Romantisme menua di desa seperti yang diidam-idamkan banyak orang, menurut saya, perlu sedikit dibenahi, atau lebih tepatnya dispesifikkan. Bukan lagi “menua di desa adalah hal yang menyenangkan” tetapi “menua di desa adalah hal yang menyenangkan, jika Anda kaya.”
Alih-alih menggambarkan sebuah visi, filosofi, kapasitas, dan optimalitas, penamaan beberapa aplikasi pemerintah justru terkesan rendah intelektual. Lebih mirip strategi jalan darurat lewat utak-atik suku kata (akronim), ketimbang suguhan keseriusan transformasi.
Pertumbuhan ekonomi yang menggunakan indikator PDB sendiri memiliki kelemahan. Ia terlalu berfokus pada produksi, konsumsi, serta pendapatan. Padahal, well-being manusia tidak melulu sereduksionis itu.
Tidak bermaksud melarang orang mendukung negara atau pemerintahan. Tapi, selama kontrak sosial belum tercapai, apapun ide dan hasil implementasi pemerintah sampai kapanpun tetap perlu dikoreksi, dikritisi, dan diperbaiki.
Kami marah dan jengkel bukan karena tidak mau menerima resiko dari proses pembangunan. Kami marah lantaran merasa jika proyek drainase tersebut kesannya dikerjakan secara asal-asalan sehingga dampak buruk yang seharusnya bisa diminimalisir malah seperti dimaksimalkan.
Belajar lewat sastra artinya belajar berdialektika. Sastra akan kaku bila ia dipahami sebatas wujud dan permukaan isi. Namun, isi sastra akan begitu membangun saat ditempatkan sebagai proses berfikir. Kesadaran kritis akan tumbuh dengan sendirinya.
Membandingkannya transportsasi publik Jogja dengan Jakarta tentu merupakan persoalan lain. Meski Jogjakarta mengandung leksem Jakarta, namun dua kota besar ini memiki banyak perbedaan yang mendasar.
Tenaga pendidik tidak seharusnya menanggung dosa apapun. Baik Ucup yang honorer atau tenaga pendidik penggantinya yang PPPK merupakan korban dari sistem pendidikan kita, yaitu sistem yang tidak meritokratik dan kurang ramah ketika hendak dievaluasi.