalan, banyak dari mereka yang bernyanyi. Entah untuk apa meraka bernyanyi, padahal pertandingan belum dimulai, dan tidak digelar di jalanan.
Begitu pula rombongan Viking (supporter fanatik Persib) yang sudah ada di Surabaya. Kabarnya mereka datang berbondong-bondong—dengan kereta, bis, kendaraan pribadi, dan atau bobotoh liar seperti saya. Perkiraannya, saat itu ada 5000-an pendukung Persib yang akan ikut memenuhi stadion.
Di perjalanan menuju Gelora Bung Tomo, saya sempat berpikir—dimana saya akan duduk di tengah-tengah stadion. Saya memakai atribut sal dan jersey Persib yang KW. Sedangkan Cak Anam dengan jersey Persebaya-nya yang sudah lawas.
Karena saya tidak datang dengan banyak rombongan, jadi bisa lebih leluasa memilih tempat duduk. Saya dan Cak Anam memilih duduk di tribun atas sebelah timur bagian ujung. Jauh dari rombongan Viking, tapi dekat mba-mba dan penjual lumpia. Tidak terlalu bising, namun tetap bisa merasakan atmosfer pertandingan. Dan seperti yang sudah diprediksi jauh-jauh hari, Gelora Bung Tomo sore itu sangat sesak dan penuh meskipun pertandingan baru akan dimulai malam hari.
Pada masing-masing sudut tribun, banyak terpasang spanduk yang intinya berisi dukungan atau sekadar ingin nampil eksis–misalnya “I LOVE INDOSYAR, atau “Gol-in yang Banyak dong, Bang”. Di kejauhan, rombongan viking juga terlihat tepat di samping tribun VIP. Bonek dan Viking terlihat harmonis, tidak ada gesekan, dan asyik berbagi tribun.
Suppproter Indonesia dan Maraknya Nyanyian Rasis
Pertandingan digelar dengan ceria. Kedua kubu suporter saling bernyanyi untuk mendukung timnya. Prediksi saya saat itu, Persib bakal mengambil tiga poin dari Surabaya, dengan skor tipis, kira-kira 1-2. Cak Anam tertawa mendengar prediksi yang keluar dari mulut teman lamanya yang tak kunjung lulus ini. Saya pun ganti tertawa saat pertandingan berakhir, kesebelasan dari Bandung menyudahi pertandingan dengan skor tipis 3-4.
Prediksi saya benar soal Persib yang akan menang dengan skor tipis, tapi agak meleset pada skor akhir. Yang menjadi menarik, Persib unggul di kandang Persebaya dan selanjutnya merebut posisi puncak klasemen Gojek Traveloka Liga1. Pokoknya, pertandingan berlangsung menarik dengan banyak gol tercipta.
Berbicara soal supporter, tindakan dan nyanyian bernada rasial tampaknya masih sulit dihilangkan dari dunia persepakbolaan di Indonesia. Memang tidak ada chant rasis atau nyanyian penuh emosi yang ditujukan pada kedua tim yang sedang bertanding. Tapi justru ditujukan untuk musuh bebuyutan (lengkap supporternya) dari kedua tim yang jauh dari Surabaya. Jika kamu berada pada lingkaran-lingkaran elemen ini, kamu pasti tahu, tindakan dan nada rasial macam apa yang selalu diteriakan. Dan pada bagian-bagian lain sepakbola Indonesia, fenomena seperti ini sudah jadi rahasia umum. Kubu-kubu suporter saling bermusuhan, bahkan sampai banyak nyawa yang terenggut perkara hal beginian.
Persib-Viking selalu bermusuhan dengan Persija-Jakmania. Persebaya-Bonek selalu tidak bersahabat dengan Arema-Aremania. Dan ketika Persebaya-Persib cum Bonek-Viking bertemu, adalah ibarat momen yang paripurna untuk menghujat musuh mereka masing-masing dengan suhu yang lebih tinggi. Ini semakin menegaskan, kalau Persija-Jakmania bukan hanya musuh abadi Persib-Viking, tapi juga Persebaya-Bonek, begitu juga sebaliknya. Hal yang sama juga terjadi bagi kubu Persija-Arema cum Jak Mania-Aremania. Gini aja terus, sampai saya lulus, yha.
Rivalitas dalam dunia sepakbola memang sangat penting. Banyak suara rivalitas lain di ujung dunia yang menjadikan sepakbola lebih menarik. West Ham United-Millwall, derby AC Milan-Inter Milan, hingga FC Lowokwaru-Sukun United. Rivalitas di antara keduanya bukan hanya soal eksistensi kelompok supporter di luar lapangan, seperti yang banyak terjadi di Indonesia, tapi juga seputar prestasi tim kebanggaan. Bahkan Barcelona-Real Madrid, dilihat bukan hanya duel dua tim raksasa, tapi juga cerita Spanyol-Catalonia.
Yang menjadi menarik di Indonesia, adalah rivalitas dari fanatisme yang terlalu berlebihan. Utamanya dari kubu supporter. Supporter Indonesia, memang dikenal sebagai pendukung fanatik yang rela melakukan apa saja terhadap tim kebanggan mereka.
Bonek-Aremania dan Viking-Jakmania. Nada permusuhan selalu dihadirkan di mana saja saat tim mereka bermain, seperti air dan api yang tak pernah bisa bersatu. Memang, rivalitas dari kubu supporter di Indonesia ini bisa jadi juga berlatarbelakang persoalan filosofis. Tapi di luar itu, tidak jarang justru hanya karena fanatisme buta, nyawa bisa melayang begitu saja.
Saya tentu tidak sedang berkhutbah soal laku hidup para suporter. Juga tidak ingin menghapus fenomena rivalitas dalam dunia sepakbola. Rivalitas dalam sepakbola akan tetap ada dan menjadikannya lebih menarik. Tapi, supporter adalah bagian dari generasi bangsa yang harus dijaga, bukan malah meninggal dunia hanya karena ingin melihat dan mendukung tim kesebelasan berlaga. Melestarikan sepakbola, adalah juga melestarikan keberadaan supporter, bukan?
Suporter akan selalu jadi bagian terpenting dari sebuah tim sepakbola dan untuk sepakbola itu sendiri. Tim yang besar, tidak jarang adalah terdapat andil dari supporternya yang selalu mendukung sepanjang waktu. Namun, di samping itu kedewasaan menjadi suporter juga harus dipupuk. Fanatisme terhadap tim sepakbola sebaiknya tidak membuat kita lupa pada nilai-nilai kemanusiaan.
Mungkin, jika kita tidak bisa menjadi supporter yang radikal macam Zen RS, yang berani membentangkan spanduk “Turunkan Nurdin Halid” saat tim nasional Indonesia berlaga. Membagi-bagikan buletin perlawanan di stadion akibat buruknya pengelolaan federasi sepakbola di Indonesia.
Kita cukup jadi supporter yang biasa-biasa saja, tapi tetap cerdas. Berhenti menyanyikan chant bernada rasial, dan fokus untuk memberi semangat dan berdoa agar tim kesayangan kita meraih kemenangan. Selebihnya, kita semua bisa menikmati sepakbola bersama-sama. Barangkali itu lebih konkret daripada bunuh-bunuhan. Saya memilih menjadi suporter yang biasa saja. Nonton, makan lumpia, sesekali teriak, dan banyak berdoa. Kucinta bola tapi kusuda bosan dengan pembunuhan!