Program pemberian paspor pemain sepakbola keturunan Indonesia demi mempercepat pengembangan timnas dianggap sebagai faktor kunci. Atau justru ilusi?
Saya akui ada andil para pemain diaspora, memang, dalam keberhasilan timnas menembus putaran final Piala Asia 2023.
Ya, kita mungkin tak pernah membayangkan nama sekaliber Justin Hubner, wonderkid tim Liga Primer Inggris, Wolverhampton Wanderers, bermain bersama Rizki Ridho yang cuma arek Suroboyo, yang ditempa dengan sistem ala kadarnya di akademi internal.
Atau bagaimana menawannya penampilan Jordi Amat, mantan punggawa klub Inggris Swansea City, yang begitu tenang melakukan build-up dari area pertahanan sendiri.
Jelas beda kelas dengan standar bek-bek tradisional timnas selama ini semacam Fachrudin Aryanto katakanlah. Namun, apa kita sudah bijak mengglorifikasi proyek naturalisasi ini?
Terjebak Ilusi Federasi
Pertama, saya tidak bilang buang jauh-jauh naturalisasi. Saya percaya program ini merupakan solusi paling efisien, satu cara tercepat buat mencapai kesuksesan (dalam artian prestasi olahraga) sepak bola Indonesia.
Yang saya sayangkan adalah pola pikir pragmatis, yaitu menjadikan naturalisasi sebagai prioritas utama dari segala rantai pengembangan sepak bola. Pokoknya juara, tapi tanggung jawab kompetisi nanti-nanti.
Dalam blueprint pengembangan olahraga—dapat dilihat di UU Keolahragaan—para pemangku kebijakan tak seharusnya hanya bertanggung jawab atas prestasi olahraga saja.
Masih ada seabrek PR kita. Jangankan untuk bermain cantik mengalahkan Jepang di Piala Asia, kita “main bola” aja belum.
Sebagai contoh, bandingkan jumlah pesepakbola terdaftar di Jepang yang mencapai 880 ribu sedangkan negara kita hanya sejumlah 66 ribu (data terakhir tahun 2017).
Saya tidak bilang statistik tersebut kemudian dapat memengaruhi hasil pertandingan di atas lapangan. Namun, yang pasti hal ini membuktikan bahwa untuk menciptakan puncak piramida menjulang diperlukan dasar yang kuat.
Maksud saya, bagaimana mungkin anda memenangkan kejuaraan sepak bola kalau pemainnya aja nggak ada?
Karena mendewakan naturalisasi, orang-orang jadi tak peduli bagaimana piramida pengembangan sepak bola nasional. Gara-gara program ini juga kita seolah dibikin percaya bila jalan mengangkat trofi sudah begitu dekat.
Barangkali orang kita memang pelupa. Mau diingetin berapa kali pun, giliran kena harapan dikit dari federasi langsung memble. Terlalu fokus naturalisasi, bikin elit mewah tapi fundamental babak belur.
Saya coba ingatkan lagi, kalian semua yang berdebat soal dikotomi local pride/naturalisasi, kalian bukanlah pemegang kebijakan. Stakeholder-nya di sini politisi dan kalian cuma pelanduk di tengah perang gajah.
Pakai isu populis pasang target juara, lalu dicarikan cara pragmatisnya. Padahal, juara itu butuh jalan panjang.
Mari lihat berapa pengurus sepak bola kita di atas sana yg benar-benar paham sport management? Paham step by step piramida pembangunan olahraga dan sadar kalau prestasi dapat dicapai dengan banyaknya partisipasi?
Kebanyakan cuma paham politik, gimana cara berkuasa, cara biar kinerja terus diingat, proyek-proyek mercusuar, dan cara menjadikan sepak bola sebagai stepping stone. Tapi, program jangka panjang nihil, nggak jalan.
Perbaiki Fundamental
Roma tidak dibangun dalam satu malam. Ambil contoh Inggris, yang reputasi sepak bolanya begitu mengakar, tidak menjadi seperti sekarang hanya karena popularitas Liga Primer semata.
Liga Primer yang kalian saksikan itu, Haaland, Liverpool, atau cerita magis Leicester, hanya permukaan dari lapisan yang sangat kompleks.
Ada berapa divisi dalam sistem sepak bola profesional Inggris sekarang? Lima divisi, yang kesemuanya dikelola dengan matang. Masing-masing tim, berdasarkan geografisnya, memiliki karakteristik uniknya tersendiri.
Masih sangat jauh untuk menyandingkan sepak bola kita dengan sepak bola Inggris. Apalagi dengan gegabah mendaku diri sebagai negeri bola.
Piramida dalam sepak bola kita saja hanya terdiri dari tiga divisi, dan mirisnya, masih ada tim di kasta terbawah yang hanya memainkan tiga laga dalam semusim.
Pengelolaan liga yang serius adalah kunci untuk membentuk kultur partisipasi dan kompetisi yang sehat. Dengan begitu, tingkat keikutsertaan melimpah. Baru setelah itu kita bisa berbicara mau ke mana sumber daya kita selanjutnya diarahkan.
Banyak yang sudah muak dengan kualitas pemain lokal yang kebanyakan begitu-begitu saja. Mengumpan pendek saja tak becus dan cuma bisa lari. Pengembangan efektif adalah saat federasi mampu mengubah problem seperti ini menjadi potensi.
Bisa, kan, semisal federasi merancang sebuah kerangka kurikulum yang benar-benar berfokus mengakomodasi potensi sumber daya pemain.
Federasi kita sebenarnya tercatat memiliki kurikulum sepak bolanya sendiri yang dinamakan Filosofi Sepakbola Indonesia atau Filanesia.
Filanesia, dalam berkasnya yang bisa diunduh di situs PSSI, menekankan ide utama bahwa untuk memenangkan pertandingan tim harus mencetak gol lebih banyak dan kebobolan lebih sedikit. Sangat umum sekali bukan?
Tak berbeda jauh dengan filosofi Indra Sjafri saat ditanya mengenai strateginya: rebut bola, umpan ke depan, counter, dan gol. Apakah dengan umpan pendek atau umpan langsung yang mengeksploitasi ruang, semua diserahkan pada kualitas individu pemain.
Kurikulum ini tidak membicarakan dengan detail bagaimana taktik efektif yang bisa disesuaikan dengan postur tipikal Andik Vermansyah. Atau bagaimana potensi Rizky Ridho, dengan kemampuan build-up pas-pasan, dimaksimalkan untuk kebutuhan tim.
Pokoknya cetak angka, cetak angka, cetak angka. Nggak mau tahu prosesnya gimana, yang penting lakukan segala cara demi menang. Saya tak mengerti lagi mengapa sepak bola kita begitu terobsesi dengan cara meraih kemenangan seperti ini.
Di sini, saya mengamini ungkapan Coach Justin: menang kalah itu bagian dari hidup. Jika kita konsisten menampilkan sepak bola terbaik, kemenangan akan datang sendiri.
Sehingga, alih-alih memfokuskan perhatian utama pada naturalisasi yang cenderung elitis, saya kira pekerjaan fundamental yang harusnya tetap menjadi fokus utama.
Terlebih, federasi tak pernah menyebut sampai kapan program seperti Filanesia ini akan terus dijalankan.
Kuncinya Tetap di Sistem
Saya masih percaya jika Indonesia bukanlah negeri sepak bola, melainkan negeri ‘penonton’ sepak bola. Dalam semesta tontonan, penonton akan selalu menuntut untuk apa yang ditontonnya.
Harus begini, nggak boleh gitu. Banyak komen. Tentu saja, semua orang berhak berpendapat. Namun, di era matinya kepakaran ini apa anda dapat menjamin apa yang anda katakan benar-benar murni dari nalar sehat?
Kejengahan ini saya temui setiap kali melihat unggahan potongan video sepak bola lokal. Dan komentar buruk selalu saja muncul.
“Pemain sampah.”
“Udah bener naturalisasi aja.”
“Dihapus aja, lah, sepak bola tarkam ini.”
Menjadikan sepak bola Inggris sebagai salah satu role model, tapi sinis sama tarkam ini gimana logikanya? Tanpa Sunday League (tarkamnya orang Inggris), kualitas tim nasional mereka mungkin tidak akan sebaik saat ini.
Gaya main Relationism ala latin yang kini jadi diskursus baru dalam taktik, yang digadang-gadang bakal jadi penantang gaya Positional Play-nyaPep Guardiola, juga tak akan lahir tanpa sepak bola jalanan di Brazil, Argentina, dan negara latin lain.
Saya pesimis jangan-jangan mereka yang terlalu mendewakan naturalisasi ini juga nggak paham bagaimana model pembinaan Michel Sablon-nya Belgia.
Bagaimana 4-3-3 diimplan dalam setiap kepala bocah berusia belia, dan melahirkan generasi emas yang sempat mengguncang Eropa dan Dunia.
Intinya, mau naturalisasi sebanyak apa pun, jika pengelolaan dan pengembangan sistemnya tetap gitu-gitu aja, sepak bola kita hampir pasti nggak akan kemana-mana.