Sejarah Perkembangan Bioskop di Indonesia: Dari ‘Gambar Idoep’ Hingga ‘Sinepleks’

Sejarah Perkembangan Bioskop di Indonesia: Dari ‘Gambar Idoep’ Hingga ‘Sinepleks’

Sejarah Perkembangan Bioskop di Indonesia

DAFTAR ISI

Sediksi – Pengalan menonton film di bioskop yang mengesankan dan sangat berbeda daripada menonton film sendiri di rumah. Bioskop bisa jadi pilihan untuk hiburan bagi setiap kalangan, bahkan dijadikan pula tempat pilihan teratas bagi pasangan untuk berkencan.

Sebelum bioskop semegah sekarang dengan fasilitas, kualitas hingga pilihan film yang beragam.

Penasaran gak dengan bagaimana sejarah perkembangan bioskop di Indonesia? Bagaimana awal mula bioskop hadir di tanah air?

Tenang, artikel ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan mengajakmu menelusuri sejarah bioskop di Indonesia dari awal hingga sekarang.

Bagaimana bioskop bermula

Sejarah Perkembangan Bioskop di Indonesia: Dari 'Gambar Idoep' Hingga 'Sinepleks' - The lumiere brothers
Lumiere Brothers. Gambar: History com

Sebelum membahas sejarah perkembangan bioskop di Indonesia, perlu diketahui bahwa adanya bioskop pertama di dunia bisa dilacak jejaknya di Grand Cafe, Paris, pada 28 Desember 1895.

Film bioskop pertama tersebut dibuat oleh Louis dan Auguste Lumiere, kakak beradik asal Prancis yang dikenal sebagai Lumiere Brothers. 

Mereka adalah pembuat kamera sekaligus proyektor yang disebut Cinematographe, yakni alat yang dapat merekam, memproses, dan memproyeksikan gambar bergerak ke sebuah layar untuk para penonton.

Di Amerika, industri perfilman berkembang dengan cepat. Pada 1896, Vitascope Hall di New Orleans, diyakini menjadi bioskop pertama di AS yang ditujukan untuk memutar film. 

Pada 1909, New York Times menerbitkan ulasan film pertamanya. Di tahun 1911, studio film Hollywood pertama dibuka dan 1914, Charlie Chaplin membuat debut layar lebarnya.

Sejarah perkembangan bioskop di Indonesia

Sejarah Perkembangan Bioskop di Indonesia: Dari 'Gambar Idoep' Hingga 'Sinepleks' - Bioskop pertama di indonesia
Talbot/ Gali sinema

Sementara sejarah perkembangan bioskop di Indonesia dimulai saat masyarakat mengenal film dan bioskop sejak tahun 1900, yang kala itu masih dijajah oleh Belanda.

Bioskop pertama kali dikenal masyarakat Indonesia pada 5 Desember 1900, dalam acara pemutaran film yang biasa disebut gambar idoep (gambar hidup), di Lapangan Pasar Gambir (sekarang dikenal Monas). 

Film yang pertama kali diputar waktu itu adalah film dokumenter tentang Raja dan Ratu Belanda. Pada waktu itu, film masih ‘bisu’ alias belum terdapat dialog dalam film. 

Bioskop tersebut didirikan oleh pengusaha Belanda bernama Talbot. Harga tiket yang dipatok saat itu dibagi ke dalam tiga kelas, yaitu kelas 1 dengan harga dua gulden, kelas 2 seharga satu gulden, dan kelas 3 seharga setengah gulden.

Bioskop lainnya diusahakan oleh Schwarz yang terletak di Kebon Jahe, Tanah Abang. Sebelum akhirnya hancur terbakar, bioskop ini menempati sebuah gedung di Pasar Baru. 

Ada lagi bioskop yang bernama Jules Francois de Calonne (nama pengusahanya) yang terdapat di Deca Park. De Calonne ini mula-mula adalah bioskop terbuka di lapangan, yang pada zaman sekarang disebut “misbar”, gerimis bubar. De Calonne adalah cikal bakal dari bioskop Capitol yang terdapat di Pintu Air.

Bioskop-bioskop lain seperti Elite, Rex, Cinema, Astoria, Capitol, Centraal, Rialto, Surya, Thalia, Olimo, Orion, Al Hambra, Oost Java, Rembrant, Widjaja, Rivoli, Chatay dan lain-lain merupakan bioskop yang muncul dan ramai dikunjungi setelah periode 1940-an.

Film-film yang diputar di dalam bioskop tempo dulu adalah film gagu alias bisu atau tanpa suara. Biasanya pemutaran diiringi musik orkes, yang memang jarang “nyambung” dengan film yang diputar atau tidak sesuai dengan adegan dalam film. 

Beberapa film yang kala itu yang menjadi favorit masyarakat adalah Fantomas, Zigomar, Tom MIx, Edi Polo, Charlie Caplin, Max Linder, Arsene Lupin, dll.

Pada tahun 1927, film bersuara pertama di dunia dibuat oleh Warner Bros dengan judul The Jazz Singer. Film ini menandai revolusi dalam industri film dan bioskop. Film bersuara membuat film menjadi lebih menarik dan realistis.

Film bersuara juga mempengaruhi perkembangan film nasional di Indonesia. Pada tahun 1931, film nasional pertama dibuat oleh L. Heuveldorp dengan judul Loetoeng Kasaroeng. Film ini merupakan adaptasi dari cerita rakyat Sunda yang menggunakan bahasa Melayu.

Lalu sejarah perkembangan bioskop di Indonesia terus berkembang, utamanya di Jakarta pada tahun 1951 diresmikan bioskop Metropole yang berkapasitas 1.700 tempat duduk, berteknologi ventilasi peniup dan penyedot, bertingkat tiga dengan ruang dansa dan kolam renang di lantai paling atas. 

Empat tahun setelahnya, tepatnya pada tahun 1955 bioskop Indra di Yogyakarta mulai mengembangkan kompleks bioskopnya dengan toko dan restoran. Bioskop-bioskop ini menampilkan film-film nasional maupun internasional yang berkualitas.

Mulai Maraknya Bioskop di Indonesia

Di Indonesia awal Orde Baru dianggap sebagai masa yang menawarkan kemajuan perbioskopan, baik dalam jumlah produksi film nasional maupun bentuk dan sarana tempat pertunjukan.

Kemajuan ini memuncak pada tahun 1990-an. Pada dasawarsa itu produksi film nasional mencapai sekitar 100 judul lebih. Sementara sejak tahun 1987 bioskop dengan konsep sinepleks (gedung bioskop dengan lebih dari satu layar) semakin marak.

Pelopor dari bioskop sinepleks adalah yang sekarang dikenal dengan Cineplex 21 Group yang dipelopori oleh Sudwikatmono. Angka 21 sendiri berasal dari nama Jalan MH Thamrin kavling 21, yang merupakan tempat studio pertama yang dibangun kala itu.

Produksi film nasional mencapai yang mencapai ratusan judul per tahun dan bioskop menjadi tempat hiburan favorit masyarakat.

Beberapa film nasional yang populer antara lain adalah:

  • Lewat Djam Malam karya Usmar Ismail
  • Tiga Dara karya Usmar Ismail
  • Si Pitung karya Nawi Ismail
  • G30S/PKI karya Arifin C. Noer
  • Pengabdi Setan karya Sisworo Gautama Putra
  • Nagabonar karya M.T. Risyaf
  • Catatan Si Boy karya Nasri Cheppy dan lain-lain.

Namun, pada tahun 1990-an hingga awal 2000-an, bioskop mengalami kemunduran akibat krisis ekonomi dan persaingan dengan televisi dan video.

Produksi film nasional menurun drastis dan banyak bioskop yang tutup atau beralih fungsi. Bioskop yang masih bertahan hanya menampilkan film-film impor yang kurang bermutu. Bioskop menjadi tempat hiburan yang kurang diminati masyarakat.

Selanjutnya sejarah perkembangan bioskop di Indonesia, pada tahun 2004, bioskop mulai bangkit kembali masih dengan konsep sinepleks.

Sinepleks menawarkan fasilitas yang lebih nyaman dan modern untuk menonton film. Sinepleks juga menampilkan film-film nasional maupun internasional yang bervariasi dan berkualitas.

Beberapa sinepleks yang populer antara lain adalah Blitzmegaplex (sekarang CGV), XXI (sekarang Cinema XXI), Cinemaxx dan lain-lain.

Film nasional juga mengalami kemajuan pada era sinepleks. Beberapa film nasional yang sukses antara lain adalah;

  • Ada Apa dengan Cinta? karya Rudy Soedjarwo
  • Laskar Pelangi karya Riri Riza
  • Ayat-Ayat Cinta karya Hanung Bramantyo
  • Habibie & Ainun karya Faozan Rizal
  • The Raid karya Gareth Evans
  • Dilan 1990 karya Fajar Bustomi
  • Danur karya Awi Suryadi dan lain-lain.

Pasang surut sejarah perkembangan bioskop di Indonesia tak lepas dari krisis ekonomi maupun stabilitas keadaan politik kala itu. Namun seiring dunia berkembang ke era modern saat ini, bioskop dan dunia perfilman di Indonesia sendiri juga turut berkembang pesat, dan tak kalah juga dengan film produksi luar negri.

Baca Juga
Topik

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-artikel-retargeting-pixel