Capres-Cawapres 2024, Yuk Naikin Level Debat

Capres-Cawapres 2024, Yuk Naikin Level Debat

Please, Naikin Level Debat Pilpres 2024 dong!
Ilustrasi oleh Ahmad Yani Ali

Kalau tidak ada perbedaan ideologi, agama, keyakinan, dan cara pandang seseorang, ngapain coba capek-capek debat? Mending diskusi atau arisan sekalian.

Mendekati Pemilu 2024, debat untuk calon presiden maupun wakil presiden digelar. Debat untuk para calon, tidak sekadar untuk menyampaikan visi, misi, dan program agar diketahui masyarakat. 

Namun, juga menjadi momen pertukaran pendapat mengenai suatu masalah, dengan saling memberikan alasan untuk mempertahankan pendapat masing-masing. Sehingga, masyarakat dapat mengetahui kedalaman pemahaman calon terhadap suatu persoalan.

Itulah mengapa gelaran debat capres maupun cawapres penting dan patut ditonton. Dengan begitu, kita sebagai rakyat bisa memberikan penilaian kepada calon pemimpin negara.

Akan tetapi, saya kecewa dengan gelaran debat untuk capres dan cawapres yang telah dilaksanakan. Memang benar sudah ada tema dan format dalam debat capres-cawapres 2024, tapi yang dibahas justru hal-hal teknis yang terkesan sepele. Padahal banyak banget hal-hal penting yang bisa dibahas dan dicarikan solusinya.

Baca Juga: Dear Pak Anies, Iming-iming Nambah Kosakata itu Konyol sih

Debat yang Kurang Substansial

Direktur Lembaga Riset Lanskap Politik Indonesia, Andi Yusran, punya beberapa catatan  tentang kelemahan format debat yang digagas KPU. Kata Andi ajang debat di Pilpres 2024 kurang membahas hal-hal substantif.

Para kontestan debat juga lebih banyak menjual gimmick daripada gagasan yang berdaging. Akhirnya masyarakat kurang paham dengan apa yang diinginkan masing-masing capres-cawapres dan bagaimana cara mewujudkannya.

Belum lag soalan porsi panelis dalam debat juga terasa kurang panjang. Padahal para ahli itu kan lebih kompeten buat membedah program yang ditawarkan masing-masing kandidat, daripada lawan debat masing-masing kontestan.

Akhirnya debatnya kurang seru dan kurang greget buat level calon presiden dan wakil presiden Indonesia.

Debat harusnya ciamik. Debat ciamik adalah yang menimbulkan polemik. Polemik biasanya muncul akibat perbedaan ideologi, latar belakang kelas sosial, agama, keyakinan, dan cara pandang seseorang.

Kalau tidak ada perbedaan ideologi, agama, keyakinan, dan cara pandang seseorang, ngapain coba capek-capek debat? Mending diskusi atau arisan sekalian. Toh semuanya sama aja kok. Cuma beda warna partai dan kepentingan kekuasaan doang. Iya kan?

Menilik Literasi Debat-debat Keren di Indonesia

Sebagai guru Bahasa Indonesia, saya menyarankan para capres-cawapres menilik literasi debat-debat keren di Indonesia.

Pertama, ada polemik bacaan liar dan politik kanonisasi sastra yang hadir pada awal abad 20. Sadar gak sadar polemik panas ini punya efek sampai hari ini?

Coba deh perhatikan pelajaran Bahasa Indonesia yang diajarkan di sekolah-sekolah. Kenapa sih yang diperkenalkan ke siswa sebagai pelopor sastra baru Indonesia adalah novel Sitti Nurbaya karya Marah Rusli yang baru terbit tahun 1922?

Padahal jauh sebelum itu ada novel berjudul Mata Gelap karya Mas Marco Kartodikromo yang terbit pertama tahun 1914.

Jawaban sederhananya karena adanya perbedaan ideologi sastra. Meski perdebatan ini tidak berlangsung di atas mimbar dan disiarkan live streaming di TV, perdebatan ideologis ini sangat menarik buat dipelajari.

Di satu sisi, ada ideologi kolonialis yang memanfaatkan aliran sastra murni untuk mengajarkan adab dan keteraturan di tanah jajahan. Penganutnya diantaranya adalah Marah Rusli dengan Sitti Nurbaya (1922), Abdoel Moeis dengan Salah Asuhan (1928), dan Merari Siregar dengan Azab dan Sengsara (1920).

Di sisi lain ada ideologi sastra tendensius yang selalu berusaha menyelipkan nilai-nilai perlawanan pada karya-karya sastra mereka. Biasanya para sastrawan sisi ini cenderung menggunakan pendekatan realisme sosialis dalam menghasilkan karya-karya mereka.

Dalam barisan sastrawan bacaan liar ada banyak aktivis kiri yang memanfaatkan novel sebagai media perjuangan.

Diantaranya adalah Mas Marco Kartodikromo dengan Mata Gelap (1914), Student Hidjo (1918), dan Rasa Mardika (1918), Semaoen dengan Hikayat Kadiroen (1920), dan Raden Mas Tirto Adhi Soerjo dengan roman bersambungnya seperti Nyai Ratna (1909) dan Membeli Bini Orang (1909).

Kedua, polemik kebudayaan yang lahir di pertengahan tahun 1935. Polemik ini bermula dari gagasan Sutan Takdir Alisjahbana (STA) di majalah Poedjangga Baroe.

Di majalah terkenal itu, STA mengkritik habis sikap anti intelektual dan anti materialisme yang dianut kelompok tradisional di dunia pendidikan tanah air.

Bagi STA, Indonesia hanya akan maju bila mau berorientasi ke barat. Mungkin dalam bahasa gaul sekarang, itu adalah kebijakan westernisasi di dunia kebudayaan dan pendidikan.

Gagasan dan kritik STA ini berbuntut panjang. Banyak tokoh pendidikan, pemikir, budayawan, dan intelektual yang menolak gagasan STA ini.

Para tokoh ini diantaranya Soetomo (Pendiri Boedi Oetomo), Ki Hajar Dewantara (pendiri Taman Siswa), dan Sanusi Pane (sastrawan).

Para tokoh ini menganggap pemikiran STA sudah keblinger. STA terlalu kebarat-baratan dan lupa pada kebijaksanaan peradaban timur. Padahal kebudayaan barat bukan peradaban suci yang tanpa cela yang harus diikuti secara membabi buta.

Namun STA bukan pemikir kaleng-kaleng. Dengan modal pemahaman sejarah, sastra, bahasa, dan budaya secara luas, STA terus maju buat menggebrak kebekuan paradigma tanah air.

Kita bisa menyaksikan dinamika adu gagasan ini dalam buku berjudul Polemik Kebudayaan yang disunting oleh Achdiat K Mihardja.

Ketiga, polemik antara Lekra Vs Manifes Kebudayaan. Polemik ini ditengarai oleh perbedaan cara pandang antara kelompok seniman di bawah naungan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dengan penandatangan Manifesto Kebudayaan (Manikebu).

Perdebatan mereka terjadi karena perbedaan prinsip. Yang satu ingin membuat karya seni untuk kepentingan rakyat, sedangkan yang lain ingin membuat seni karena dorongan hati dan kejujuran.

Yang pertama (Lekra) menekankan sisi politik dan penyadaran rakyat, yang terakhir menekankan pada estetika dan suara hati.

Di banyak majalah, koran, dan tabloid, kelompok Lekra pimpinan Pramoedya Ananta Toer menyerang gagasan penandatangan Manifes Kebudayaan seperti H.B Jassin, Goenawan Mohamad, dan Arief Budiman.

Di sisi lain, H.B Jassin dkk terus produktif melawan serangan kelompok Lekra dengan membuat esai tandingan dan karya bermutu secara berkala.

Andai saja debat Pilpres 2024 punya nuansa seperti itu, tentu akan banyak sisi positif yang bermanfaat buat masyarakat.

Debat kandidat bukan hanya ajang formalitas dan adu omongan tapi benar-benar adu gagasan dan adu ideologi.

Please deh buat Pak Anies, Pak Prabowo, dan Pak Ganjar, coba berdebat dengan pendekatan ideologi dan latar belakang sosial kalian. Coba gunakan nalar islamis, militeris dan marhaenis buat membahas tema debat.

Biar kami yakin kalau kalian bagian dari rakyat dan bukan antek kapitalis. Biar kami juga yakin pilpres 2024 adalah pesta demokrasi, bukan pesta para cukong buat bagi-bagi kekuasaan di antara lingkaran dalam kaum oligarki.

Bukankah begitu para netizen yang budiman? 

Editor: Mita Berliana
Penulis

Al Iklas Kurnia Salam

Guru honorer yang selalu ngelamun bisa dapat gaji setara UMR
Opini Terkait
Ramai ‘Kamisan Date’, Emang Apa Salahnya?
Mengkritisi Bimbel SKD CPNS
Freelancer dan Ilusi Work Life Balance
(Nyaris) Tiada Harapan Dari Merah Putih
Salah Kaprah Perihal Matematika
Dua Lagu Satu Cerita Tentang Hukuman Mati di Indonesia

Cari Opini

Opini Terbaru
Artikel Pilihan

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel