Edeliya Relanika Purwandi

Memaknai Kehilangan Produktivitas Mainstream Kaum Deadwood: Belajar Sama Om Mitty dan Mbak Lou, Yuk!

Ketakutan apa saja kah yang mulai menghantui di saat mencapai waktu seperempat abad usiamu? Apakah kerentanan kita terhadap ”kehilangan” semakin mencuat? Saya juga merasakan hal tersebut, terlebih bagi kita yang akan lulus dari perguruan tinggi dalam waktu dekat. Rasa takut akan kehilangan teman, momen hip-hip-hore, hingga kehilangan arah untuk menekuni bidang pekerjaan tertentu pasca lulus telah menjadi teman sekaligus musuh hidup. Saat menjelang kelulusan, telinga akan siap dibisiki dengan sindiran pasif agresif semacam ”Kapan wisuda?” atau ”Kerja di mana?”. Bagi mereka yang memperoleh predikat kaum aktivis luar kampus (bisa disebut deadwood atau kayu mati), kelulusan bisa menjadi perjalanan awal untuk memasuki gerbang neraka dunia profesional yang banyak berorientasi pada pencarian keuntungan materi semata.

Duta Deadwood; Aspirasi Hidup Om Mitty dan Mbak Lou

Sebelum mengkaji kaum deadwood lebih dalam, saya mau kasih dua rekomendasi film berjudul The Secret Life of Walter Mitty (2013) dan Me Before You (2016). Kedua film tersebut memiliki dua karakter utama yang sangat terhubung dengan kemeranaan kaum deadwood, yaitu Walter Mitty dan Louisa Clark. Dimulai dari karakter utama di film The Secret Life of Walter Mitty, yaitu Walter Mitty atau panggil saja Om Mitty. Tokoh Om Mitty sudah bersusah payah melakukan perjalanan panjang lintas benua sambil ngelus kepala memikirkan dirinya yang akan dipecat—apabila Om Mitty sampai gagal memperoleh film negatif untuk sampul majalah Life edisi cetak terakhir dari si fotografer nyentrik bernama Sean O’Connell. Kekesalan Om Mitty tidak hanya berhenti pada kelelahan pasca perjalanan dari Pegunungan Himalaya, ternyata film negatif untuk foto sampul majalah Life edisi cetak terakhir itu tersembunyi dengan rapi di dalam dompet pemberian O’Connell beberapa waktu sebelumnya!.

Fakta mengenai keberadaan asli film negatif untuk sampul majalah Life edisi cetak terakhir baru diketahui Om Mitty selepas bertemu dengan O’Connell di puncak Pegunungan Himalaya. Pada akhirnya, om Mitty tetap dipecat dari pekerjaannya karena telat menyetor film negatif untuk foto sampul majalah terakhir. Hilang sudah kesempatan Om Mitty bertahan dalam karir yang telah dibangunnya selama bertahun-tahun. Namun, Om Mitty juga memperoleh hadiah terindah untuk menutup akhir waktu masa pekerjaannya; yaitu diabadikannya foto om Mitty sebagai sampul majalah Life edisi cetak terakhir. Hadiah tersebut merupakan apresiasi tertinggi dari O’Connell atas kerja keras Om Mitty dalam mengkurasi foto sampul terbaik untuk majalah Life selama masa berkarirnya. 

Tokoh berikutnya adalah Louisa Clark ’Mbak Lou’ dari Me Before You. Mbak Lou ini bisa dibilang cocok menjadi representasi kaum deadwood minim kemampuan ndakik-ndakik yang memenuhikualifikasi ideal a la pekerja perusahaan start-up. Berasal dari keluarga kelas pekerja dengan tingkat pendidikan yang relatif rendah membuat Mbak Lou belum mampu untuk memiliki keahlian strategis. Mbak Lou hanya bisa melamarkan diri sebagai pengasuh pasca diberhentikan dari kafe tempat sebelumnya dia bekerja karena kafenya telah bangkrut. Mbak Lou terpaksa menerima tawaran untuk bekerja menjadi pengasuh William Traynor atau sebut saja ’Mas Will’ biar gampang ingatnya. Tugas Mbak Lou sebenarnya sederhana; dia hanya perlu merawat dan menghibur Mas Will agar mengurungkan niatnya untuk bunuh diri. Hal tersebut terjadi akibat kecelakaan yang menimpa Mas Will dua tahun sebelumnya dan membuat dia menjadi putus asa terhadap kehidupannya yang pernah mapan—ditambah Mas Will yang jadi lumpuh pun ditinggal sang mantan pacar menikah dengan orang lain pasca tragedi tersebut.

Aktivitas merawat Mas Will bukan perkara yang mudah bagi Mbak Louisa, terlebih Mas Will adalah orang yang tertutup dan sempat sinis terhadap Mbak Lou yang dianggapnya norak dan ceroboh. Dua kelebihan yang berhasil membuka hati Mas Will terhadap Mbak Lou adalah ketelatenan dan keikhlasannya untuk meyakinkan Mas Will agar tetap hidup optimis akan masa depan cerah. Mbak Lou telah mengusahakan segala dayanya membujuk Mas Will agar mengurungkan niat untuk mengakhiri hidup. Sayang, tidak ada yang bisa menjahit kembali hati yang tersayat dari dalam. Usaha Mbak Lou terasa percuma sudah ketika Mas Will mantap untuk mengakhiri kehidupan fananya di akhir kisah. Kalau shohabat Sediksi menganggap Mbak Lou jadi putus asa dan mutung dengan pilihan yang diambil Mas Will, sepertinya kalian itu pecinta roman distopia hehehe. Justru Mbak Lou merasa bersyukur, karena kehilangan Mas Will beserta pekerjaannya telah memberikan dia pelajaran untuk mencinta dengan tulus dan ikhlas dalam melepas orang yang terkasih menuju ’kehilangan’.

Manajemen Teror untuk Kita… dan Kaum Deadwood

Ehem…cobalah merenung sejenak, para shohabat pembaca setia Sediksi. Pertanda atau nubuat yang muncul pada saat mulai kehilangan produktivitas (khususnya dalam konteks krisis seperempat abad) sejatinya diboncengi oleh ujian dasar bernama Manajemen Teror. Dalam konteks ini, manusia dewasa tanggung perlu mempersiapkan diri untuk berjihad melawan teroris yang siap mengebom konstruksi pola pikir kokoh akan masa depan berprospek cerah. Konsep Manajemen Teror pertama kali digaungkan oleh tokoh psikolog sosial seperti Sheldon Solomon, Jeff Greenberg dan Tom Pyszcynski pada tahun 2015 melalui penelitiannya di dalam buku The Worm at the Core.

Konsep Manajemen Teror mengamini kemuskilan manusia dalam menerima kehilangan dan kematian se-ikhlas-ikhlasnya. Apa yang terjadi justru manusia mencari cara untuk menghindari kematian dan meniadakan kehilangan dengan mengingkatkan produktivitas guna meninggalkan sebanyak-banyaknya karya atau warisan—dan sayangnya, kita semua pasti akan kehilangan sesuatu dan mati secara cepat atau pun perlahan. Apa yang diamini oleh Solomon, Greenberg, dan Pyszcynski melalui riset Manajemen Teror sebenarnya dapat menjadi keniscayaan yang sah-sah saja. Toh manusia juga butuh ruang aktualisasi diri untuk membuktikan bahwa mereka pernah hidup dan melakukan sesuatu yang kelak meninggalkan jejak warisan. Pertanyaan lain juga mulai muncul ketika manusia mulai menitikberatkan pada gagasan ’teror’ akan kehilangan produktivitas. Lantas, teror seperti apakah yang dapat melemahkan produktivitas out of the box atau anti mainstream kaum deadwood?

Kegiatan kaum deadwood yang dianggap non-mainstream atau kurang pragmatis (pragmatis dalam arti aktif berorganisasi di lembaga eksekutif kampus atau unit aktivitas mahasiswa) dianggap menjadi jalan buntu bagi kesuksesan karirnya di masa depan. Padahal, apa yang mereka nyinyirkan selama ini belum tentu bernilai buruk dalam aspek kreativitas dan kebermanfaatan hidup. Bisa jadi sebagian dari kaum deadwood tersebut melakukan pekerjaan berarti di luar kampus; untuk mencari cuan penyambung hidup sekeluarga maupun mengumpulkan portofolio guna mempermulus proses aktualisasi diri—yang justru lebih realistis dan pragmatis untuk bekal pertahanan hidup. Pada titik tertentu, kaum deadwood akan menjadi lone ranger di kehidupan sosialnya.

Kaum deadwood kampus ini kalau dipikir-pikir lagi juga ternyata bisa menjadi sosok visioner lho, bahkan melebihi mereka yang percaya pengalaman berorganisasi di kampus adalah kebutuhan absolut untuk memperoleh pekerjaan strategis. Sekali lagi, kita telah kehilangan kesempatan untuk memaknai produktivitas di jalur bawah tanah. Kita tidak pernah tahu seperti apa pekerjaan kaum deadwood di luar sana. Pentingnya lagi, kita kan juga belum tentu tahu ’kehilangan’ apa saja yang telah mereka ikhlaskan; misalnya kehilangan waktu nongkrong santuy di kafe pada senja hari atau kehilangan waktu nugas bareng di Warunk Upnormal, karena harus bekerja menjadi joki tugas kuliah mahasiswa lain.

Kehilangan produktivitas justru membuka jalan untuk mencapai kesadaran spiritual yang lebih tinggi; seperti ketulusan dan keikhlasan untuk menjalani kesempatan hidup yang ada. Om Mitty dan Mbak Lou sama-sama kehilangan pekerjaan dan produktivitas yang sejalan dengan ekpektasi permintaan industri. Bukan perkara mudah untuk melihat hikmah di balik kehilangan produktivitas yang justru seringkali dihindari atau dilawan oleh kebanyakan orang. Banyak dari kita yang giat bekerja keras dalam mengamalkan nilai-nilai manajemen teror, namun melupakan keikhlaskan batin untuk menerima segala kemungkinan terburuk dalam pekerjaan; seperti kehilangan produktivitas akibat diberhentikan kerja. Syukurlah, media di saat ini sudah mulai peka terhadap komunitas deadwood dengan cara meramu banyak variasi resep sup ayam penyejuk kalbu, khususon panduan jitu untuk tidak berlalu berambisi menjadi over productive.

Topik