Biarlah sengkarut celoteh Ahok tentang Al-Maidah ayat 51 itu tetap menjadi kenangan di antara gempita menjelang perebutan kursi DKI-1. Tapi jauh sebelum itu, Bapak saya sering mengingatkan, orang akan memanen apa yang dia tanam. Memperoleh akibat dari perbuatannya, cepat atau lambat. Dan inilah awan mendung yang menggelayut di atas kepala Ahok saat ini.
Berbicara Ahok, kita tidak begitu saja melupakan segala kehebatan mulutnya, kelihaian lidahnya, dan ketajaman kata-katanya. Barangkali sudah hampir semua kata makian dan hinaan yang tersaji di Kamus Besar Bahasa Indonesia sudah pernah digunakannya. Dan mungkin, itu adalah “dosa” terbesar Ahok.
Baiklah, saya yakin di antara pembaca sekalian banyak yang sedang kasmaran dengan gaya Ahok. Banyak pula yang memimpikan Ahok menjadi kepala daerah masing-masing. Dan memang, saya tidak hendak memungkiri prestasi Ahok yang juga tidak sedikit itu. Terlepas dari segala kontroversi di baliknya. Seperti pembersihan sungai yang katanya sudah diprogram sejak zaman Foke, penggusuran yang katanya mengorbankan banyak elemen masyarakat, atau proyek-proyek yang katanya menguntungkan golongan tertentu.
Memang, semua yang saya tahu tentang Jakarta selalu berdasarkan ‘katanya’. Setidaknya kata teman atau kata berita. Bagaimana tidak, hampir semua energi negeri ini terkuras hanya untuk Jakarta. Hampir seluruh tayangan berita di televisi hanya memberitakan Jakarta. Saking parahnya berita Jakarta, sampai sekarang saya belum tahu siapa saja calon gubernur daerah saya, tapi sudah tahu nomor urut pasangan calon gubernur Jakarta. Padahal pemilihannya sama-sama 2017.
Apalagi sejak Ahok menjadi pejabat di ibu kota, marah-marah sudah menjadi tren. Mitos yang dimunculkan, selama marah bertujuan baik, maka marah menjadi perilaku baik. Seperti yang Ahok sering katakan, lebih baik kasar tapi jujur dari pada santun tapi koruptor.
Akhirnya marah-marah menjadi ciri khas bagi para pejabat mulai tingkat daerah hingga nasional. Tinggal buka youtube, di sana dengan mudah bisa Anda temui kemarahan-kemarahan yang dilontarkan para pejabat. Ada aksi koboi para menteri, sidak gubernur, hingga amukan wali kota. Semuanya mengerucut pada satu titik: masyarakat senang menontonnya. Meski ada beberapa yang bilang, semua itu cuma pencitraan.
Jika ini dibiarkan terjadi, bisa-bisa kita memasuki masa darurat marah nasional. Pilihan antara memilih yang kasar tapi jujur atau santun tapi koruptor itu sungguh pilihan yang tidak masuk akal. Seperti memilih pacaran dengan Kuntilanak atau Sundel Bolong. Orang waras tentu tidak memilih keduanya. Lebih baik pacaran dengan Maudy Ayunda. Alias memilih pemimpin yang santun dan jujur.
Mitos kasar tapi jujur itu sangat mirip dengan analogi Robin Hood. Tokoh dongeng ini digambarkan suka mencuri dari para bangsawan. Lalu hasil curiannya dibagi-bagikan kepada para orang miskin. Ini kemudian memunculkan pertanyaan, apakah dengan demikian akan mengurangi kadar kesalahan dari mencuri?
Tidak!
Bagaimanapun mencuri itu perbuatan yang salah. Titik. Perkara hasil curian itu yang digunakan untuk membantu orang lain, itu perkara lain lagi. Toh jika Robin Hood bukan pengecut, kenapa tidak sekalian menggalang perlawanan rakyat untuk menyingkirkan para bangsawan yang lalim itu? Seperti Napoleon atau William Wallace misalnya.
Demikian pula marah-marah yang dilakukan oleh Ahok dan diikuti pejabat-pejabat lainnya. Marah-marah sudah tentu perilaku buruk. Titik. Tidak peduli yang marah siapa, kepada siapa, dan atas dasar apa. Sudah seberapa sering para orang tua sejak zaman Majapahit hingga zaman yang tidak jelas ini menasehati anaknya, “jangan suka marah le/nduk, orang pemarah itu temannya setan.”
Karena dengan kemarahan, minimal Anda menyakiti perasaan lawan bicara. Yang lebih besar bisa melukai bahkan mengorbankan banyak hal. Itulah mengapa orang tua sering menyebut pemarah itu temannya setan.
Tapi jika marah sudah jadi idaman, jika kata-kata jadi kian menohok, jika makian sudah makin dilumrahkan, bayangkan apa yang akan terjadi. Segala bentuk kesantunan yang telah dibangun nenek moyang selama berabad-abad, yang konon menjadi ciri khas keramahan Bangsa Indonesia, akan runtuh seketika hanya atas nama popularitas sesaat.
Namun sayang, kemarahan sudah terlalu identik dengan Ahok. Dan popularitas Ahok seolah tak terbendung. Semoga nantinya bukan kemarahan yang menjadi populer dengan diperantarai Ahok. Karena bagaimana pun, kemarahan adalah dosa terbesar Ahok. Tapi bagaimanapun, seperti yang orang Jakarta sering katakan, saya hanyalah orang daerah.