Membaca dan menonton perkembangan pandemi, adalah aktivitas yang bikin pening. Saya hanya berhasil tidak melakukannya selama sebulan. Perasaan cemas membuat saya kembali mengikuti berita-berita terbaru tentangnya. Dan, di hari yang sama ketika membaca berita soal Donald Trump yang terinfeksi Covid-19 di media-media dengan kanal resmi di Youtube, beberapa laporan video merekomendasikan sebuah tontonan. Membuat saya kian yakin Donald Trump layak ditertawakan.
Video itu menawarkan lelucon tentang Trump dalam sebuah parodi yang mengingatkan saya pada beberapa seri The Simpsons. Saya tidak begitu paham lelucon macam apa yang diangkat The Simpsons, tapi saya tahu reputasinya dalam menyajikan parodi. The Simpsons mengolok-olok siapa atau apa pun yang mereka anggap lucu.
Dalam video tersebut, Trump diparodikan sedang menyanyikan lagu Bohemian Rhapsody milik Queen. Judul asli lagu itu diubah menjadi Coronan Rhapsody. Dimulai dengan Trump memainkan piano solo-intro, seolah-olah Trump sedang melakukan konser dengan ribuan penonton yang melambaikan tangan mengikuti irama. Beberapa lirik lagu legendaris itu diubah agar sesuai dengan situasi pandemi.
Parodi diakhiri dengan anjuran-anjuran mengenai hidup di masa pandemi: mencuci tangan dan menjaga jarak. Tanpa susah-payah menasehati, bagian ini merupakan kritik subtil untuk sesuatu yang enggan dilakukan oleh Trump. Bagi Donald Trump, mematuhi protokol kesehatan barangkali akan mencoreng citra maskulin yang ingin ia bangun.
Maestro Ziikos, kreator video tersebut, kerap memparodikan Trump dan tokoh-tokoh lain menyanyikan lagu-lagu hits milik penyanyi-penyanyi terkenal. Langkah brilian yang mungkin tidak ia sadari untuk menyampaikan pesan.
Lewat video parodi musikal, ia membuat seorang Donald Trump kian layak ditertawakan. Mengingat kebiasaan Trump yang impulsif, ia mungkin akan segera mem-ban Youtube setelah lelah tertawa menonton banyak video lucu mengenai dirinya.
Kelakuan Donald Trump Selama Pandemi
Kabar presiden AS Donald Trump terinfeksi Covid-19 menyebar amat cepat. Heboh tapi sebetulnya tidak terlalu mengejutkan. Malah, jika harus kaget, kita mestinya kaget karena mengapa baru sekarang ia terinfeksi setelah sekian lama. Sejak beberapa bulan lalu, orang dalam lingkaran Trump di Gedung Putih terinfeksi Covid-19.
Betapa pun brengsek dan bebal, Trump juga manusia. Ia tidak kebal dari virus ini. Tapi mengingat apa yang ia lakukan sejak awal pandemi, sebagai seorang presiden tentu saja, membikin geram banyak orang. Jangankan membikin kebijakan-kebijakan penting untuk menangani pandemi, ia bahkan tidak memercayai ujaran ahli yang menyatakan virus ini berbahaya.
Setelah diperbolehkan meninggalkan fasilitas kesehatan, petingkah Trump tetap berlanjut. Lewat Twitter, ia mengaku baik-baik saja sebab Covid-19 tidak jauh berbeda dengan flu. Dengan begitu, ia mengatakan Covid-19 tak perlu ditakuti. Beberapa epidemiolog mengkhawatirkan ini berdampak buruk dan membuat masyarakat mengabaikan bahayanya.
Sejak awal, Trump menunjukkan gelagat bodo amat soal virus ini. Trump tidak mengacuhkan pentingnya protokol kesehatan, ia mengabaikan anjuran-anjuran untuk menghadapi pandemi, seperti misalnya mengenakan masker. Tidak mengenakan masker di masa pandemi, bagi Trump, adalah sebuah tantangan untuk menguji ke-macho-an seseorang. Perilaku ini juga buruk dan menunjukkan ia mengabaikan sains.
Trump percaya bahwa upaya yang dilakukan pemerintahannya untuk menangani pandemi berjalan baik. Tapi data-data membuktikan pandemi ini menggebuk AS lebih keras ketimbang di tempat-tempat lain. Saat ini, AS menjadi negara dengan kasus positif Covid-19 terbanyak di dunia dengan lebih dari 7 juta kasus dan 215.212 di antaranya meninggal.
Sosok Trump ini memang absurd dan sukar dipahami. Memahami orang yang percaya bumi itu datar barangkali lebih mudah ketimbang memahami petingkah Trump. Urusan Anda akan jadi jauh lebih repot dan melelahkan ketika Anda mesti berhadapan dengan orang-orang yang tidak percaya sains. Trump adalah gabungan keduanya.
Ia tidak percaya sains lagi bebal. Itu adalah kombinasi terburuk bagi seseorang yang dipilih untuk menjabat presiden, dan ini mengherankan.
Saya tidak tahu apakah ia lebih buruk dari George W. Bush yang mengamini informasi soal kepemilikan senjata pemusnah masal Irak. Bush menggunakan informasi itu untuk membenarkan tindakannya menginvasi Irak. Peta konflik dunia berubah dan kemudian informasi itu masih diperdebatkan kebenarannya. Informasi ini adalah salah satu berita terburuk yang pernah ada mengenai cara seorang presiden membuat sebuah kebijakan.
Bob Woodward dalam Fear menerangkan betapa kacaunya Trump menjalankan pemerintahan di Gedung Putih. Trump memimpin negara adidaya dengan karakter emosional, meledak-ledak, impulsif dan sukar diprediksi. Persis kelakuan bocah. Dan yang paling menjengkelkan adalah mulut besarnya di Twitter. Itu semua menyebabkan banyak kekacauan terjadi di Gedung Putih, dan stafnya mesti repot membereskan kekacauan yang dibikin bos mereka.
Tapi saya betul-betul heran mengapa AS bisa memiliki presiden buruk macam mereka. Bush dan Trump menjalankan pemerintahan dengan kebijakan-kebijakan serampangan. Tidak becus juga boleh digunakan untuk menilai tindakan-tindakan mereka sebagai presiden. Sebaiknya, karena banyak tindakan mereka yang ajaib dan sulit dinalar, kita sebut mereka presiden kroco.
Warga AS pantas dan berhak marah pada tindakan pejabat-pejabat kroco macam mereka. Tidak hanya warga AS, saya kira, semua orang akan tersinggung ketika nasibnya dipertaruhkan di tangan pejabat-pejabat yang mutunya rendah.
Parodi Donald Trump dalam Semesta Politik
Dalam ranah politik, parodi umumnya dilihat sebagai alternatif kritik dan pendapat mengenai suatu ihwal. Ia mengolah beragam materi untuk menggambarkan sesuatu dengan cara jenaka. Tapi, saya kira, parodi bisa digunakan untuk hal yang lebih subtil: mengolok-olok presiden dengan cara yang elegan. Cara semacam ini juga pernah digunakan oleh serial The Simpsons.
Selama menjadi presiden, Trump beberapa kali membuat kebijakan kontroversial. Trump membangun tembok di perbatasan AS-Meksiko untuk menghalangi imigran dari Meksiko datang ke AS. Ia membuat larangan imigrasi untuk tujuh negara berpenduduk mayoritas muslim.
Bagi Trump, warga kulit berwarna adalah ancaman dan mereka itu lah yang membuat AS sebagai bangsa berada dalam situasi yang sumir. Sentimen mengenai imigran sebagai ancaman dibangun dan mereka merupakan sosok-sosok yang tak diinginkan di AS. Ini sesuai dengan cita-cita Trump untuk ‘membuat AS kembali Berjaya’.
Trump membayangkan sebuah komunitas kulit putih di AS, dan ia hadir untuk ‘menyucikan’ AS yang telah tercemar. Trump ingin dirinya dikenal sebagai sosok yang cerdas, dan maskulin. Ia percaya bahwa dirinya adalah laki-laki yang cerdas dan tangguh untuk memimpin AS, dan tentu saja, mampu ‘membuat AS kembali berjaya’. Dalam imajinasi Trump, AS sedang dibayangi ancaman berupa imigran hingga teroris.
Apa yang dibuat oleh Maestro Ziikos menghajar telak imajinasi Trump tentang sosok dirinya. Dalam parodi musikal bikinannya, Trump tak ubahnya sosok manusia dungu yang menyanyikan lagu-lagu yang tidak sesuai dengan dirinya.
Parodi I’m a Barbie Girl, misalnya, membongkar semua imajinasi Trump mengenai dirinya sebagai sosok lelaki yang jantan, dan tangguh. Barbie merupakan simbol bagi sifat-sifat feminim yang bertentangan dengan Trump yang mencitrakan diri sebagai sosok maskulin. Menyanyikan I’m a Barbie Girl merupakan cara elegan untuk membelejeti citra politik tubuh yang dibangun Trump.
Sementara parodi Baby Shark menggambarkan dua kebijakan pentingnya sebagai presiden. Soal tembok perbatasan dan hubungan Trump dengan Presiden Korea Utara Kim Jong Un. Versi asli Baby Shark bercerita soal keluarga hiu yang berniat mencari makan.
Salah satu liriknya yang berbunyi “lets go hunt doo doo doo” diubah menjadi “lets build a wall doo doo doo”. Pengubahan ini ditujukan untuk menyindir pembangunan tembok di perbatasan AS-Meksiko.
Sementara lirik lanjutannya yang berbunyi “Run away doo doo doo” tidak diubah. Konsep melarikan diri dalam versi asli lagu tersebut menggambarkan hiu-hiu mengejar pengunjung yang berenang. Tapi dalam versi parodi, Trump lari dari kejaran Kim Jong-Un yang menunggangi sebuah roket.
Hubungan Trump dan Kim memang tidak akur, dan mereka bertengkar seperti bocah-bocah yang memainkan gim online. Trump pernah mengejek Kim dengan sebutan little rocket man. Kedua presiden ini sekaligus mencerminkan bagaimana dua negara yang mereka pimpin berselisih paham. Pertikaian mereka agak mengerikan karena mereka saling mengancam dengan senjata nuklir.
I’m a Barbie Girl dan Baby Shark merupakan lagu yang ditujukan untuk anak-anak. Saya kira memparodikan Trump dengan lagu ini cukup mewakili sifat-sifat Trump. Saya menunggu Trump diparodikan mirip badut. Lawan Trump di pemilihan presiden AS Joe Biden menyebut Trump seperti badut di debat pertama pemilihan presiden AS 2020. Biden barangkali berkenan membuatnya.
Betapa pun Trump menjengkelkan dan cocok beralih profesi sebagai badut, Covid-19 sedang menjangkitinya. Apa yang ia alami ini juga merupakan sebagian dari tindakannya meremehkan virus.
Kita boleh berharap Trump bisa pulih dari Covid-19 sebagaimana kita harus berharap semua orang yang terinfeksi segera sembuh dan pandemi bisa diatasi dengan cara-cara terbaik yang mungkin dilakukan. Sudah terlalu banyak orang kehilangan nyawa akibat virus ini dan kita tidak menginginkan lebih banyak orang menjadi korban.
Saya yakin Donald Trump dan pemimpin-pemimpin negara lain yang menangani pandemi dengan serampangan masih memiliki niat untuk menyelamatkan orang-orang. Jika tidak, saya kira tidak berlebihan jika sejarah akan mengenang mereka sebagai presiden kroco.
Baca Juga: Optimisme Harari di Tengah Pandemi