Wahana Wisata Kekinian: Tempat Selfie Berbayar

Wahana Wisata Kekinian: Tempat Selfie Berbayar

Wahana Wisata Kekinian dan Selfie Berbayar min
Wahana Wisata Kekinian dan Selfie Berbayar min

Dengan hadirnya wahana selfie komersil, saya yakin inilah bukti bahwa teknologi telah menjelma menjadi sebuah determinan dalam kehidupan manusia

Masih teringat jelas gegap gempitanya diri ini ketika berhasil masuk Museum Angkut. Lokasi wisata di Kota Batu itu dulu sempat jadi trendsetter. Bagi yang punya duit pergi kesana akan mudah. Bagi yang kere, naik angkot biru ADL aja udah cukup lah mengingat harga tiket masuk museum yang “lumayan”.

Gegap gempita saya rasakan lantaran saat itu saya termasuk bocah rantau yang lumayan kere. Bagi saya, harga tiket masuk Museum Angkut nggak bisa dibilang murah. Kayaknya harga perabot kosan aja masih lebih murah. Tidak masalah akhirnya saya dapat dana hibah dari siapa, yang penting ke Museum Angkut! Saya bisa pamer lokasi check-in di media sosial. Wuh…senangnya hati kala itu sudah seperti berhasil jabat tangan dengan patung lilinnya Brad Pitt!

Sayangnya, perasaan gegap gempita itu perlahan terkikis seiring dengan selesainya saya menjelajahi museum. Bukan masalah koleksi museum, justru saya menganggap Museum Angkut mampu menghadirkan mobil-mobil unik yang hanya bisa saya kagumi lewat rekaman film komedi Rowan Atkinson. Bahkan saya mendengar kini Museum Angkut sudah semakin beragam koleksinya. Jadi sebenarnya, terkikisnya perasaan gegap gempita saya itu lantaran masalah pengunjung. Iya, pengunjung!

Mereka tidak memperlakukan Museum Angkut sebagai sebuah museum, namun hanya seperti studio foto raksasa. People are taking selfie and photos everywhere! Bahkan dari pada mengamati koleksi mobil dan motor antik dari jarak yang sepatutnya, mereka malah menaikinya. Mungkin diijinkan oleh pengelola karena nggak ada tulisan yang melarang saat itu, entah kalau sekarang.

Di sisi lain saya nggak bisa sok ngeyel, karena memang interior Museum Angkut berbeda jauh dengan museum yang dikelola pemerintah. Tidak ada unsur jadul nan busuk, museum ini tampak kekinian. Jadi tidak heran kalau pengunjung akhirnya all-out dalam upaya menghasilkan foto. Rugi juga kalau sudah membayar malah tidak memanjakan diri dengan foto sepuasnya di studio indoor raksasa.

Tidak hanya Museum Angkut. Cobalah pergi ke Coban Rais yang juga di kota Batu. Pertama kali ke sana, saya sebagai kaum milenial yang terjangkit wabah petualangan si Bolang memiliki harapan yang sangat sederhana. Saya berharap ada jalan aspal mulus yang bisa mengantarkan ke dekat air terjun biar nggak usah trekking layaknya Ninja Hatori. Namun, bayangan itu luluh lantak saat saya mulai masuk parkiran. Bukannya melihat aspal mulus, saya justru melihat sekompi wisatawan sedang ngantre berfoto… tapi bukan di air terjun!

Pengelola Coban Rais nampaknya sungguh memanfaatkan dan menjaga potensi wisata yang dimiliki. Mereka menyadari bahwa air terjun yang dijanjikan letaknya jauh di atas. Wisatawan perlu persiapan trekking yang patut, misalnya memakai sandal anti-kepleset, membawa ransel, dan memakai celana pendek.

Berdasarkan pengalaman, saya tidak bisa mengatakan bahwa medan trekking menuju air terjun dapat ditempuh oleh wisatawan berusia tua. Tapi… hey… ekonomi mungkin akan berjalan lebih baik jika semua orang dari segala umur mampu berwisata ke Coban Rais, meskipun tanpa menikmati coban (dalam Bahasa Jawa Timuran artinya air terjun) itu sendiri. Pengelola kemudian membangun berbagai wahana menarik yang mengijinkan pengunjung jadi anak hits yang selonjoran di hammock atau tampil seperti traveler ulung yang mampu memanjat gardu pandang. Tak lupa semua aktivitas akrobat itu harus kamu abadikan menggunakan kamera.

Fasilitas berbayar yang dimanfaatkan untuk berfoto oleh pengunjung di area wisata Coban Rais itu bisa disebut wahana. Pandangan itu didasarkan hanya pada jumlah uang dan terbatasnya waktu yang diberikan untuk menaiki sesuatu, entah bergerak atau diam. Fasilitas yang saya sebutkan ada di Coban Rais tersebut mendapat perlakuan yang sama dengan aneka wahana di amusement park yang tersebar di seantero dunia. Demi menutup angka penyusutan barang, pengelola mematok harga tiket yang harus dibayarkan pengunjung jika ingin berfoto dan ber-selfie dengan fasilitas tersebut. Mereka juga menetapkan urutan antrean, mungkin demi menertibkan perilaku wisatawan yang cenderung seenak udel.

Awalnya saya pikir wahana selfie komersil seperti itu hanya ada di Malang. Ternyata tidak! Saya sempat menjejakan kaki di sebuah lokasi yang diklaim sebagai tempat wisata baru, namanya Spot Riyadi. Spot Riyadi ini berlokasi di Klaten. Di sini pengunjung dimanjakan oleh pemandangan hamparan sawah yang dilihat dari ketinggian. Pengelola Spot Riyadi juga menyediakan sebuah jembatan besi berwarna putih lengkap dengan simbol cinta. Wait, what?! Yap, ini wahana selfie bro and sis! Untuk bisa memanjat jembatan ini dan berfoto di atasnya, pengunjung cukup membayar 5.000 rupiah saja.

Dengan hadirnya wahana selfie komersil tersebut, saya yakin inilah bukti bahwa teknologi telah menjelma menjadi sebuah determinan dalam kehidupan manusia, termasuk aspek kebutuhan liburan. Eksistensi dalam dunia virtual sudah menjelma layaknya monster yang kita pelihara secara pribadi. Barangkali tidak ada satu pun dari kita yang membaca artikel ini rela untuk berlibur tanpa mengunggah satu pun foto yang kita hasilkan selama di tempat liburan. Bahkan mungkin esensinya bukan lagi memamerkan keberhasilan diri sendiri untuk pergi ke suatu tempat, namun sesederhana menampilkan kefanaan yang Instagram-able. Iya kan?

Ada yang salah nggak sih dengan wahana selfie yang berbayar gini? Ya nggak sih, yang namanya bisnis ya lumrah saja untuk berusaha menjaga sumber daya. Kalau memang ada kebutuhan untuk eksis di kalangan wisatawan, tentu pengelola harus berhasil mengakomodasinya. Lagian kita sebagai makhluk beradab yang selalu butuh liburan ini tidak ingin mengulangi kejadian pilu di dunia pariwisata. Masih ingat kan suatu masa ketika kita ingin mem-bully bocah-bocah yang menginjak-injak taman bunga Amaryllis di Gunung Kidul Yogyakarta demi beberapa foto yang bisa diunggah ke media sosial? Dengan adanya pengelolaan yang lebih baik, siapa pun berharap tidak ada manusia-manusia yang merusak sebuah potensi wisata.

Selanjutnya, saya rasa semua ini tidak akan berhenti. Beragam hal fana yang ingin ditampilkan melalui bingkai kamera oleh para wisatawan ini harus dibaca secara jelas sebagai potensi wisata kekinian dan bisa dibuat. Semudah pesan jembatan cinta di tukang pagar. Baiklah kalau begitu! Teras rumah saya akan saya jadikan spot selfie berbayar! Biar kaya!

Editor: Redaksi
Penulis
woman placeholder

Agatha Winda

Hidupnya dimateraikan oleh seekor anjing mongrel bernama Kevin. Bercita-cita jadi pemandu museum.
Opini Terkait
Salah Kaprah Perihal Matematika
Dua Lagu Satu Cerita Tentang Hukuman Mati di Indonesia
Sialnya, Bernadya Tidak Sedang Adu Mekanik
Izinkan Kami Juara AFF Walau Hanya Sekali Saja
Untungnya, Bernadya Menulis Lagu Ini

Cari Opini

Opini Terbaru
Artikel Pilihan

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel