Ketika laki-laki dan perempuan mempunyai akses—dan kesulitan akses—yang sama terhadap pendidikan dan pekerjaan, masih relevankah norma sosial yang mengharuskan laki-laki menjadi pencari nafkah?
Saya akan tetap mendukung berbagai bentuk solidaritas demi kepentingan perjuangan, termasuk ‘Kamisan Date’. Mengingat dalam iklim gerakan saat ini, solidaritas dan konsistensi perjuangan juga perlu dibarengi dengan inisiatif untuk terus mengikuti zaman dan membuat gerakan sosial itu terus relevan.
Hilangnya batas antara waktu kerja dan waktu luang serta kelonggaran dalam regulasi ketenagakerjaan tidak berdampak baik pada keseimbangan hidup yang diharapkan pekerja lepas.
Sudahkah kita belajar banyak mengenai hak dan perlindungan anak sebelum berkunjung? Adakah kode etik yang kita tanda tangani terlebih dahulu? Adakah sosialisasi dari pihak panti asuhan terkait kebijakan perlindungan anak mereka?
(nyaris) tiada harapan dari Merah Putih. Sekarat sudah mengetuk pintu. Putus asa juga sudah menyapa. Satu tempat di luar nalar antara sekarat dan putus asa adalah harapan memang benar adanya.
Penggalan liriknya, “Selamat Jalan Bagimu//Lepas Keluh Kesahmu//Kau Bajingan Tua Korban Jumawa Manusia,” menambah getir perasaan bahwa manusia dapat menjadi serigala pembunuh bagi manusia lainnya atas nama keadilan semu nan jumawa.
Berfokus pada solusi-solusi yang dangkal dan berulang layaknya peningkatan keterampilan, penyesuaian kurikulum pendidikan sambil mengglorifikasi literasi digital anak muda, apalagi pemberian bantuan materi, rasanya tidak akan membuat situasi berubah menjadi lebih baik.
Sebagai sebuah konsep, saya akan membela gagasan sistem zonasi dari berbagai kritik, sambil memegang keyakinan bahwasanya sistem ini merupakan sarana yang baik untuk mewujudkan pedagogi egalitarian.
Pertumbuhan ekonomi yang menggunakan indikator PDB sendiri memiliki kelemahan. Ia terlalu berfokus pada produksi, konsumsi, serta pendapatan. Padahal, well-being manusia tidak melulu sereduksionis itu.