Menjadi Komika di Pasuruan: Jauh dari ‘Hidup dari Karya’

Menjadi Komika di Pasuruan: Jauh dari ‘Hidup dari Karya’

Menjadi Komika di Pasuruan: Jauh dari ‘Hidup dari Karya’
Ilustrasi oleh Rizqi Nurhuda Ramadhani Ali

Komunitas ini akan terus hidup dengan berbagai tantangannya. Tapi, kalau bicara soal “hidup dari karya”, karyanya bisa hidup saja sudah syukur.

“Komika hidup dari karya” adalah sebuah kata-kata ‘paling’ optimis dari Pandji Pragiwaksono (founder standupindo). Kata-kata tersebut membangkitkan manusia-manusia terpuruk dan menganggur untuk berkumpul pada komunitas Standupindo.

Sepertinya, yang terpenting dari menjadi komika/standupcomedy-an/pelawak tunggal atau standupers, apapun istilahnya, adalah meraih mimpi di mana standup comedy dapat mengubah hidup.

Bisa jadi Ernest ataupun Radit, menguasai TV seperti Rigen atau Dicki Difie, ataupun menjadi Nopek Novian menjadi penguasa algoritma Youtube.

Semua mimpi ini berkumpul di komunitas standupindo. Suatu komunitas yang hadir di semua kabupaten/kota di Indonesia, termasuk di kabupaten yang saya cintai, yaitu Pasuruan.

Baca Juga: Yang “Mengganjal” dari Guyonan Selangkangan

Komunitas Standupindo Pasuruan hadir pada tahun 2015, agak terlambat 4 tahun semenjak standup muncul di Indonesia.

Populasi anggotanya sendiri didominasi oleh 50 persen buruh pabrik, 30 persen orang nganggur, 19 persen orang cacat, dan 1 persen wirausahawan. Khusus di Pasuruan, komunitas kesenian ini tidak memiliki anggota mahasiswa aktif.

Dari sejak berdirinya hingga sekarang, atau sekitar 8 tahun usia komunitas ini, alhamdulillah, tetep gini-gini aja. Setidaknya, menurut para pegiatnya, tidak bubar saja udah cukup.

Komunitas yang tak lebih hanya penampungan orang nganggur dan cacat ini memiliki semboyan “sakera ngakak.” “Sakera” sebagai perwujudan suporter Persekabpas Pasuruan, dan “ngakak” sebagai harapannya. Yaa… meskipun nasibnya menangis, sih.

Lha, gimana nggak remuk. Komunitas yang beranggotakan orang-orang yang mimpi untuk hidup dari karya ini harus dipukul realita pahit hidup dan bergeliat di Pasuruan.

Nah, ada banyak sekali faktor mengapa komunitas ini sulit bisa maju selayaknya komunitas lainnya. Selanjutnya, akan saya preteli satu persatu.

Perihal Open Mic dan Cafe

Open mic adalah sebuah rutinitas mingguan di mana komikanya berlatih mencoba materi-materi baru. Sebagai ajang latihan, kegiatan open mic sangatlah penting.

Alhamdulillah, kegiatan open mic di komunitas ini banyak, banyak yang gak datang. Mungkin ada yang berpikir kalau yang dimaksud banyak yang gak datang di sini adalah penonton.

Salah! Justru yang gak pernah datang adalah komikanya juga. Alasannya semua klasik, mulai dari“sepurane lur, lagi shift 3 iki”,“gak oleh metu karo bojoku, mergo isih nganggur”, hingga alasan “sepurane lur, lagi tahlil” (maklum Pasuruan, kan, kota santri).

Bahkan pernah ada open mic yang penontonnya hanya owner café tempat acara berlangsung saja. Dan tak tanggung-tanggung, ada 4 orang komika yang tampil pada saat itu, dengan pembagian tugas 2 orang menjadi MC dan 2 lainnya sebagai penampil.

Mungkin, karena saking sepinya, ada beberapa café yang pernah jadi tempat open mic akhirnya menolak komunitas ini untuk tampil lagi. Bahkan, ada juga yang bangkrut setelah jadi tempat open mic (Ya, gimana gak bangkrut. Penonton gak ada, komikanya gak ada. Trus, siapa yang pesen es teh leci?).

Akan tetapi, meskipun banyak yang menolak, sebenarnya banyak juga, kok, yang nawari. Namun, kadang café-café yang nawari ini secara tema kurang cocok dan juga kurang proper buat open mic. Tapi, karena kepet, ya wes, diterima aja.

Misalnya, café dengan tema streetview (pinggir embong pas).Bayangin, lagi standup digeber-geber RX king. Lagi ngomong tiba-tiba ada suara bakul tahu bulat.

Ada juga café bertema nature (pinggir sawah) yang menawari kerja sama open mic. Kalau di sini, yang menemani bukan suara RX king dan tahu bulat, melainkan suara jangkrik dan kodok.  Tapi, yang paling di luar dugaan adalah ada orang yang lagi nyari kodok di tengah-tengah penampilan, di mana cahaya senternya gak sengaja menyorot yang tampil.

Job-joban Ngawur yang Mau Gak Mau Harus Diterima

Meskipun banyak cerita mirisnya, alhamdulillah, job-joban di Pasuruan sudah mulai ada. Akan tetapi, hal ini bukan berarti tanpa masalah. 

Sekarang, kebanyakan event kepingin ada hiburan standup-nya. Tapi, mbok ya mikir event-nya kayak gimana dulu. Misal, salah seorang kawan yang pernah tampil di acara pembukaan kolam renang.

Nah, yang jadi masalah panggungnya outdoor, lineup-nya orkes dangdut, dan, tentunya, lokasinya di sebelah kolam renang. Bayangin aja, standup menghibur orang-orang yang lebih memilih seluncuran, slurup, dan terhibur guyuran ember raksasa dibanding standup comedy.

Pernah juga suatu waktu acara standup comedy-nya dilakukan di carfreeday. Jadi, kita tampil untuk menghibur orang-orang yang lagi beli boba.

Belum lagi dengan beberapa penyelenggara acara yang kaget setelah mengetahui bahwa standup comedy punya rate card. Bahkan ada yang pernah ngomong “lho, standup dibayar ta? Kan cuma ngomong, kok, dibayar mahal? Seratus wong 2 gaboleh ta?

Ya, meskipun kurang tepat, mau ditolak juga serba salah karena terkadang job-joban hanya itu dalam sebulan. Makanya, arek-arek lebih milih kerjo pabrik.

Muda-mudi Pasuruan yang Mendang-Mending

Penonton standup comedy memang didominasi oleh kalangan muda, utamanya generasi milenial dan gen Z. Namun, hal ini nampaknya tidak terlalu berlaku di Pasuruan.

Meskipun UMR Pasuruan termasuk top 5 di Jawa Timur, akan tetapi arek Pasuruan cukup ngempet dengan uangnya. Bayangkan, saat komunitas bikin show yang isinya para lokal heroes Pasuruan, ternyata tiket yang laku cuma 10.

Padahal, tiket show yang dijamin kocak ini hanya dijual dengan harga 25 ribu, plus free es teh. Sudah yang laku sedikit, masih ada juga yang bahkan minta paket bundling bersama teman-temannya.

Tapi, kasus seperti ini sebenarnya gak mengagetkan, sih. Tour Nopek Novian di Pasuruan saja tidak sold out, men. Padahal, tiketnya cuma 75-125 ribu. Nopek Novian lho ini. Sang penguasa Jawa, cuy.

Bahkan, tidak hanya Nopek. Konser-konser dari penyanyi terkenal seperti Judika, Keisya Levronka, dan Anji di Pasuran pun juga gak melebihi target penjualan. Parah, kan.

Kayaknya hiburan di Pasuruan mentok ke tretes, modif motor, dan balap liar. Kadang sampai kepikiran, mereka uangnya semua buat apa ya? Padahal Pasuruan sejak zaman Belanda merupakan salah satu pusat dan jalur perdagangan.

Nah, kira-kira itu keluh kesah singkat saya sebagai seorang komika Pasuruan terkait iklim standup comedy di daerah ini. Komunitas ini akan terus hidup dengan berbagai tantangannya.

Tapi, kalau bicara soal “hidup dari karya”, karyanya bisa hidup saja sudah syukur. Jadi, tetap semangat dan terus berkarya saja buat teman-teman sekalian.

Meskipun daerahnya kurang suportif, insyallah kalau ditelateni dalam berkarya di kesenian ini, lama kelamaan, ya, pasti tambah susah sukses.

Penulis

Mukti Irawan

Seorang Gen Z Kabupaten Pasuruan yang kadang-kadang ber-standup comedy dan jarang-jarang mengajar Bahasa Indonesia.
Opini Terkait
Ramai ‘Kamisan Date’, Emang Apa Salahnya?
Mengkritisi Bimbel SKD CPNS
Anomali Bahasa dan Hiperkoreksi Orang Sunda
Freelancer dan Ilusi Work Life Balance
Menimbang Kembali Aksi Sosial ke Panti Asuhan
(Nyaris) Tiada Harapan Dari Merah Putih

Cari Opini

Opini Terbaru
Artikel Pilihan

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel