Dear Pak Anies, Iming-iming Nambah Kosakata itu Konyol sih

Dear Pak Anies, Iming-iming Nambah Kosakata itu Konyol sih

Dear Pak Anies, Iming-iming Nambah Kosakata itu Konyol sih
Ilustrasi oleh Arkandy Velkan Gisaldy

Ada yang lebih urgent loh Pak pada permasalahan Bahasa Indonesia, dan lebih pas buat Bapak janjiin di Pilpres nanti.

Salah satu yang diiming-iming oleh Anies Baswedan, jika ia menang Pilpres 2024 nanti adalah akan menambah kosakatadi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjadi 250 ribu. Menurutnya, penambahan tersebut akan membuat BahasaIndonesia lebih kaya.

Niat tersebut tentu bagus. Tapi kayaknya Pak Anies harus pikir-pikir lagi deh..

Menurut Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Bahas, Sastra, dan Komunitas BRIN, Fairul Zabadi Mei lalu, lonjakan penambahan kosakata meningkat. Sejak tahun 1970 sampai 2000 meningkat 5000 kosakata dalam KBBI. Lalu tahun 2000 sampai 2018, yang terakhir KBBI edisi kelima terbit itu sudah lebih dari 200 ribuan kosakata.

Barangkali, inilah yang dilihat Anies sebelum menyampaikan angan-angannya itu ke publik. 

Iya sih Pak, pengembangan jumlah kosakata kamus menjadi alat ukur dari majunya sebuah Bahasa. Yang mana, hal ini tidak lepas dari era digitalisasi dan penggunaan media sosial. 

Namun, ada yang lebih urgent loh Pak pada permasalahan Bahasa Indonesia. Dan lebih pas buat Bapak janjiin di Pilpres nanti.

Daripada Nambah, Mending Lakukan Pembinaan Bahasa

Iya memang, lonjakan jumlah kosakata itu menjadi pertanda yang cukup baik, tapi pembinaan Bahasa lebih urgent untuk dilakukan. Karena permasalahan Bahasa Indonesia sebenarnya, terletak pada penggunaan yang belum maksimal. 

Maksudnya seperti ini, pernahkah kita lihat di saluran-saluran yang menanyakan siaran yang berbentuk obrolan dalam internet menggunakan kata “siniar”? Orang-orang hari ini lebih familiar dengan podcast.

Atau pernahkah kita menggunakan kata “lantatur” alias layanan tanpa turun, alih-alih drive-thru?

Belum lagi kita menelusuri kata-kata seperti flashdisk yang dalam bahasa Indonesianya adalah diska lepas. Lotion dalam bahasa Indonesia adalah calir. Kemudian lip gloos menjadi kilap bibir.

Kurangnya membiasakan menggunakan padanan Bahasa Indonesia, diperburuk dengan tingkah laku dan mentalis yang serba internasional. 

Beberapa tahun belakangan, banyak kalangan publik figur seakan bangga anak-anaknya yang masih kecil lebih fasih berbahasa asing ketimbang berbahasa Indonesia dalam sehari-hari. Ditambah, adanya influencer yang dekat dengan anak muda, sering memadukan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris saat berbicara. 

Tingkah laku konyol dan tak kalah absurd juga diperparah dari sektor sekolah yang konon tempat mendidik dan mencerdaskan anak-anak bangsa. Tak jarang baik sekolah negeri maupun swasta lebih menonjolkan Bahasa Inggris.

Contoh kecilnya, anak-anak kini memanggil guru-gurunya dengan sebutan mam dan sir. Apakah bahasa Indonesia tidak memiliki padanan kata untuk menyebut mam dan sir?

Keterpurukan ini belum selesai tentunya. Dalam penelitian George Quinn pada 2018 menunjukkan, bahwa di Australian National University, pengajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing kian lama terkikis. Penyebabnya tak lain karena orang Indonesia menjadi pengguna bahasa yang ugal-ugalan terhadap Bahasa Inggris.

Perilaku-perilaku ini seakan-akan membawa kita terhadap hegemoni bahasa asing lebih mapan ketimbang Bahasa Indonesia. Nampak remeh dan kecil. Tapi, dampak dari hal kecil dan remeh ini menguras banyak tenaga untuk diselesaikan nantinya.

Sudah Ada Revitalisasi

Di samping konyolnya angan-angan kosakata itu, Pak Anies perlu memberikan manuver lain terhadap pemajuan kebudayaan—dari sisi literasi hingga sastra. Sebagai contoh nyatanya, pemerintah saat ini telah melakukan program revitalisasi bahasa daerah. 

Langkah itu keluar pasca delapan bahasa daerah telah punah, lima bahasa dalam keadaan kritis, 24 bahasa terancam punah, dan 12 bahasa dalam kondisi rentan dari 718 bahasa daerah di Indonesia.

Di tahun 2023 ini saja, Kemendikbudristek melakukan revitalisasi 71 bahasa daerah se Indonesia. Khusus di daerah seperti Sumatera Utara, terdapat dua bahasa yakni Bahasa Batak dialek Toba dan Bahasa Melayu dialek Asahan. Dua bahasa itu tergolong memiliki penutur yang banyak dan termasuk dalam kategori kuat. Kendati demikian, bahasa daerah itu tetap dilakukan revitalisasi. 

Alasannya cukup jelas, revitalisasi kedua bahasa daerah asal Sumut itu dilakukan karena tercancam punah. Praktik revitalisasi saat ini menyasar pada seluruh bahasa daerah. Selain itu, revitalisasi dilakukan sebagai upaya penguatan tren bagi anak-anak muda agar berbahasa daerah.

Sementara dari aspek sastra yang menyangkut kebudayaan, agaknya perlu dilihat kembali bentuk kegiatan-kegiatan Badan Bahasa. Seperti pengalaman yang saya dapatkan, semenjak dua tahun belakangan, tiap-tiap kantor badan bahasa di daerah menekankan penguatan sastra berbasis kebudayaan melalui sayembara dwi bahasa yakni bahasa daerah dan bahasa nasional. 

Contohnya, Balai Bahasa Sumatera Utara yang mengadakan sayembara cerita anak berbahasa daerah. Di samping itu, adanya kerja-kerja kurator dalam kelas menulis berbahasa daerah hingga pembuatan kamus-kamus bahasa daerah.

Sepatutnya, Indonesia kini membutuhkan program yang tidak lagi menciptakan sesuatu yang terkesan baru. Sebab, pemakaian secara masif dan komulatif adalah tugas rumah bagi calon presiden di sektor bahasa dan sastra. 

Perencanaan yang mengendepankan kuantitas patut dicurigai sebagai langkah mundur. Sebaliknya, menggunakan bahan-bahan yang ada di dapur dan mengelolanya semaksimal mungkin adalah kerja pemimpin yang berkualitas Indonesia. 

Lantas, untuk apakah kita perlu memilih dan yakin Indonesia menjadi lebih kaya dengan 250 kosakata?

Penulis

Radja Sinaga

Alumni PBSI (Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia) yang nggak mungkin jadi atlet bulutangkis.
Opini Terkait
Menyoal Stigma PNS, Benarkah Realitasnya Demikian?
FOMO Isu Politik itu Baik, Tapi…
Kalimantan Tidak Melulu Tentang Kuyang!
Membela Gagasan Sistem Zonasi
Problematika Penghilangan Sistem Ranking dalam Agenda PPDB

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel