Apalah Arti Sebuah Nama Aplikasi Pemerintah?

Apalah Arti Sebuah Nama Aplikasi Pemerintah?

Apalah Arti Sebuah Nama Aplikasi Pemerintah?
Ilustrasi oleh Ahmad Yani Ali

Alih-alih menggambarkan sebuah visi, filosofi, kapasitas, dan optimalitas, penamaan beberapa aplikasi pemerintah justru terkesan rendah intelektual. Lebih mirip strategi jalan darurat lewat utak-atik suku kata (akronim), ketimbang suguhan keseriusan transformasi.

Dunia informatika dan komunikasi digital Indonesia mendapat kritik keras dari berbagai pihak. Presiden Jokowi beberapa waktu lalu menyoroti keberadaan 27 ribu aplikasi instansi pemerintahan yang tidak terintegrasi dan tumpang tindih.

Selain itu, kasus viral ransomware Pusat Data Nasional (PDN) menambah pelik persoalan—yang tentunya juga membuat geger masyarakat Indonesia.

Bak dayung bersambut, belakangan muncul berita yang bikin kernyit dahi. Penamaan aplikasi pemerintahan yang menggunakan diksi seksis: Sipepek, Sipedo, Sithole, Siska Ku Intip, Simontok, Sisemok, Si Cantik, Siganteng, I-Pubers Petani, Jebol Ya Mas, sampai Mas Dedi Memang Jantan.

Alih-alih menggambarkan sebuah visi, filosofi, kapasitas, dan optimalitas, penamaan aplikasi tersebut justru terkesan rendah intelektual. Lebih mirip strategi jalan darurat lewat utak-atik suku kata (akronim), ketimbang suguhan keseriusan transformasi.

Baca Juga: Kontrak Sosial dan Mengapa Rakyat Tidak Boleh Jadi Pendengung

Representasi Birokrasi

Penggunaan akronim memang merupakan salah satu teknik dalam pemilihan nama aplikasi. Namun, pemerintah dalam hal ini gagal menggunakan teknik akronim dengan baik dan tepat sehingga menghasilkan nama aplikasi yang tidak membawa ide, konsep, dan imajinasi.

Model teknik “akronim ala pemerintah” ini justru dapat berdampak negatif pada identitas komunikasi. Paling terlihat akan mengarah pada pelecehan verbal dan kedangkalan intepretasi. Karena memang cenderung sebatas mengejar sensasi dan citra lafalan.

Di TikTok dan X beberapa waktu lalu juga sempat ramai istilah tobrut (toket brutal) yang menggambarkan wanita dengan buah dada besar, atau bahkan sangat besar.

Persoalan ini tentu dapat dikategorikan pelecehan verbal melalui media digital. Sama seperti halnya cat calling yang memungkinkan untuk dipidana dengan undang-undang TPKS.

Permainan akronim semacam itu, jika ditelusuri lebih jauh, sudah berlangsung sedari dulu. Sewaktu kecil, saya pernah mendengar istilah sugeng (susu ageng), sulit (susu alit), sumur (susu dijemur), dan salome (satu lubang rame-rame).

Susu atau buah dada dalam konteks ini menjadi target sasaran identitas. Aplikasi pemerintah juga menggunakan pola komunikasi serupa yang mengarah ke sana.

Dari kebanyakan contoh yang disebut di atas, kesemuanya menjadikan bagian tubuh dan identitas seseorang sebagai target komunikasi. Berdalil bahwa ini fenomena bahasa gaul atau gaya komunikasi daerah, tentu tidak bisa dibenarkan.

Walaupun menurut Chaer belum ada aturan baku atau kaidah dalam pembentukan akronim, tetap saja saat membicarakan penamaan aplikasi instansi pemerintahan, faktor utama yang harus dikedepankan setidaknya adalah kesopanan dan kepantasan berbahasa.

Bagaimanapun, aplikasi instansi merupakan representasi tubuh birokrasinya. Dialog masyarakat dengan pemerintah terjalin di dalam sana dalam bentuk pelayanan saat pengurusan berkas dan akses data.

Layaknya komunikasi yang sehat, sudah seharusnya keutamaan berbahasa yang baik, benar, sopan, pantas, dan mudah dimengerti menjadi acuan utama. Hubungan ini yang harusnya dipahami dan jadi prinsip.

Belajar dari Penamaan Aplikasi Besar

Pemilihan nama aplikasi perlu mempertimbangkan 6 poin, yakni, mencerminkan fitur, permainan kata, singkat-berkesan-jelas, mudah dicari, melibatkan emosi, dan penyesuaian domain. Utak-atik akronim termasuk ke dalam permainan kata.

Sedangkan kalau kita perhatikan, aplikasi besar seperti Google, Facebook, YouTube, TikTok, Traveloka, Instagram, dan Whatsapp, lebih memilih menggunakan penamaan yang menggambarkan adanya imajinasi konsep (mencerminkan fitur).

Ambil contoh Traveloka. Mereka memadukan konsep travel yang berarti perjalanan dan loka yang berarti dunia (bahasa Sansekerta). Fitur aplikasinya memuat gabungan dua konsep besar tersebut. Sehingga, penamaan menjadi relevan serta cukup memberi gambaran utuh terkait ide dan maksud tujuan aplikasi.

Whatsapp juga demikian. Cukup sederhana namun tepat sasaran. Aplikasi berbasis percakapan singkat, instan, dan cepat itu mengambil konsep dari salah satu bahasa sapaan, yakni what’s up (yang arti umumnya “apa kabar”).

Ide penamaan ini cukup unik dan sederhana. Fitur utama aplikasinya adalah percakapan, dan diksi yang dipilih sebagai penamaan adalah sapaan itu sendiri.

Tidak kalah menariknya adalah penamaan Google. Mengapa konsonan O tertulis dua? Apa maksud di baliknya?

Ternyata ada konsep luar biasa yang mencerminkan fitur aplikasi tersebut. Google merupakan pelesetan dari “googol”. Googol sendiri merupakan istilah matematika untuk angka satu dengan seratus nol di belakangnya.

Sekalipun dipelesetkan, nama Google dipilih untuk menandakan aplikasi ini merupakan mesin pencari yang memberikan informasi dalam jumlah besar.

Di Indonesia sendiri sebenarnya juga ada, yaitu nama kereta cepat Whoosh. Penamaan tersebut, seperti halnya Google dan Whatsapp, menjadikan atribut konsep ide dan identitas fitur sebagai nama. Whossh sendiri merupakan simbol kecepatan dalam tuturan masyarakat jawa.

Dari contoh penamaan aplikasi besar di atas, terlihat ada tawaran visi, ide, konsep, dan imajinasi atas aplikasi. Kuncinya ada pada kepekaan substansi nilai dalam tawaran ide kita. Hal itu lebih mudah ditemukan bila terjadi pendalaman dan kebermaknaan ide.

Catatan pentingnya, apapun teknik penamaannya, pertimbangan korelasi, relevansi, dan kesesuaian lainnya antara nama dan fitur adalah yang paling utama.

Teknik penamaan yang mengedepankan nilai-nilai tersebut lebih potensi bertahan lama karena menawarkan visi, ide, konsep, dan imajinasi.

Berbeda dengan teknik lainnya seperti akronim—yang pada titik tertentu lebih mudah terjebak pada pendangkalan dan sensasi. Walaupun teknik akronim juga legal dan diperbolehkan.

Dengan demikian, muncul pertanyaan, apakah nama aplikasi pemerintah seperti yang disebutkan di atas memiliki ide, konsep dan imajinasi yang jelas?

Jika jawabannya sulit, maka transformasi digital instansi pemerintahan hanyalah perubahan bentuk semata, dari konvensional ke digital. Karakter sajian, layanan, dan aplikatif lainnya tidak berubah.

Tentunya, ini dapat memperparah budaya formalitas baru. Misalnya, masih diwajibkannya fotokopi dokumen dalam pengurusan berkas berbasis digital.

Komunikasi Layanan

Pada titik ini, sedikit penting menyimak apa yang dikatakan Shakespeare dalam kisah Romeo dan Juliet, “Apalah arti sebuah nama?”

Kalau keliru membaca konteks di balik teks tersebut, sebuah nama seperti menjadi tidak punya makna dan guna.

Identitas keluarga Romeo (Montague) pada dasarnya bermusuhan dengan keluarga Juliet. Namun, cinta membuat Juliet tidak memedulikannya. Dia tetap mencintai Romeo, apapun marga Romeo.

Kalau memang nama tidaklah berarti, harusnya sejak awal tidak perlu ada konflik perihal nama dalam kisah tersebut. Artinya, sebuah nama pada dasarnya tetaplah penting sebagai identitas. Nama adalah simbol keutuhan yang mewakili mahkluk hidup ataupun benda mati.

Menyambung hal tersebut, instansi pemerintah sudah seharusnya segera sadar, penamaan aplikasi adalah representasi identitas birokrasinya. Jangan sampai birokrasi pemerintahan lebih dikenal seksis dan cabul hanya karena nama aplikasinya.

Gunakanlah penamaan yang mengusung ide, konsep, visi, dan imajinasi. Dengan begitu, masyarakat akan lebih mudah percaya kapasitas komunikasi pemerintah. Terutama komunikasi layanan pemberkasan dan akses data.

Penulis

Alfian Bahri

Guru Bahasa Indonesia. P2G Surabaya. Lebih suka jadi tukang martabak dan kayu.
Opini Terkait
Dear Mental Health Professional…
Ramai ‘Kamisan Date’, Emang Apa Salahnya?
Mengkritisi Bimbel SKD CPNS
Anomali Bahasa dan Hiperkoreksi Orang Sunda
Freelancer dan Ilusi Work Life Balance

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel