Dear Maba, yang baru ataupun bangkotan, sudah berapa purnama kamu lewati sebagai anak kuliahan?
Dunia perkuliahan mau tidak mau membuat kamu harus akrab dengan buku—tebal-tebal, bukan? Kamu yang dulu sering terpapar Lembar Kerja Soal (LKS) dan buku cetak ringkasan pelajaran, pasti mengeluh pada minggu-minggu awal kuliah.
Sebab, LKS dan buku cetak dengan berlembar-lembar soal itu membuatmu terbiasa membaca dengan rasa ingin cepat selesai. Tanpa ada upaya memahami maksud si penulis dan bagaimana perkembangan pengetahuan di dalam buku tersebut. Pun, proses pengendapan dan perenungan setelah membaca juga sering terlewatkan, padahal itu yang penting.
Ya, kita dididik agar dengan cepat menemukan di mana letak teori dalam buku yang bisa menjawab persoalan yang kita pertanyakan. Generasi menghafal, bukan memahami.
Ada resep rahasia sebelum memulai membaca buku tebal-tebal penuh teori, ialah dengan membaca buku tebal-tebal penuh imaji, yakni membaca sastra, salah satunya novel.
Daripada kamu bersusah-payah minta saran list novel ke kating dengan gaya sok asyikmu. Kemudian dibalas oleh beberapa katingmu yang mulai bar-bar mengganggumu dengan sikap ‘baik’nya, mending kamu baca tulisan ini sampai selesai deh.
Karena di tulisan ini, ada lima novel lintas tema yang setidaknya mesti kamu baca selagi masih menjadi calon sarjana alias belum wisuda.
Norwegian Wood (Haruki Murakami)
Novel ini bercerita tentang seorang mahasiswa bernama Toru Watanabe. Alkisah, Toru adalah tipe orang yang berteman dengan hanya sedikit orang, senang membaca buku, dan menjalani hidup seperti orang kebanyakan. Padahal, saat itu Toru berada pada tempat di mana nilai-nilai ideal sedang diperjuangkan oleh aktivis-aktivis kampus: menuntut adanya revolusi.
“Bodo amat!” Toru sama sekali tidak tertarik dengan semua itu. Baginya ada yang lebih penting untuk dipertanyakan, yaitu persahabatan, cinta, dan kematian. Mantul!
Norwegian Wood ditulis 1987. Kisahnya tidak hanya nostalgik, novel karya Haruki Murakami ini juga menjadi ajang pelampiasan penulis untuk mencurahkan seluruh libido yang tersumbat.
Norwegian Wood adalah karya yang bisa direkomendasikan kepada orang-orang yang belum pernah membaca karya Murakami sebelumnya. Ada yang bilang kalau novel ini adalah karya Murakami paling realis dibandingkan dengan novel Murakami lainnya yang tiba-tiba ada menceritakan UFO, astral projection, atau kucing bicara.
Ini adalah novel yang tepat bagi kamu yang sedang menggebu-gebu ingin revolusi hendak memulai menikmati tulisan Haruki Murakami sekaligus meresapi dinamika kampus: cinta, persahabatan, lingkungan toxic, menjadi diri sendiri, dan lantas perpisahan, jika tidak bisa dibilang kematian.
Seratus Tahun Kesunyian (Gabriel Garcia Marquez)
Konon, Seratus Tahun Kesunyian karya Gabo, panggilan sayang Gabriel Garcia Marquez, memuat sejarah Amerika Latin dengan basis sosialnya yang karut-marut.
Ada pula yang menyebut novel terbitan 1967 ini adalah pengalaman pribadi sang pengarang yang tinggal di Kolombia, Amerika Selatan. Yang selama lebih dari lima ratus tahun selalu terkoyak oleh perang. Menjadi negara yang begitu terkucil dari pergaulan dunia, apalagi saat para diktator silih berganti mengisi tampuk kekuasaan dan tak ada yang lebih baik satu dari yang lain.
Dalam Seratus Tahun Kesunyian, ada satu babakan cerita tentang penghapusan sejarah atau memori kolektif oleh penguasa. Yakni, pembunuhan terhadap jutaan pekerja pabrik pohon pisang. Secara satire, Gabo ingin memberitahu bahwa masih banyak bangsa yang amnesia pada sejarahnya.
Poinnya adalah ketika sejarah sudah diatur sedemikian rupa oleh penguasa, sastra bisa menerbitkan sejarah yang sama dengan versi lain.
Pada buku History yang ditulis oleh Herodotus, apa yang ia namakan sejarah adalah catatan-catatan peristiwa keseharian, termasuk takhyul-takhyul yang ia jumpai. Sejarah dalam Herodotus adalah kumpulan kejadian yang nyata dan khayal. Sejarah “Amerika Latin” dalam novel Gabo ya seperti itu.
Mangir (Pramoedya Ananta Toer)
Apakah kamu pernah bertanya-tanya kenapa Mataram didirikan di Kotagede, Yogyakarta? Sebuah daerah pedalaman, di tengah kawasan pertanian, jauh dari pesisir, jauh dari keramaian perdagangan dan lalu lintas berbagai bangsa dan peradaban.
Lantas bagaimana orang-orang Jawa, anak-anak pulau, berubah watak. Dari pelaut menjadi petani, dari Majapahit menjadi Mataram?
Semua itu tentu saja tak bisa hanya diungkapkan melalui buku-buku sejarah resmi. Perlu adanya sejarah versi lain. Maka tulisan Pram mengenai Mangir, tokoh legendaris dalam sejarah dan dunia batin manusia Jawa, musuh sekaligus menantu Senopati, sekaligus pendiri dinasti Mataram di Kotagede, adalah hal yang patut diapresiasi.
Mangir adalah naskah terakhir dari tetralogi Arus Balik yang ditulis oleh Pram sebelum dibawa ke Pulau Buru dan diselesaikannya setelah kembali dari masa buangan. Tetralogi Arus Balik mewakili masa sebelum wacana kebangsaan lahir pada awal abad ke-20, yang nantinya dipaparkan pada tetralogi Bumi Manusia.
Pun, dalam Mangir, Pram menjelaskan ada kecenderungan bahwa cerita rakyat, legenda, dan mitos di Nusantara cenderung bersifat istana-sentris, membuat tokoh yang tak disukai atau musuh dinasti, diwujudkan dalam bentuk bukan manusia seutuhnya, melainkan hewan atau manusia cacat fisik. Dan itu yang membuat Pram berani mengangkat cerita Mangir di luar versi pemerintah dan kraton.
Saya memilih Mangir dibanding Bumi Manusia, karena yang disebutkan terakhir sudah sangat overrated.
In Cold Blood (Truman Capote)
In Cold Blood adalah kisah non-fiksi, sangat panjang, dan investigatif yang ditulis oleh wartawan The New Yorker, Truman Capote.
Berisi tentang pembunuhan sekaligus perampokan terhadap satu keluarga di kota kecil Holcomb, Kansas. Capote mengikuti kasus tersebut selama lima tahun, empat bulan, dan 28 hari. Hingga pada 1965, serial itu dibukukan dan kemudian difilmkan.
Tak perlu panjang-lebar, saya rasa buku ini pantas dibaca oleh Mahasiswa Ilmu Komunikasi dan kamu yang berniat masuk Pers Mahasiswa. Agar kamu yang ingin banget menjadi jurnalis tak akan mengeluh membuat berita benar dan memahamkan publi. Bukan menciptakan berita yang judul dan isinya berbeda, macam sindikat tribunnyus.
The Firm (John Grisam)
Terakhir adalah The Firm, novel karya John Grisam. Novel ini direkomendasikan oleh Artidjo Alkotsar pada setiap mahasiswa Indonesia jurusan hukum, khususnya yang ia ajar di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
Dari saluran Youtube Najwa Shihab, mantan Hakim Agung Mahkamah Agung Republik Indonesia itu berujar pentingnya membaca novel dan puisi, bagi para mahasiswa hukum. Alasannya, aktifitas tersebut dapat mempertajam dan mengasah kepekaan hati nurani, syarat agar keadilan yang seadil-adilnya itu tercipta. Serta, lebih menunjukkan sikap dan laku keberpihakan pada kaum marjinal dan misqiuen kota.
***
Nah, itu kelima novel yang bisa kamu baca sebelum wisuda. Mungkin kamu akan bertanya, kenapa sih kok gak ada novel karya Eka Kurniawan atau Mahfud Ikhwan atau Tere Liye dalam urutan di atas? Tunggu, coba baca dua pernyataan yang sudah saya siapkan:
Pertama, menyadur kata Om Ben dalam bukunya Hidup di Luar Tempurung, bahwa sastra yang lumayan klasik bisa digunakan sebagai basis bagi pendidikan perikemanusian. Hal penting yang justru tersisihkan dari kurikulum perkuliahan dan digantikan dengan subjek-subjek yang dianggap lebih berguna untuk karier, profesi, dan kehidupan modern secara umum. Lumayan klasik itu saya anggap berusia satu generasi, sama dengan 25 tahun.
Kedua, jawaban ini menyadur kutipan Haruki Murakami, “Bukannya aku tidak percaya pada sastra kontemporer, tetapi aku tidak ingin membuang waktu berharga untuk membaca buku apa pun yang belum memiliki baptisan waktu (kira-kira 25 tahun lah). Karena masa kuliah itu terlalu singkat.”