Seperti perang yang tak pernah dimenangkan, pembahasan RUU larangan minuman beralkohol (Minol) lenyap bertahun-tahun setelah lama diusulkan sejak tahun 2015. Kini pada 2020, RUU kontroversial tersebut di-Edo Tensei lagi dengan menggunakan draft lama.
RUU Larangan Minol sendiri diajukan oleh 21 anggota DPR sejak 20 Februari lalu. Namun baru mendapat respons dengan dibahas di Badan Legislatif (Baleg) DPR pada 10 November 2020. Rincian pengusulnya yaitu, 18 orang dari fraksi PPP, kemudian satu dari fraksi Gerindra serta dua dari fraksi PKS.
Salah satu pengusul dari fraksi PPP, Illiza Sa’aduddin Djamal, menganggap penggagasan aturan ini adalah untuk melindungi dan menertibkan masyarakat.
“RUU ini bertujuan melindungi masyarakat dari dampak negatif, menciptakan ketertiban, dan ketentraman di masyarakat dari para peminum minuman beralkohol,” ungkapnya seperti dikutip dari Suara.com(12/11).
Iliza tercatat getol mengampanyekan dan menerapkan Perda Minuman Keras saat ia masih menjabat Wali Kota Banda Aceh selama dua periode 2007-2012 dan 2012-2017. Pada ranah legislatif Nasional, ia ikut mengusulkan aturan yang menuai pro-kontra masyarakat tersebut.
Tak setuju dengan usulan tersebut, Ketua Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (Hippi) DKI Jakarta, Sarman Simanjorang, menilai pengendalian minuman beralkohol sudah efektif dengan Perpres Nomor 74 Tahun 2013. Simanjorang kawatir, RUU tersebut justru mendorong beredarnya tanpa pajak.
“Jika nantinya dalam RUU ini kesannya melarang maka dikhawatirkan akan terjadi praktik masuknya minol selundupan yang tidak membayar pajak, maraknya minol palsu yang tidak sesuai standar pangan serta maraknya minol oplosan yang membahayakan konsumen,” kata Sarman seperti dilansir Kompas.com(15/11).
Pelarangan terhadap minol ini sebenarnya sudah pernah diterapkan di Amerika Serikat pada kisaran tahun 1920-1933. Senat AS mengusulkan amandemen yang menyatakan perang pada minol. Seluruh aktivitas penjualan minol dilarang pada saat itu. Efek domino dari regulasi tersebut adalah merebaknya pasar gelap minol di mana-mana lalu munculnya kartel minol ilegal. Puncaknya, pemasukan pajak minol yang rendah pada masa krisis menghantarkan AS pada masa-masa resesi hebat. Pada tahun 1933, akhirnya AS mencabut larangan minol tersebut.
Peneliti Institut for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati menilai, seharusnya RUU Minol fokus mengatur tata kelola dan pengawasan terhadap alkohol. Dengan melakukan pendekatan larangan total, menjadikan seolah negara lepas tangan dan tak mau bertanggung jawab atas pengendalian minuman beralkohol.
“PBB tidak pernah mengeluarkan rekomendasi untuk negara melakukan pelarangan buta terhadap zat-zat tertentu seperti minuman beralkohol dan narkotika. PBB hanya menyarankan negara untuk mengendalikan peredarannya,” kata Maidina saat berbincang dengan CNN Indonesia(12/11).
Mengapa begitu kontroversial?
Dalam pasal 5 sampai pasal 7 RUU larangan minol, masyarakat dilarang memproduksi, memasukkan, menyimpan, mengedarkan bahkan mengkonsumsi minuman beralkohol di wilayah Indonesia. Pengkonsumsi minol pun dapat dijerat pidana minimal tiga bulan.
Salah satu poin yang paling dinilai janggal dalam RUU Minol yaitu larangan minuman tradisional. Sopi-nya orang Oetimu ikut dilarang, Tuaknya Mas Bowski hingga Bekonangnya Pak Sabaryono, semua-semua dilarang. ‘Segala jenis’ minuman beralkohol tradisional, seperti pada penjelasan pasal 4 ayat (2) tak boleh diproduksi maupun dikonsumsi. Padahal, minuman tradisional tersebut diakui sebagai warisan leluhur dan di beberapa tempat telah diatur dalam Perda.
Awal 2020 lalu studi dari Universitas Timor merilis industri minuman beralkohol Sopi sangat prospek bagi perekonomian warga Maubesi, Timor Tengah Utara. Bahkan warga sampai meninggalkan kebun sebagai mata pencaharian utama, beralih menjual Sopi akibat permintaan tinggi pada bulan Juni sampai November. Sayang, pengembangan usahanya seringkali terkendala karena minuman adat tersebut belum mendapatkan ijin dan dianggap ilegal.
Penelitian lain dari Univesitas Sebelas Maret Surakarta pada tahun 2011, menyimpulkan bahwa hadirnya industri alkohol di desa Bekonang memberikan pengaruh positif bagi perekonomian warga.
Ketua Paguyuban Industri Etanol Desa Bekonang, Sabaryono, ikut menanggapi ihwal RUU larangan minol ini. Ia menilai konyol langkah pemerintah lantaran ingin memberantas minuman lokal. Seharusnya RUU tersebut justru difokuskan pada pembatasan impor minuman beralkohol.
Sabaryono mengungkapkan usaha yang dilakoni oleh warga sekitar merupakan usaha turun temurun dari nenek moyang sejak zaman penjajahan. Bahkan, Ciu Bekonang sempat diproduksi secara diam-diam lantaran dilarang Belanda.
Pada kesempatan lain, Sabaryono menyinggung sedikit sejarah bagaimana masyarakat Bekonang dikenal dengan tempat produsen Ciu di Sukoharjo, Jawa Tengah. “Karena dulu kan, pemerintahan Belanda kalau orang punya aktivitas, punya kemajuan itu dilarang. Supaya orang bodoh. Biar orang stupid, stupid as a donkey,” jelasnya seperti dikutip dari Kanal Youtube Asumsi laporan Kerah Biru.
Mau atur apanya, bapak?
Larangan ketat untuk produksi, konsumsi, dan mengedarkan minol di pasal 4-7 RUU tersebut tampak kontradiktif dalam pasal lain. Pada pasal 8 misalnya, masyarakat boleh mengonsumsi minuman alkohol hanya pada saat kegiatan adat, ritual keagamaan, wisatawan, farmasi dan kepentingan lain. Kontradiksi muncul saat regulasi memperbolehkan penggunaan minol di tempat-tempat tertentu yang sudah diizinkan seperti hotel, bar dan sebagainya.
Pembolehan ini jadi tidak ada bedanya dengan ketentuan Perpres Nomor 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol. Melihat hal ini, kita layak meragukan literasi regulasi yang dikuasai anggota legislatif yang terhormat.
Pada RUU ini, terdapat juga pengecualian larangan minol pada hotel, bar dan semacamnya. dapat berpotensi menimbulkan bias kelas. Seolah-olah kalau kita pengen minum alkohol harus punya duit dulu. Seperti survei Puslitbang Kemenkes pada tahun 2009, menyimpulkan bahwa jumlah remaja pengonsumsi minol yang relatif mahal sejenis vodka/whiskey (29,9%) lebih sedikit dibanding remaja pengonsumsi minol tradisional (39,0%).
Clara, Sosiolog Universitas Negeri Jakarta, dikutip dari berkas kajian DPR menyebut, pengonsumsi miras oplosan umumnya remaja yang berasal dari kalangan sosial menengah ke bawah.
Kemudian analisa dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) pada tahun 2016, masyarakat kelas menengah ke bawah terpaksa beralih ke minol palsu dan oplosan karena tidak mampu membeli minol dari hotel dan restoran mewah.
Udah miskin, gak boleh mabuk pula. Hadeh~