Ibarat pementasan jalan, kisah Leicester City bisa dibilang senafas dengan kisah epik jaman dahulu. Mengandung pesan moral dan nilai-nilai luhur bangsa ketimuran. Jika boleh mengambil permisalan dari RPUL dan beberapa rujukan buku sejarah setingkat madrasah (yang saya punya), saya menganalogikan jika (maksa) semangat perjuangan Leicester hampir sama dengan semangat perjuangan Arek Suroboyo saat mengusir tentara sekutu ketika mempertahankan kemerdekaan. Meskipun sebenarnya tak arif menyamakan perjuangan klub bola asal Inggris dengan perjuangan luhur segenap komponen masyarakat untuk mempertahankan harga diri bangsa dari serangan penjajah, yang juga dari Inggris.
Namun terlepas dari itu semua, terus terang saya hanya menyamakan semangatnya saja, dan tak berniat menyamakan antara Ranieri dan Bung Tomo.
Saya masih ingat cerita Bu Darmi, guru mata pelajaran IPS saya saat saya masih kelas 4 SD. Beliau mengatakan, jika pertempuran di Surabaya adalah pertempuran yang paling dahsyat dan heroik sepanjang usaha mempertahankan kemerdekaan yang baru seumur jagung. Betapa tidak saat itu Surabaya diserbu oleh Pasukan Sekutu dan Inggris yang ditumpangi NICA dan banyak pasukan Ghurka. Bukan hanya dari satu sisi daratan namun juga dari seluruh penjuru mata angin di laut dan udara. Yang lebih mengagumkan lagi, masih kata Bu Darmi, saat itu segenap elemen masyarakat dengan segala status dan profesinya ikut bertempur dengan caranya masing-masing. Tak hanya tentara militan dalam garis depan saja yang memanggul senjata, tukang soto, tukang bakso, tukang jahit, tukang soder, tukang becak, dan segala jenis tukang dan profesi lainnya pun berkumpul menyandang peran masing-masing dengan satu tujuan yang sama.
Hal ini yang akhirnya diam-diam, memaksa saya untuk mengagumi perjuangan dan semangat “The Foxes” di musim ini, walaupun saya sebenarnya adalah seorang “Gooners”. Memang kenyataannya boleh dikatakan kita harus meminjam ungkapan “from zero to hero”, dalam peperangan sadis BPL nyatanya tim semenjana yang kemarin bergulat untuk keluar dari jurang degradasi hanya berselang semusim dapat mengubah kondisi dan menumbuhkan ketidakpercayaan. Betapa tidak perjuangan tim ini cukup heroic. Melawan parkir bus dari juara bertahan tim ibu kota Chelsea, sempat tersungkur dua kali lewat tembakan meriam London Arsenal, digempur lewat udara oleh tim elang kaya dan mapan Manchester City, diserbu dari laut oleh tim penuh determinan Liverpool, dan bahkan diserbu lewat alam ghaib oleh tim banyak fans, Manchester United.
Jika saya diminta menganalisa layaknya para analisis bola di ESPN Indonesia, keberhasilan Leicester ini adalah keberhasilan yang sangat sukar untuk diprediksi. Lebih mudah menganalisa ending FTV Indonesia daripada mempercayai hal-hal berbau dongeng di zaman serba digital dan virtual.
Pasalnya jika melihat perjalanan tim ini musim lalu, dan pemecatan pelatih sebelumnya Nigel Pearson karena skandal, tak akan ada yang menyangka jika semua akan berubah secepat ini. Kedatangan Mbah Ranieri pun awalnya juga tak menghapus keraguan, dikarenakan meskipun sosoknya adalah pelatih sarat pengalaman dengan pernah menukangi tim-tim besar macam Juventus, Atletico, Inter, Valencia ataupun Chelsea. Pelatih sepuh berjuluk “The Thinkerman” pun juga berpengalaman dipecat tim, bahkan di CV terakhirnya Si Mbah tercatat dipecat oleh Tim Nasional Yunani setelah gagal total menukangi tim untuk lolos EURO 2016. Kalau dibandingkan garis nasib kepelatihan Arsene Wenger lebih baik dan nyaman (di peringkat 4) tanpa pernah dipecat.
Jika dilihat dari sisi materi pemain, dengan modal pas-pasan, tim rubah ini hanya diisi pemain harga murah yang awalnya bermain untuk tim antah-berantah. Sebut saja seperti Jamie Vardy, Riyad Mahrez, N’golo Kante, ataupun Danny Drinkwater (Haus). Namun sepertinya mereka benar-benar mempraktekan filosofi jawa, untuk tekun berlatih dan “manut omongane Si Mbah”, dan hal ini menjadikan tim rubah benar” berubah menjadi tim superior. Bahkan jika berjalan sesuai alur khas film hollywood, tim ini akan berpeluang merayakan mimpinya di “Theatre of Dream” malam nanti, saat sang rubah melawat dalam pertandingan tandang melawan tim setan merah. Ya tinggal apakah sang rubah mampu mengkandaskan MU dikandangnya yang merah darah, seperti pasukan pemuda surabaya yang menghabisi AWS Mallaby di Jembatan merah.
Dan apabila memang pada akhirnya Leicester menasbihkan diri menjadi juara BPL hal ini bukan hanya menjadi sejarah di Britania Raya. Sebagai negara dengan mayoritas penduduk fanatik bola dan kalangan urban sebagai basis fans klub-klub eropa terbesar di dunia, munculnya fenomena Leicester sebagai juara di Liga yang diklaim sebagai liga paling kompetitif di dunia itu akan berdampak pada aspek yang sederhana maupun yang sifatnya industri komersil pada banyak hal di Indonesia. Contoh sederhana yang jelas akan muncul fanbase baru Leicester dengan membuka korwil baru beragam nama untuk meruntuhkan dominasi Mancunian seumpama Leicester Fans Tribun Barat daya, atau Rubah biru Singosari. Bukan hanya itu contoh sederhana lainnya yang positif anak-anak Indonesia yang krisis figur teladan akan mendapatkan gambaran nyata tentang arti perjuangan sebuah tim sepakbola dalam mencapai impian, karena selama ini anak-anak Indonesia hanya mengenal contoh Tsubasa dan Si Madun dalam menggapai mimpinya sebagai pesepakbola.
Itu mungkin gambaran sederhana yang terjadi, dalam aspek yang lebih serius khususnya dalam Industri, para pelaku ekonomi (kreatif) bisa menangkap momen langka ini. Seperti contoh dalam industri batik, pelaku usaha harus jeli untuk menambah motif batik klub bola yang selama ini sudah beredar. Karena motif MU, Barca, Madrid, Milan, ataupun Chelsea sudah mulai lesu dalam hal penjualan, batik Leicester membuka pasar baru dengan meningkatnya jumlah permintaan. Terlebih dalam hegemoni MEA merambah ekspor ke pasar Thailand, karena notabene Leicester saat ini dimiliki oleh Taipan asal Thailand. Dalam hal lain misalnya periklanan, meskipun ternyata Rubah dan Luwak itu berbeda tapi mirip. Hal ini juga menjadi peluang untuk meningkatkan pasar kopi luwak sachet (KW). Karena setelah menggunakan jasa Pak haji Wagub Jabar, dan Bintang Korea idola wanita, Lee Min Hoo, tak ada salahnya jika mencoba menggaet Si Vardy untuk jadi bintang iklan dengan tujuan memperluas peluang pasar hingga Internasional, seperti Pacman saat minum es, dan Messi ketika mainan hape, sebelum si Pardi keliling jadi bintang tamu Talkshow televisi yang ga keitung jumlahnya.
Dan yang terakhir pengaruh yang kompleks dalam segala aspek, jika Leicester City menjadi juara adalah, tentang nilai filosofis dan keyakinan yang akan banyak menginspirasi. Ya, Menginspirasi banyak pemuda untuk tetap percaya diri dan berusaha, khususnya ada para mahasiswa tingkat akhir akan semakin yakin jika wisuda pasti akan tiba (pada waktunya). Bagi mereka dengan IPK (Indeks Prihatin Kuliah)-nya sederhana akan semakin yakin jika IPK bukan parameter kesuksesan meraih kemenangan masa depan. Bagi mereka para pemuda pas-pasan yang tengah berjuang mendapatkan cinta di tengah kerasnya persaingan pastinya juga akan semakin yakin jika cinta di dapatkan bukan karena wajah dan harta melimpah, namun dengan kesetiaan, dan perjuangan dengan penuh kesungguhan (Tsssaaahhh).
Semoga kisah indah ini tak hanya terjadi musim ini. Semoga musim-musim depan akan muncul Leicester-Leicester lainnya, bukan hanaya di Liga Inggris tapi juga Liga-Liga sepak bola lainnya. Terimakasih Leicester kehadiranmu menginspirasi!