Jika dibandingkan dengan kehidupaan di perkotaan, kehidupan di desa memang lebih tenang (slow pace), lingkungannya lebih bersih, dan budaya gotong-royong masih kental.
Maka jelas, dalam hal ini, kehidupan di desa jauh lebih baik daripada kehidupan di kota. Namun, jika ditelaah lebih jauh, kehidupan desa juga memiliki tantangan tersendiri, dan menua di desa tidaklah se-menyenangkan itu.
Ungkapan yang sering kita dengar seperti “bisa makan dari kebun sendiri,” nampaknya perlu diberi catatan “asal punya kebun.” Karena faktanya, tak semua warga desa memiliki kebun, barang sepetak. Banyak juga warga desa yang bertani untuk orang lain tanpa memiliki lahan.
Selain itu, pernyataan “harga-harga di desa lebih murah” juga perlu diubah, karena sekarang harganya cenderung sama antara desa dengan kota, atau beda tipis saja.
Tak ketinggalan, masih ada lagi pernyataan yang mungkin akan melukai gambaran ideal kita tentang menua di desa, yakni “warga desa ramah-ramah.” Pernyataan ini juga perlu ditambah catatan “kalau kalian kaya, atau berjasa, atau kelewat suka membantu.”
Dari semua hal di atas, saya akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa social cost di desa mungkin memang lebih murah, namun itu tetap saja hanya bisa dibayar (dengan tenang) oleh si kaya.
Mengikuti “Adat” atau Membayar dengan “Rasan-Rasan”
Sudah menjadi rahasia umum bahwa kehidupan desa sangat melestarikan adat, baik yang memang benar-benar adat tradisional peninggalan berbagai agama, hingga adat kultural yang tercipta karena kebutuhan sosial masyarakat.
Salah satu contohnya adalah rangkaian peringatan orang meninggal, seperti nyadran ketika hajatan. Hajatan sendiri ada bermacam-macam, di antaranya pernikahan, sunat, selamatan bayi, selamatan ternak, dan sepasar-an bayi.
Belum lagi event hari besar islam, event hari besar nasional, hingga iuran rutin RT. Terdengar banyak bukan? Namun, itu hanyalah sebagian kecil dari berbagai macam seremonial yang kerap diadakan masyarakat desa.
Di sebagian besar wilayah Jawa Timur, misalnya, ada semacam unwritten law untuk melaksanakan serangkaian seremonial di atas. Hal ini tentu tidak terlalu berat bagi orang kaya. Namun, bagi orang-orang dengan ekonomi pas-pasan tentu akan menjadi beban yang cukup terasa.
Dan ketika seseorang memilih untuk tidak melaksanakannya, bisa jadi dia tidak akan secara langsung mendapat teguran. Namun, ia perlahan akan dilupakan dan tidak lagi diajak berkumpul. Parahnya, cancel culture ala masyarakat desa ini juga masih di embel-embeli dengan kebiasaan over peduli alias “rasan-rasan”.
Lah, tapi kan, di desa masih kental dengan budaya gotong royongnya? Iya benar, namun budaya gotong-royong ini tidak jarang dilakukan dengan maksud “menabung.”
Simpelnya, ketika seseorang mengulurkan bantuan, maka ia berharap diberi bantuan serupa ketika melaksanakan hajatan. Jika ternyata bantuan “kembali” yang ia terima tidak sepadan, maka siap-siap saja menjadi bahan “rerasan.”
Selain itu, besar kecilnya bantuan biasanya juga menjadi penegasan atas dominasi dan kuasa yang makin mempertegas strata sosial di masyarakat.
Kultur Feodalisme dan Absennya Perangkat Desa
Dalam banyak hal, feodalisme adalah ancaman nyata karena biasanya dari sinilah timbul degradasi kualitas. Pemerintahan desa juga tidak luput dari persoalan ini.
Tentu kita tidak asing dengan kasus bansos salah alamat dan tidak disalurkan dengan tepat. Nah, hal-hal seperti ini tak jarang terjadi karena adanya kedekatan personal antara perangkat desa dengan warga penerima bansos tersebut.
Parahnya, para perangkat desa lebih mudah menjalin kedekatan dengan mereka yang berkecukupan. Orang-orang dengan ekonomi pas-pasan biasanya hanya sebatas menjadi pekerja kasar.
Bahkan, banyak orang-orang tua miskin yang tinggal di gubuk reyot namun tak kunjung diperhatikan pemerintah desa karena tidak adanya faktor kedekatan personal.
Nama-nama yang diajukan dalam pengajuan bantuan biasanya adalah mereka yang “dekat”, walaupun tidak memenuhi kriteria.
Harus diakui bahwa masyarakat desa hidup berkubu dan cenderung mengikuti apa kata pemimpin. Sehingga, kedekatan antara perangkat desa dengan orang-orang berada ini juga berpotensi menimbulkan sekat di masyarakat.
Orang-orang miskin pada akhirnya tidak pernah mendapatkan kesempatan yang sama dan jadi golongan terpinggirkan baik dalam hal pengajuan bantuan maupun kehidupan sosial.
Baca Juga: Masalah Kita dengan Hantu Masa Lalu
Kyai Desa Tidak Menyentuh Permasalahan Sosial
Dengan berat hati, saya juga harus menyertakan hal ini karena mau bagaimanapun kyai desa mempunyai pengaruh yang amat besar pada kehidupan sosial masyarakat. Bahkan, bisa dikatakan ketokohan kyai di desa jauh lebih besar daripada perangkat desa.
Saya tak hendak menyarankan para kyai untuk ikut terjun langsung mengurus masalah yang memang harusnya menjadi ranah perangkat desa, seperti persoalan bantuan di atas.
Akan tetapi, kyai desa mestinya bisa masuk secara tidak langsung, misalnya melalui kajian soal cara bersosial masyarakat. Karena berkaitan dengan pelaksanaan adat tadi, banyak sekali kalangan menengah kebawah yang religius merasa harus mengikuti adat tersebut karena “perintah agama” padahal beberapa peringatan tersebut bukanlah kewajiban agama, melainkan hanya adat kultural.
Seperti sumbangan bulanan yang mengatasnamakan ormas tertentu (biasanya diberi nama “jariyah operasional organisasi”), masyarakat memandang hal tersebut sebagai sesuatu yang bernilai pahala.
Tak jarang, masyarakat malah mengada-adakan dana meski untuk sehari-hari saja masih susah. Dan parahnya, kyai biasanya yang justru menjadi juru bicara ormas alih-alih menjelaskan kepada masyarakat perihal adat kultural ini.
Kyai seperti ini seringnya memberi kajian seputar pentingnya sifat sabar, sodaqoh organisasi, dan berserah diri dalam segala situasi (ilmu akhirat adalah segala-galanya).
Harusnya, jika melihat permasalahan sosial yang terjadi, kajian yang diberikan lebih bisa masuk ke sifat pantang menyerah, berbagi kepada keluarga adalah sodaqoh paling utama, mencukupi nafkah keluarga adalah ibadah, dan sodaqoh jariyah bagi yang berkecukupan.
Baca Juga: Film Horor dan Formula Usang di Dalamnya
Melihat besarnya pengaruh para kyai, akan jauh lebih baik jika mereka juga melebarkan kajiannya kepada permasalahan struktural akibat tidak becusnya pemerintah mengelola negara.
Bukan bermaksud menyisipkan kajian politik, tapi kajian semacam ini bisa memberi pengetahuan atau gambaran menyeluruh kepada warga desa agar tidak tercipta konflik horizontal.
Misalnya, ketika ada bansos yang tidak tepat sasaran, antara si kaya dan si miskin tidak akan saling menyalahkan karena tahu kalau masalahnya ada pada pemerintah yang tidak becus menyortir data penerima bansos.
Dengan demikian, peran agama sebagai pedoman dalam berkehidupan dapat benar-benar terwujud. Ia tidak hanya berkutat pada masalah ibadah saja, namun juga muamalah. Bahwa ada pemerintah yang punya tugas dan kewajiban serta rakyat yang berhak menuntut hak.
Sayangnya, kebanyakan kyai desa hanya berdakwah seputar ibadah saja. Aspek-aspek riil kehidupan sosial kerap kali ditinggalkan. Sehingga, ketika dihadapkan pada masalah sosial, dakwah andalannya adalah “sabar saja, nanti Allah yang akan memberikan balasan” tanpa menyentuh akar masalahnya.
Pada akhirnya, menua di desa sebagai orang dengan ekonomi menengah ke bawah bukanlah hal yang tidak mungkin. Mengikuti tuntutan adat yang ada? Ya, bisa saja, namun perlu usaha lebih.
Masuk dan berkesempatan menjadi pegawai pemerintahan atau minimal mendapat bansos? Bisa juga, namun tidak semudah yang sedari awal punya kedekatan personal.
Sehingga, romantisme menua di desa seperti yang diidam-idamkan banyak orang, menurut saya, perlu sedikit dibenahi, atau lebih tepatnya dispesifikkan. Bukan lagi “menua di desa adalah hal yang menyenangkan” tetapi “menua di desa adalah hal yang menyenangkan, jika Anda kaya.”
Baca Juga: Kaos Mark Zuckerberg di Mata Orang Desa