Abainya pemerintah dalam menghadapi gelombang protes dari berbagai lapisan masyarakat terhadap tuntutan penolakan UU cipta kerja, menunjukkan bahwa pemerintah dan DPR kita masih serupa sirkus.
Apa lagi tuduhan tak berdasar dari pihak pemerintah bahwa ada ‘sponsor’ yang menggerakkan aksi demo dari balik layar. Tuduhan ini bukan hanya menuding udara kosong, namun juga merendahkan partisipasi masyarakat dalam memelihara iklim demokrasi.
Dengan turunnya berbagai lapisan masyarakat: buruh, petani, pekerja, mahasiswa, siswa STM, pengangguran, K-popers, bahkan kelompok ‘underground’ yang pernah meladeni urusan ranjang para anggota DPR, tidak heran jika banyak yang meyakini kalau pengesahan UU Cipta Kerja ini janggal.
Terlebih, di luar berbagai kejanggalan yang menyelimuti prosedur pengesahan UU Cipta Kerja, sudah sepatutnya sebagai pemangku kebijakan, pemerintah dan DPR tidak alpa mempertimbangkan pasal 27 ayat 2 UUD Negara Republlik indonesia tahun 1945 yang menyatakan bahwa, “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
Baca Juga: Bagaimana Penggemar K-Pop Bergerak Menyikapi Situasi Sosial
Anggap pengesahan UU Cipta Kerja dilakukan dengan baik: cermat, teliti, draft sudah siap, naskah akademik jelas, transparan, dan masih banyak lagi. Meski berat, anggaplah banyaknya kejanggalan dalam proses penciptaan regulasi itu nihil. Lantas, apakah motif perumusannya sudah tepat? Nyatanya, tidak.
Alasan dibalik UU Cipta Kerja, yang menggadang-gadang kemudahan berinvestasi dan pengentasan berbagai persoalan ketenagakerjaan, bahkan bisa disebut usang sejak dalam angan-angan.
Meningkatnya Investasi Tidak Sejalan dengan Penyerapan Tenaga Kerja
Dalam sebuah video yang dirilis oleh watchdoc dijelaskan bahwa UU Cipta Kerja secara umum menghapus perizinan dan aturan yang mengikat para pemilik usaha agar investasi bisa masuk. Logika yang dipakai dalam merumuskan regulasi ini adalah meningkatnya investasi selaras dengan meningkatnya lapangan kerja, khususnya bagi angkatan kerja baru yang tiap tahunnya mencapai dua juta jiwa.
Faktanya, dalam rentang 2010-2016, investasi di Indonesia telah meningkat dan justru penyerapan tenaga kerja berkurang. Dalam dokumenter watchdog dijelaskan, pada 2010 setiap 1 triliun investasi dapat menyerap 5.000 tenaga kerja. Sedangkan di tahun 2016, setiap 1 triliun investasi hanya dapat menyerap 2.200 tenaga kerja.
Meningkatnya investasi di Indonesia memang akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Namun, pertumbuhan ekonomi sekalipun, nyatanya tidak dapat sejalan dengan peningkatan serapan tenaga kerja di Indonesia. Pada 2013 setiap 1% pertumbuhan ekonomi mampu menyerap 750.000 tenaga kerja, namun pada 2019 setiap 1% pertumbuhan ekonomi hanya mampu menyerap 110.000 tenaga kerja.
Investasi di Indonesia Baik-Baik Saja
Justru aneh, jika UU Cipta Kerja ‘diciptakan’ dengan dugaan bahwa investasi di Indonesia ini sedang dalam masalah. Padahal, investasi di Indonesia, menurut ekonom senior Faisal Basri ketika diwawancari oleh Najwa Shihab, bahkan lebih baik daripada China, Malaysia, Thailand, Brazil dan Afrika Selatan.
“Kalau kita melihat peranan investasi terhadap PDB, Indonesia itu tertinggi sepanjang sejarah di era Jokowi. Tingginya 34%. Tertinggi di ASEAN, dimana sebelumnya tidak pernah di atas 30%. Ini lebih tinggi daripada negara-negara dengan pendapatan menengah atas. Sehingga tidak ada masalah dengan magnitude investasi,” ungkapnya.
Laporan World Investment Report 2020 yang diterbitkan United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) bahkan menunjukkan hasil memuaskan. Indonesia menjadi 20 besar dunia untuk urusan foreign direct investment (FDI), dimana tidak ada lagi negara ASEAN yang masuk ke dalam urutan 20 besar, selain Indonesia dan Singapura.
Merujuk hal tersebut, alasan akan keberadaan UU Cipta Kerja yang muncul atas dasar “masalah pada investasi” jelas mengada-ngada. Justru, keberadaan regulasi hasil pembahasan kebut semacam ini terkesan merendahkan capaian Jokowi dalam meningkatkan investasi di Indonesia dalam periode kepemimpinannya.
Bukan Investasi, Melainkan Korupsi dan Masalah Birokrasi
Daripada investasi, justru ada yang lebih pantas untuk dientaskan: korupsi dan keruwetan dalam birokrasi. Hal ini lebih masuk akal untuk dijadikan masalah investasi dan jelas bukan UU Cipta Kerja dengan ‘konten’ seperti sekarang yang jadi solusinya.
Pasalnya, kedua hal tersebut adalah hal paling utama yang menghambat keberlangsungan bisnis di Indonesia. Berdasarkan Executive Opinion Survey 2017 dari World Economic Forum, kedua urusan tersebut merupakan faktor nomor satu dan nomor dua yang menjadi masalah dalam pelaksanaan bisnis. Sementara regulasi ketenagakerjaan yang menjadi motif di balik perumusan UU Cipta Kerja, yang justru menjadi faktor bermasalah ke-11.
Maka tidak mengherankan, bila rasio penambahan modal dengan luaran atau incremental capital and output ratio (ICOR) sepanjang Jokowi menjabat presiden mencapai 6,5, padahal di masa pemerintahan SBY hanya 4,3. Mirisnya, 6,5 adalah angka ICOR tertinggi di negara-negara ASEAN.
“Ibaratnya, kita sudah makan banyak makanan yang bergizi, tetapi berat badan tidak naik, karena banyak cacing di perut. Itu namanya korupsi. Korupsi itu bikin investor di luar maupun dalam negeri sakit kepala,” kata Faizal.
Meyakini kalau UU Cipta Kerja dapat mengatasi masalah investasi dan ketenagakerjaan di negara ini, tidak beda dengan percaya bahwa cara terbaik menyelamatkan seseorang yang tenggelam di laut adalah mengeringkan air lautnya.
Maka tak perlu repot-repot membaca keseluruhan pasal untuk memahami mengapa UU Cipta Kerja adalah lucu. Tiga hal di atas seyogyanya cukup bagi kita untuk menilai bahwa UU Cipta Kerja sudah janggal sejak dalam pikiran.