Transportasi tak akan pernah kehabisan cerita. Apalagi, cerita mengenai ‘keganasan’ emak-emak naik motor. Netizen sampai memunculkan julukan ‘motor emak gila’.
Seolah-olah, sudah ada sebuah kesepakatan tidak tertulis di antara para bapak untuk mengangguk, saat menjawab pertanyaan: “Apakah emak–emak tidak becus dalam mengendarai motor?”
Berdasarkan meme-meme motor emak gila yang pernah saya baca di dunia maya, kebanyakan beranggapan kalau emak–emak naik motor itu seenaknya sendiri. Beri lampu sen ke kanan tapi belok kiri, tak pakai helm tapi tak mau ditilang, jalan di tengah tapi pelan-pelan, juga tak mau disalahkan bila ada insiden yang membuat mereka merasa dirugikan.
Saya tertawa getir ketikan melihat ada meme yang menuliskan “lebih baik pura-pura mati kalau berurusan dengan emak–emak naik motor”.
Men, ini dunia macam apa? Emak–emak naik motor jadi semacam spesies kedua yang harus diwaspadai setelah Polantas yang kehabisan rokok.
Menghormati Emak-emak Naik Motor, Apa Salahnya?
Padahal, di kala saya masih duduk di bangku TK dan SD, ibu guru mengajarkan saya agar selalu menghormati emak, karena surga ada di telapak kakinya. Mulanya, saya yakin kalau pelajaran menghormati emak itu pasti akan disampaikan para guru TK dan SD di seluruh Indonesia.
Akan tetapi, mengetahui banyak meme seperti itu beredar di media sosial, saya jadi sangsi kalau para guru se-antero negeri ini menyampaikan pesan itu dengan serius. Memang benar sih, emak–emak kalau sudah naik motor bisa membuat emosi pengendara lainnya memuncak.
Soalnya ketika sudah melaju di jalanan, ada saja ulah mereka yang bikin gemas. Namun, apalah bentuk ulah mereka, apakah menghakiminya melalui media sosial merupakan hal yang patut untuk dilakukan?
Saya tak bisa membayangkan, bagaimana kalau saya jadi emak–emak yang sering mengendarai motor, kemudian melihat caci makian dari penggiat Medsos. Saya pasti akan terluka mengetahuinya.
Lagipula loh ya, kalau dipikir-pikir emak–emak itu punya hati yang mulia. ‘Sebercanda-bercandanya’ seorang emak waktu berkendara motor, ia tak akan pernah bercanda saat mengurusi anak-anaknya. ‘Seekstrim-ekstrimnya’ emak saat berkeliaran di jalan, dia tak akan pernah membiarkan anak-anaknya tak makan seharian.
Kalau kata orang-orang, marahnya emak itu tandanya sayang. Saya pernah dimarahi emak karena mendapat nilai jelek di sekolah, tapi saya anggap itu motivasi agar saya terus meningkatkan prestasi. Emak saya, pernah melarang adik saya memanjat pohon di depan rumah, itu kan wajar karena emak saya tidak mau anaknya terluka.
Di balik marah sang emak, tersimpan berjuta keinginan agar kita menjadi lebih baik daripada mereka. Karena itu, jangan heran kalau ada emak–emak naik motor yang marah kepada kita.
Mungkin saja mereka cuma ingin mengajarkan kita bahwa mengganggu pengendara lain yang lagi asik berkendara adalah hal yang tidak terpuji. Mungkin, mereka berharap kita bisa lebih baik daripada mereka saat berkendara motor dengan tidak mengganggu orang lain.
Begitu pula waktu emak–emak salah memberikan lampu sen. Ketika itu juga, emak sedang mengajarkan bahwa tanda ke kanan tak hanya berarti belok kanan. Tanda ke kiri, juga tak selalu berarti belok kiri. Ada kemungkinan, manusia salah memahami tanda dari lampu sen.
Kenapa emak–emak itu sukanya main tanda sih? Karena emak–emak itu wanita, dan wanita suka main kode. Jadi, logis!
Saya tuh kagum banget sama emak–emak yang minta kita buat pengertian sama “tanda” dari lampu sen mereka. Itu tuh filosofis banget!
Dari lampu sen itu, emak–emak menyadarkan kita bahwa manusia hanya bisa berupaya mencari dan memahami tanda-tanda dari Tuhan. Sedangkan hasilnya, semua tergantung pada Tuhan sang pencipta alam. Saat manusia salah memahami tanda, berarti ada konsekuensi yang harus diambil.
Emak–emak naik motor dibilang juga sering melaju dengan kecepatan rendah, tapi posisinya di tengah jalan. Orang-orang yang menghadapi ini biasanya dibuat kesal, karena terlalu ke tengah dan lambat orang-orang jadi susah buat menyalip.
Bila menemukan kasus seperti ini, saya sarankan untuk bersabar. Karena emak–emak sengaja melakukan itu untuk melatih kesabaran kita. Mereka masih jauh lebih sabar, karena mengandung janin selama sembilan bulan. Lagipula, dalam kitab suci para emak pengendara motor, berkuasa di jalan adalah harga untuk rasa sakit yang mereka rasakan saat melahirkan kita semua .
Satu lagi, ini mungkin pelajaran paling penting yang kita (terutama pria) bisa ambil dari cara berkendara para emak. Dengan berkeliaran di jalan menggunakan sepeda motor, para emak mengingatkan para pria untuk menjaga istrinya dari caci maki orang sekitar.
Bayangkan, ketika para pria mengetahui istrinya dijadikan objek caci maki oleh penggila Medsos. Seberapa besar amarah yang terus bergejolak dalam hati. Untuk itu, pelajaran ini mungkin sangat penting bagi kita.
Pepatah ada yang mengatakan, di balik pria sukses ada wanita hebat. Sedangkan saya beranggapan, di balik wanita ugal-ugalan ada pria cuek. Jadi, setiap berurusan dengan emak–emak pengendara motor, ingatlah istri-istri atau pacar-pacar anda di rumah!
Sudahlah, apapun yang sudah terjadi, perlu waktu untuk emak–emak berubah menjadi lebih tertib dalam berkendara motor. Jadi, saat ini yang bisa dilakukan hanyalah saling memaafkan, karena kata Mario Teguh, “memaafkan adalah bentuk tertinggi dari pengertian dan kasih sayang”.
Nah, untuk menutup tulisan ini, saya akan sedikit bercerita mengenai pengalaman saya saat melintas di salah satu ruas jalan di Kota Malang belum lama ini. Saat itu saya sedang melaju dengan kecepatan 60 km/jam, dari kejauhan tampak emak–emak ber-makeup tebal naik motor matik ingin menyebrang ke sisi jalan yang lain.
Saya yang dari kejauhan sudah melihatnya, berusaha mengerem sepeda motor keluaran tahun 2005 milik saya semampunya dengan maksud membiarkan mereka lewat. Namun, ternyata meskipun emak itu telah melihat ke arah saya, dia tampak panik dan ragu untuk menyeberang. Memang kondisinya saat itu motor saya belum berhenti total.
Masih sekitar lima meter dari posisi emak-emak itu berada, motor saya akhirnya berhenti total. Emak-emak naik motor tadi langsung mengambil ancang-ancang untuk menyeberang.
Saya sedikit mengangguk dengan berkata “monggo” dengan suara pelan, diiringi dengan wajah tersenyum. Dia pun menyeberang, namun anehnya, ia kemudian menatap mata saya tajam, sambil menggerutu, mulutnya berkomat-kamit tidak jelas, seperti menyalahkan saya karena telah membuat dia panik “Hgrrrr,” suaranya terdengar seperti itu.
Jujur saja, itu membuat saya kesal. Ini namanya air susu dibalas air tuba. Sudah saya persilahkan emak itu lewat, malah disemprot. Berteriaklah saya, “SIALAN LOE BU,” sambil tertawa geli mengetahui kelakuan emak-emak tadi. Ternyata, saya masih sulit untuk menolerir kelakuan motor emak gila. Hehe.