Sediksi.com – Memasuki tahun 2023 isu rasisme di sepak bola tampaknya tidak menunjukkan penurunan signifikan. Berbagai kampanye anti-rasisme serta sanksi yang diberikan nampaknya belum efektif dalam mengatasi permasalahan ini. Lalu, mengapa rasisme di sepak bola tak kunjung berakhir?
Artikel berikut akan mencoba membahas lebih jauh terkait isu yang sudah cukup mengakar di dunia olahraga kulit bundar ini.
Sejarah Rasisme di Sepak Bola
Permasalahan rasisme yang menimpa banyak pemain sepak bola sudah dapat dilacak kehadirannya di sepanjang abad 19. Dikutip dari laman Spartacus Educational, salah satu contohnya ialah kasus rasisme yang menimpa pemain Northampton Town, Walter Tull.
Meskipun populer di kalangan pendukungnya sendiri, ia cukup sering menerima perlakukan rasial dari para pendukung lawan. Selain itu, legenda Everton, Dixie Dean, juga mengalami perlakuan sama di era 1930-an. Tidak hanya di Inggris, periode awal abad 19 juga diwarnai berbagai kasus rasisme di tempat-tempat lain.
Beberapa kasus rasisme di lapangan hijau terus berlanjut hingga memasuki periode 1970-an dan 1980-an, di mana permasalahan ini semakin merajalela. Dikutip dari The Guardian, pada periode tersebut tindakan rasisme terorganisir mewarnai dunia sepak bola Inggris.
Ada banyak kelompok beraliran kanan-jauh yang menggunakan sepak bola sebagai alat untuk menyebarkan pandangan politik mereka serta untuk merekrut anggota.
Beberapa pemain yang menjadi korban rasisme di periode ini di antaranya Paul Canoville, Garth Crooks, Cyrille Regis, John Barnes, Paul Parker, dan lain-lain.
Setelahnya, berbagai upaya mulai dilakukan untuk menanggulangi persoalan ini. Namun isu rasisme di sepak bola tetap menjadi persoalan akut hingga hari ini
Era Media Sosial
Berbagai bentuk kekerasan verbal, termasuk yang bernada rasial, mengalami peningkatan signifikan pada era di mana media sosial semakin marak. Dikutip dari BBC, pandemi COVID-19 yang membuat para fans tidak dapat hadir di stadion berujung pada meningkatnya berbagai ujaran rasisme di media sosial.
BBC juga melaporkan bahwa pada musim 2019/20, setiap 1 dari 10 pertandingan sepak bola di Inggris dan Wales diwarnai kasus ujaran kebencian.
Lebih lanjut, musim tersebut juga memperlihatkan peningkatan jumlah kasus rasisme yang berakhir di meja hukum, dari 14 (2018/19) menjadi 35 (2019/20).
Kemudian, laporan Professional Footballers’ Association (PFA) juga menyebutkan dari 3 ribu pesan penghinaan yang dilayangkan kepada para pemain Premier League, 56 persen di antaranya bernada rasis.
Upaya Pencegahan dan Apa yang Bisa Dilakukan?
Sudah ada banyak upaya untuk menanggulangi masalah rasisme di sepak bola. Mulai dari menggalakkan kampanye anti-rasisme secara terus menerus hingga sanksi kepada para pelaku atau denda kepada klub yang didukung pelaku.
Slogan-slogan seperti #KickItOut, #NoRoomForRacism, #SayNoToRacism, mungkin sudah tidak asing di kalangan penggemar sepak bola. Terbaru ialah aksi berlutut (kneeling) yang dilakukan para pemain di berbagai kompetisi—dan masih dilakukan di Premier League hingga saat ini—sebagai bentuk protes atas berbagai tindakan rasisme.
Akan tetapi, dari seluruh upaya yang sudah dilakukan sejauh ini, mengapa rasisme di sepak bola tidak menunjukkan tanda-tanda penurunan?
Dikutip dari Global Citizens, dosen sosiologi Universitas Leicester sekaligus ahli di bidang sejarah ras dan etnisitas sepak bola, Dr. Paul Campbell, mengatakan bahwa kewenangan organisasi-organisasi yang berusaha menyelesaikan persoalan rasisme di sepak bola terbatas pada sepak bola itu saja.
Sedangkan masalah rasisme dalam olahraga ini memiliki akar kemasyarakatan yang jauh lebih dalam dan bersifat sistemik.
Organisasi seperti Kick It Out, misalnya, menurut Dr. Campbell pada akhirnya, di dalam banyak hal, terlihat tidak bertaring sebab mereka sebatas dapat menangani berbagai persoalaan rasisme hanya di dalam sepak bola saja.
“Kick It Out menerima dana dari Premier League. Jadi, apa yang bisa mereka lakukan terbatas. Mereka merupakan organisasi pelobi yang hanya bisa menyampaikan permasalahannya kepada pihak berwenang. Mereka tidak mempunyai yurisdiksi atas perubahan.
“Mereka telah membantu perubahan dalam 3 dekade eksistensinya. Sayangnya, tetap timbul kegelishan, sebab masyarakat menginginkan perubahan pada tingkat yang lebih dalam, mendasar, dan nyata,” lanjut Dr. Campbell dikutip dari Global Citizens.
Terlepas dari berbagai hal yang telah dilakukan, banyak pihak yang sepakat bahwa para pemangku kebijakan tertinggi perlu melakukan upaya lebih dalam mengatasi isu rasisme di sepak bola.
Bagi Dr. Campbell, hal utama yang pertama-tama perlu dilakukan ialah mengakui bahwa isu rasisme itu masih ada dan nyata. Orang-orang tidak perlu terlalu banyak memperdebatkan apakah ketimpangan rasial itu masih ada atau tidak.
Setelah selesai pada tataran tersebut, Dr. Campbell kemudian menyarankan agar persoalan rasisme yang terjadi itu benar-benar diidentifikasi. Apakah yang dimaksud adalah rasisme terbuka, rasisme institusional, rasisme terselubung, atau rasisme sistemik. Sebab, istilah rasisme itu sendiri samar-samar.
Dari sinilah kemudian kebijakan-kebijakan yang tepat bisa dirumuskan untuk menghadapi persoalan ini. Terakhir, hal lain yang tidak boleh dilupakan ialah bahwa upaya menanggulangi isu rasisme membutuhkan investasi besar, baik secara moral, sosial, dan finansial.