Sediksi.com – Tahun ini The Japan Foundation meluncurkan program baru yang disebut JFF+ Independent Cinema (Japanese Film Festival Plus). Sebelumnya, program ini bernama Japanese Film Festival (JFF) saja.
Penyelenggaraan ini mendapat respon positif, dan sejak 2020, penikmat film Jepang bisa menonton secara online.
Melalui program baru ini, film-film independen Jepang yang terpilih dapat ditayangkan di luar negeri, termasuk Indonesia secara daring.
Untuk JFF+ 2023, ada 12 film yang ditayangkan. Tetapi hanya ada enam film pada JFF+ 2023 yang bisa ditonton secara gratis sampai dengan 15 Juni nanti.
Setidaknya, ada 3 film yang kami rekomendasikan buat ditonton. Pasalnya, punya cerita yang unik dan menggugah pikiran.
In the Distance (2022)
Sebuah drama dan komedi yang disutradarai oleh Kato Saki. Bercerita tentang segala keanehan yang terjadi pada dua perempuan yang tinggal bersama. Menariknya, interpretasi hubungan mereka dalam film diserahkan kepada penonton sendiri-sendiri.
Kato Saki tidak hanya menjadi sutradara dalam film ini, ia juga memerankan tokoh utamanya. Haruka Toyoshima, penulis skrip untuk film ini juga punya peran ganda dalam film sebagai teman satu rumah karakter Kato Saki.
Proses pembuatan film ini bisa dibilang santai. Berawal dari menetapkan dua karakter utama, lanjut ke mengembangkan alur cerita, baru skrip ditulis. Bahkan, proses syuting sudah dimulai sebelum skrip benar-benar selesai.
Meski proses pembuatan filmnya terdengar tidak ambisius, film ini justru menunjukkan sisi sebaliknya. Syuting dimulai dari November 2020 dan selesai Maret 2021. Artinya pengerjaan film ini dilakukan selama pandemi.Â
Seperti yang diketahui, pembatasan aktivitas di Jepang selama pandemi sangat ketat. Kondisi ini membuat Kato Saki justru termotivasi untuk berusaha memaksimalkan potensi film ini terlepas dari keterbatasannya.
Drive into Night (2022)
Satu film lagi yang dalam proses produksinya juga melewati keterbatasan aktivitas akibat pandemi. Disutradarai oleh Sako Dai, Drive into Night berusaha menyampaikan pertanyaan tentang arti kebahagiaan.
Berkisah tentang takdir aneh seorang laki-laki setelah menyebabkan kecelakaan, film ini membawa penonton untuk merasakan drama dan thriller psikologis yang dirasakan tokoh utama.
Jika tertarik pada film yang membuat bingung, deg-degan, atau yang menyajikan plot twist, film ini bisa menjadi rekomendasi.
Namun, aspek-aspek lainnya juga tidak bisa diabaikan. Sinematografi film ini menyajikan sisi muram dan depresif kehidupan sehari-hari di Jepang daerah pinggir. Aspek audionya juga membawa penonton ikut merasakan betapa menegangkannya pengalaman buruk yang dialami Taichi Akimoto, tokoh utama dalam film tersebut.
A Little Girl’s Dream (2014)
Lamanya produksi film jenis dokumenter ini mungkin menjadi daya tarik bagi publik dibanding film-filmnya. Tidak tanggung-tanggung, film berdurasi satu setengah jam ini membutuhkan proses syuting selama 26 tahun.
A Little Girl’s Dream menceritakan perjalanan seorang anak perempuan berusia 9 tahun yang bermimpi menjadi dokter hewan.
Tokita Yoshiaki, sutradara film ini awalnya adalah kru sebuah stasiun TV di Jepang. Satu hari, ia meliput sebuah SD di daerah pegunungan yang memelihara sapi.
Tidak hanya itu, ia juga menemukan rutinitas unik dimana sekolah tersebut melaksanakan upacara wisuda untuk sapi yang akan diserahkan ke tempat-tempat pengelolaan hewan ternak.
Dalam rutinitas tersebut, murid-murid SD tersebut akan mengucapkan selamat tinggal dan menulis surat untuk hewan ternak yang diwisuda tersebut.
Tidak hanya fenomena itu terlihat menarik di matanya, di situlah ia juga bertemu Tomomi, anak perempuan yang menjadi tokoh utama dalam dokumenter tersebut. Tomomi mengatakan bahwa cita-citanya adalah menjadi dokter hewan.Â
Sejak saat itu, Tokita memulai proyek untuk mendokumentasikan pertumbuhan Tomomi, SD, dan nasib peternakan di SD tersebut selama 26 tahun. Â
JFF+ menayangkan total enam film. Selain ketiga rekomendasi film tersebut, tiga film lainnya tidak kalah menarik.
Ketiga film lainnya adalah On the Edge of Their Seats (2020), film yang disutradarai oleh Jojo Hideo ini menceritakan sekelompok anak remaja yang menyoraki tim bisbol SMA nya di stadion.
Film kedua berjudul Shiver (2021) dan disutradarai oleh Toyoda Toshiaki. Film ini menyajikan pertunjukan musik dengan pemandangan alam yang cantik yang ditampilkan oleh kelompok pemain taiko, alat musik perkusi dari Jepang yang terkenal karena ukurannya yang besar.
Terakhir berjudul What Can You Do about it (2019), sebuah film dokumenter karya Tsubota Yoshifumi tentang interaksi antara seorang sutradara film dan pamannya yang memiliki autisme ringan.