Sekitar pertengahan tahun 2011, saya diajak seorang teman ke konser salah satu band indie yang belum pernah saya dengar. Dengan sedikit memaksa, dia menegaskan betapa bagusnya lagu-lagu yang akan dibawakan oleh band dari Jakarta itu. Sebagai tambahan, dia juga berjanji akan membelikan sebungkus garpit sebagai logistik. Bermodal uang sepuluh ribu di kantong, kami merapat ke sebuah café di daerah Dipati Ukur, Bandung. Di Bandung, HTM gratis untuk menonton sebuah band “tidak terkenal” adalah hal yang biasa. Hal tersebut tentu menjadi nilai lebih bagi saya untuk menemani dia menonton band tersebut.
Di café tersebut, hanya segelintir orang yang memusatkan pandangannya ke panggung musik. Sisanya hanya sibuk dengan teman-temannya seraya mengacuhkan jalannya konser tersebut. Lagu pertamapun dimulai. Tiba-tiba beberapa dari mereka yang acuh mulai bergerak dari tempat duduknya menuju depan panggung. Hampir setengah jam acara tersebut berjalan, orang-orang mulai pada penasaran tentang siapa band yang ada di panggung tersebut.
Sebagian orang juga telah mempersiapkan gadgetnya untuk mengomentari band tersebut di social media. Ya, setelah mendengarkan band itu pertama kali, mereka jadi sok asik dan merasa lagu itu adalah “gue banget”. Kalian tau beberapa tahun kemudian apa yang terjadi dengan mereka? Mereka menjadi komunitas pecinta kegundahan. Mereka secara rutin mengumpulkan uang dari satu pensi ke pensi lainnya untuk “beribadah”. Mmereka yang ekstrovert bakal bikin status, yang introvert bikin tulisan filosofis. Tulisan yang lebih menyatakan bahwa band tersebut “meng-aku”.
Tidak hanya mereka, saya pun juga melalui fase tersebut. Apabila lagi melow, saya langsung memasang liriknya di sosial media. Tak lupa, saya juga mengganti profil dan mengumumkan secara implisit bahwa saya adalah seorang penikmat musik indie. Beberapa yang lainnya juga mulai untuk mengikuti gaya dari band tersebut. Seperti cara berpakaian, pembuatan komunitas hingga secara konsisten mendeklarasikan diri sebagai pecinta aliran musik tersebut.
Tetapi fenomena tersebut dikritik abis-abisan oleh teman saya. Dia menganggap musik hanya sebagai sebuah karya seni untuk didengar. Dia pernah berkata ”kok yang galau itu lagunya, kenapa maneh (kamu) juga ikut-ikutan galau, maneh gak sadar maneh jadi gak punya pendirian gara-gara jadi follower, gak ada sisi authentic dari diri maneh” .
Perkataan dari teman saya tersebut benar-benar memberikan pandangan berbeda. Saya benar-benar berpikir bahwa mencintai musik tidak harus berkahir pada eksistensi diri. Lambat laun, saya mulai jengah dengan kehidupan para hipster ababil yang makin ramai mengeksiskan dirinya. Oleh karena itu saya sesekali ingin memberikan pandangan terkait keresahan saya melihat fenomena orang-orang anti mainstream tersebut. Terutama bagi mereka yang suka pake foto profi meniru gaya gambar albumnya sonic youth, yang lagi rokokan sambil nyantai dari samping.Hey! kamu keren banget dech.
Bagi mereka, hal paling keren adalah mengetahui sebelum orang lain mengetahui. Kaum-kaum replika Avant Garde tersebut berlindung dibawah kekuatan-kekuatan penerawang untuk memastikan musik yang akan bagus di masa mendatang. Agar mereka mencintai musik tersebut sebelum mereka menghujatnya dikarenakan telah disukai oleh banyak orang. Passion mereka adalah mengumpulkan identitas band idola mereka. File bertipe mp3 adalah hal biasa bagi mereka, terlalu mainstream. Bagi mereka, mengoleksi piringan hitam adalah sebuah kebanggan. Mereka sangat mencintai kerumitan dalam memahami musik kesukaannya.
Nilai-nilai masokis berpengaruh besar dalam meningkatkan level kehipsterannya. Kalau bisa, gimana caranya jalan hidupnya dimiripkan semaksimal mungkin dengan jalan cerita di lirik lagu.Tidak lupa juga, para bohemian borjuis tersebut juga memiliki standar produk yang menentukan mana mainstream dan mana anti mainstream sebuah nilai. Nah, produk yang semakin hippie, harga produksinya akan semakin naik. Mereka tentu gak bakal ambil pusing. Menurut mereka kepuasan simbol adalah di atas segala-galanya.
Saya sendiri tentu bukan dipihak yang menentang perkembangan arus musik indie. Saya selalu mendengarkan lagu-lagu mereka untuk kepuasan hati. Bagi saya musik adalah konsumsi pribadi. Anda tidak perlu tahu bahwa saya sedang galau, sedih, atau senang melalui sebuah lagu. Fantasi keren atau gak keren itu menurut saya adalah utopis. Karena bagi kalian para hipster, permainan simbol adalah segalanya. Ah bikin rumit kau kayak filsuf Prancis aja!!