Tanpa Baliho, Caleg Jualan Apa?

Tanpa Baliho, Caleg Jualan Apa?

Tanpa Baliho, Caleg Jualan Apa?
Ilustrasi oleh Vivian Yoga Veronica Putri

Model kampanye lewat baliho terbukti lebih banyak mengundang cibiran netizen daripada simpati publik. Seolah tidak ada upaya terobosan aturan kampanye yang dilakukan agar para caleg lebih dikenal publik.

Pemilihan umum 2024 kurang dari dua minggu lagi. Drama-drama politik, ulasan-ulasan terkini dari pengamat politik, serta hasil survey elektabilitas sudah mewarnai jagad media sosial kita sebulan terakhir ini.

Hanya saja, saya merasakan semua gegap gempita pemilu kali ini, energinya hanya terfokus ke pilpres. Kita seolah lupa bahwa kita juga akan memilih anggota DPR.

Memilih anggota legislatif sama pentingnya dengan pemilihan presiden. Memproduksi undang-undang, menyetujui belanja negara, dan mengawasi kerja presiden adalah tugas anggota legislatif. Oposisi yang kuat harus ada di DPR. Oposisi yang berkualitas akan menjaga kewarasan jalannya pemerintahan.

Sayangnya, dalam 2 periode Presiden Joko Widodo menjabat, bisa kita lihat bagaimana kualitas legislatif kita. Tak ada oposisi yang kuat. Puncaknya, produk-produk legislasi DPR memuluskan langkah Presiden bekerja untuk kesejahteraan rakyat keluarganya dan oligarki.

Itulah hasil yang publik harus bayar dari memilih anggota DPR yang bermodalkan foto diri mengepal tangan di baliho jalan-jalan kota setiap 5 tahun sekali.

Baliho Miskin Gagasan

Calon anggota legislatif dan juga penyelenggara pemilu sepertinya tidak mengupayakan terobosan untuk membuat aturan kampanye bagi caleg agar lebih dikenal publik. Cara-cara lama, seperti memasang baliho, terbukti masih tetap digemari.

Kalau estetis, sih, masih bisa sedikit dimaafkan. Lah, ini isinya hanya memperlihatkan foto muka, jargon yang copywriting-nya minim gagasan, dan pemasangannya tidak mempertimbangkan lingkungan sekitarnya.

Model kampanye ini terbukti lebih banyak mengundang cibiran netizen daripada simpati publik. Bahkan sampai ada kasus pengendara motor mengalami kecelakaan karena tertimpa baliho caleg.

Akan ada 9.917 caleg DPR RI yang berkontestasi di pemilu nanti, dan ini baru di tingkat nasional. Belum termasuk tingkat Kabupaten dan Provinsi. Bayangkan, kurang lebih sebanyak itu orang-orang yang nggak begitu kita kenal mengotori pandangan kita dalam perjalanan pulang pergi dari kantor ke rumah selama satu bulan.

Lagian, apa fungsinya coba caleg menampilkan foto mukanya di baliho. Toh, di surat suara yang akan dicoblos tidak ada foto muka yang dipasang. Hanya ada logo partai dan nama caleg.

Bagi saya, baliho para caleg ini nilainya tidak lebih dari coretan vandal di dinding-dinding kota. Coretan “dilarang kencing di sini” jadi lebih punya makna dibanding baliho caleg. Coretan-coretan di dinding merupakan ekspresi dan respons warga terhadap lingkungan sekitar tempat coretan terjadi.

“Dilarang kencing di sini” adalah bukti keresahan warga terkait fasilitas publik. Pemerintah seakan tidak peduli dengan urusan buang hajat warganya di ruang publik.  Di sini, kita melihat bahwa ada pesan dan gagasan konkrit yang disampaikan pencoret dinding, hal yang tidak kita temui dalam baliho-baliho caleg yang miskin imajinasi.

Ironisnya coretan-coretan seperti itu dilarang apparat. Baliho-baliho yang calegnya tak berdomisili di dapilnya malah dilindungi. Bahkan jika ketahuan merusak baliho dengan sengaja bisa terkena sanksi pidana. Kalau kata Iwan Fals dalam lagu Coretan Dinding, orang yang risih dan terganggu dengan coretan dinding kota sesungguhnya adalah para penindas.

Bukan Hanya Capres, Caleg juga Perlu Diuji oleh Publik

Pada pemilu 2024 ini, kita telah melihat bagaimana para Capres diuji kemampuannya melalui Debat Capres yang diselenggarakan oleh KPU. Selain itu, ada pula acara-acara yang digelar oleh sukarelawan untuk menelanjangi isi otak para capres. Namun, hal yang sama tidak kita temui pada caleg.

Publik harus tahu bagaimana gagasan yang ditawarkan para caleg. Apalagi bagi caleg petahana. Apa saja yang sudah dilakukan ketika menjabat, apa peran caleg petahana terhadap UU yang problematis, dan bagaimana keberpihakan dia kepada publik selama menjabat. Enak saja, setelah menjabat lima tahun dan tak pernah terdengar kiprahnya di DPR, terus minta maju lagi.

Belum ada platform yang disediakan oleh penyelenggara pemilu untuk menguliti dan menelanjangi isi otak para caleg. Regulasi pemilu hanya mengatur Debat Capres sebagai metode uji publik terhadap capres. Sementara untuk caleg tidak ada.

Upaya-upaya membedah para caleg yang ada selama ini berupa inisiatif dari elemen masyarakat sipil. Salah satu contohnya adalah laman goodkind.id. Tentu, ini sangat bagus dan perlu diperbanyak. Namun, tidak semua caleg mau terbuka dengan track record-nya.

Bahkan, caleg yang pernah tersandung kasus korupsi pun masih diijinkan berlaga di pemilu. Tidak ada tindakan tegas dari panitia pemilu terhadap caleg seperti ini. Masyarakat tetap disuguhi baliho foto caleg yang tak membangkitkan selera makan.

Para Caleg Ini Enaknya Diapain?

Penyelenggara pemilu dan negara ke depannya harus mulai berani melarang alat peraga kampanye baliho di ruang publik. Ekstrimnya, saya membayangkan harus ada kota di Indonesia yang bisa meniru Kota Sao Paulo di Brazil, sebuah kota tanpa iklan outdoor.

Saya sudah melihat melalui Youtube bagaimana sudut-sudut kota Sau Paulo menjadi lebih indah dan arsitektur kotanya jadi lebih terlihat berkat penerapan “aturan kota bersih” (Lei Cidade Limpa). Di kota seperti itu, caleg-caleg bakal jualan apa kalau baliho dilarang?

Selain pelarangan baliho, KPU juga perlu mewajibkan caleg-caleg untuk tinggal di dapilnya masing-masing selama masa kampanye. Masalahnya, selama ini banyak caleg-caleg yang tak dikenal yang ternyata tidak berdomisili di dapilnya.

Bagaimana dia bisa mendaku paling mewakili konstituennya kalau si caleg sendiri tidak mengerti Indomaret mana yang parkirnya gratis di daerah dapilnya. Caleg redflag, tuh.

Kalau Nggak Pake Baliho, Kampanyenya Lewat Apa Dong?

Model kampanye yang wajib dilakukan adalah caleg harus turun langsung untuk bertemu dan berbicara ke konstituen. Kalau perlu, ketika di jalan ketemu dengan sesama caleg lain, adu bacot dah tuh sambil ditonton masyarakat. Biar publik bisa menilai kapasitas intelektual, keberpihakan, dan keberanian caleg yang akan mewakili mereka di senayan.

Banyak ahli dan pengamat politik berkesimpulan bahwa akar dari masalah banyaknya baliho caleg adalah tidak ketatnya regulasi penyelenggara pemilu terkait pembiayaan dan penggunaan biaya caleg.

Para caleg yang mempunyai uang tak berseri tidak dibatasi untuk mencetak baliho-baliho mereka di mana saja. Ini baru bicara soal penggunaan baliho, belum lagi kalau bicara soal penggunaan model kampanye lain.

Sudah saatnya negara dan penyelenggara pemilu mengubah aturan main agar bisa mengakomodir caleg-caleg yang terkendala logistik tapi punya kapabilitas, dan mengedepankan kembali gagasan sebagai nilai tawar caleg kepada publik, bukan kuat-kuatan logistik.

Editor: Ahmad Gatra Nusantara
Penulis
sdk-men-placeholder

Fadrin Fadhlan Bya

Berkacamata dan pemakai ear hook. Banyak yang bilang mirip Sholeh Sholihun.
Opini Terkait
Anomali Bahasa dan Hiperkoreksi Orang Sunda
Freelancer dan Ilusi Work Life Balance
Menimbang Kembali Aksi Sosial ke Panti Asuhan
(Nyaris) Tiada Harapan Dari Merah Putih
Salah Kaprah Perihal Matematika
Dua Lagu Satu Cerita Tentang Hukuman Mati di Indonesia

Cari Opini

Opini Terbaru
Artikel Pilihan

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel