Faisal Fathur

Berhentilah Merengek, Memilih Jodoh itu Privilege

Kata Dilan, cinta itu berat. Jargon itu sering jadi bahan candaan sebab mestinya cinta memang perkara remeh-temeh saja. Orang sering bilang melunasi tagihan prasmanan atau cicilan KPR nanti akan jauh lebih bikin meringis. Kita sebagai manusia modern, terlebih yang sering ndakik-ndakik soal cinta, mestinya bisa lebih kalem saat menghadapi problem percintaan hari ini.

Persoalan cinta hari ini paling mentok berurusan dengan perbedaan keyakinan atau jarak. Sedikit persoalan yang sebetulnya sudah bisa dihindari sejak awal. Sungguh sepele. Manusia modern yang sengaja menciptakan hubungan beda agama dan long distance (LDR) ini harusnya diikutkan kelas manajemen risiko dahulu sebelum terlalu sembrono menetapkan suatu hubungan.

Andai kelak tidak mendapatkan restu orang tua sekalipun, hari ini kita telah mengenal konsep kawin lari. Alias you only live once, masa harus takut untuk hidup tanpa campur tangan orang tua? Manusia modern mampu menerobos itu semua. Risiko terburuk yang didapat juga cuma dicap sebagai anak durhaka, kan? Lebih-lebih, ya, nggak kebagian jatah warisan aja nantinya.

Di luar itu, kita beruntung bisa menjalin hubungan dengan siapapun dalam berbagai macam cara. Tidak ada sekat. Bahkan saking banyaknya opsi percintaan, kita bisa saja keblinger menentukan siapa cinta sejati kita. Permasalahan cinta muda-mudi hari ini sebetulnya hanya bias dari cermin dirinya yang self-centered yang kerap mencari-cari masalah sendiri. Sungguh jenis spesies yang kufur nikmat.

Padahal, kita hari ini mestinya sangat terberkati karena telah memiliki kesadaran diri yang lebih baik. Bentuk kesadaran diri (self-consciousness) itu yang kemudian membuat kita mampu untuk mengambil berbagai keputusan dalam hidup, termasuk keputusan dalam memilih pasangan. Kehendak bebas ini sejatinya adalah keistimewaan yang baru disadari oleh manusia sejak masuk ke masa modernitas.

Kebebasan memilih jodoh dan merasa telah menemukan tulang rusuk kemudian menjadi tafsir yang seolah perlu dan mendesak bagi manusia modern. Jika begitu, anggaplah ini menjadi privilege sebab tidak semua zaman di muka bumi menghendaki manusia untuk memilih sendiri nasib, terlebih jodoh, yang ia mau. Ini bisa jadi pendekatan yang mungkin terasa asing di masa lalu.

Menengok tradisi kerajaan, bangsawan, atau kelompok etnis tertentu di masa lalu, perjodohan menjadi sesuatu yang tak terhindari. Seorang keturunan kerajaan mesti berjodoh dengan orang pilihan demi mempertahankan takhtanya, pun yang lain berebut untuk bisa menyicipi nikmatnya suasana hidup di istana. Kita bisa tengok serial Kingdom, misal, bagaimana garis darah akan sangat menentukan kuasa dan segala siasat dimungkinkan demi bisa mencapai puncak hierarki teratas itu. Bunuh-bunuhan dan memperalat zombi bahkan menjadi cara yang ditempuh.

Pun pada waktu yang belum terlalu jauh, yakni pada masa kolonialisme Belanda dan peralihan menuju modernisme, roman Sitti Nurbaya menunjukkan betapa menjengkelkannya konsep perjodohan itu. Seorang perempuan dijodohkan dengan lelaki tua yang tak disukainya semata karena lelaki tua itu hidup lebih makmur dan kaya raya. Sungguh prinsip yang kolot sekali.

Belum lagi fenomena penjualan anak perempuan seperti yang digambarkan pada novel-novel karya Pramoedya Ananta Toer. Dalam kasus seperti itu, betapa malangnya si anak karena tidak bisa menentukan pilihan hidupnya sendiri. Sedari kecil mereka sudah diincar orang dan dalam keadaan terdesak mereka akan dijual orang tuanya kepada orang yang lebih berada. Singkatnya, jika hidup belum makmur maka pilihan hidupmu ada di tangan orang lain.

Mundur jauh ke masa purbakala, bahkan memilih jodoh, ya, sebatas mengamini insting primitif homo sapiens untuk melestarikan spesiesnya semata. Nggak ada tuh konsep romantisme ala manusia purba, semisal, merayakan hari valentine dengan memberikan hasil buruan kepada kekasih. Berbagai motif hubungan di masa lalu terjadi demi kepentingan bertahan hidup yang serba esensial saja.

Hal-hal yang dipersepsikan romantis hari ini adalah barang yang sebetulnya masih baru. Ia hadir berkat penetrasi budaya populer yang membentuk persepsi kita mengenai apa itu cinta. Mengapa mawar dan cokelat bisa bernilai romantis sementara kaktus dan ubi jalar tidak? Lalu kita juga mengenal istilah tembak-menembak alias menyatakan perasaan ke orang lain dan berpacaran. Di masa lalu, putra kerajaan akan disepak oleh sang raja jika asal-asalan “menembak” perempuan.

Budaya populer kemudian membentuk romantisme dengan caranya sendiri. Ia menunjukkan bagaimana hubungan yang ideal dan tidak melalui wujud lagu, film, roman, hingga hal-hal lain yang dikonsumsi oleh manusia modern. Kemudian karena telah dikonsumsi secara masif, ia kelak dapat dianggap sebagai budaya massa. Lagu Cukup Sitti Nurbaya dari Dewa-19, sebagai contoh, adalah tolak ukur betapa majunya cara berpikir kita mengenai percintaan dewasa ini.

“Katakan pada mama
Cinta bukan hanya harta dan tahta”

Kaum muda hari ini perlu bersyukur dan berhentilah merengek untuk urusan yang kurang perlu. Sungguh, kita bisa dibilang sudah sangat progresif dalam urusan cinta. Kita bukan cuma mampu menentukan sendiri kriteria jodoh yang dimau, bahkan kita bisa juga menentukan jenis hubungan macam apa yang ingin dijalani. Mau kumpul kebo intelek seperti Jean-Paul Sartre dan Simone de Beauvoir atau cinta satu malam layaknya anak alter yang hobi mejengdi linimasa Twitter. Bebas saja.

Pada akhirnya kita boleh percaya dengan ikatan dalam institusi resmi atau menjadi rebel dengan cara menggugatnya. Bahkan, mau hidup sendiri pun bukan masalah. Seperti budaya ohitorisama yang sedang populer di Jepang belakangan ini. Kamu bisa keluyuran dan hidup bahagia untuk diri sendiri saja. Yang terpenting, kembali, pahami manajemen risikonya. Bentuk kesadaran diri yang kita miliki semestinya tidak menggiring kita pada hal-hal yang konyol kelak.

Muda-mudi masa kini mesti sadar bahwa harga dari kebebasan untuk memilih itu mahal sekali. Maka, selagi punya kesempatan untuk memilih sendiri, janganlah bertindak konyol dan merusak kesempatan berharga itu. Jangan sampai ketika kebebasannya sudah dicabut, kamu malah baru mencak-mencak. Cepat bergerak dan perjuangkan cintamu! Kadang, kita pun memang bisa jadi sefrekuensi dengan Ahmad Dhani bahwa cukup Sitti Nurbaya yang mengalami pahitnya dunia.

Cari Opini

Opini Terbaru
Artikel Pilihan