Film Horor dan Formula Usang di Dalamnya

Film Horor dan Formula Usang di Dalamnya

Film Horor dan Formula Usang di Dalamnya
Ilustrasi oleh Vivian Yoga Veronica Putri

Sebenarnya, pesan yang ingin disampaikan film-film horor adalah manusia makhluk yang lemah dan agama adalah penyelamat.

Saya punya dendam pribadi dengan film pendek Makmum (2019). Setelah nonton film itu, saya gak berani sholat selama tiga hari.

Oke, saya akui, saya memang penakut. Tapi, dengarkan dulu pembelaan saya, semua film horor yang mengandung unsur agama itu receh dan berlebihan. Kayak gak ada ide lain apa? 

Kalau dipikir-pikir, mungkin penggunaan unsur agama dalam film horor itu sebenarnya buat kepentingan orang atau kelompok tertentu. Sebenarnya, pesan yang ingin disampaikan film-film horor adalah manusia makhluk yang lemah dan agama adalah penyelamat. 

Film horor selalu memiliki premis yang serupa dari tahun ke tahun, dekade ke dekade. Premisnya satu: kekuatan setan akan selalu kalah dengan agama.

Sayangnya, makna yang ingin dibawa oleh film horror kerap kali kabur dan membingungkan para penonton. Hal itu dikarenakan film-film itu hanya menampilkan jumpscare berlebihan dan hal-hal di luar nalar lainnya.

Formula Film Horor yang Membosankan

Dalam pertarungan antara kekuatan baik dan kekuatan jahat, kekuatan baik pasti akan selalu menang. Film horor mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai pentingnya agama dan moralitas.

Walaupun dalam prakteknya, film horor akan menyentuh sisi-sisi gelap, menyeramkan, dan gak bisa dicerna dengan akal sehat. Agama selalu saja dijadikan fear factor, padahal tujuan aslinya biar orang semakin taat beragama. Kontradiktif.

Maksud saya begini, rata-rata film horor pasti melibatkan tokoh agama. Misalnya, ada gadis kesurupan. Pak Ustadz harus datang buat merukiah. Gak cuma di Indonesia, di film Barat pun hampir selalu ada tokoh pendeta yang siap siaga kalau misalnya ada yang tiba-tiba kerasukan. 

Kalau dipikir-pikir, tujuan ikonografi ini, ya, supaya orang secara gak sadar mikir bahwa agama itu penyelamat. “Kalau ada masalah, atau tiba-tiba kerasukan, agama adalah jalan keluarnya,” kira-kira begitu pesan yang ingin disampaikan.

Sebenarnya, hal ini masuk akal. Setan adalah makhluk supernatural yang harus dilawan dengan kekuatan serupa. Dan agama adalah sistem keyakinan yang berkaitan dengan kekuatan supernatural.

Intinya, memang, satu-satunya cara buat ngelawan setan adalah dengan menggunakan agama dan ayat-ayat suci. Tapi, justru karena pertarungan yang seimbang ini, alurnya jadi gak seru. Boring! Rumus umum film horor menyatakan bahwa tokoh baik (agama) akan menang melawan setan. 

Mengapa Film Horor Selalu Ada Unsur Agamanya?

Menyambung di atas, kalian pernah mikir gak sih kalua akhir film horror, tuh, pasti gitu-gitu aja. Kesannya, kayak fightanime di mana kedua karakternya sama kuat, jadi selama tiga episode mereka saling teriak aja karena gak kalah-kalah. Coba, gimana kalau setan dalam film horor dilawan dengan hal lain, misalnya sains. 

Ada gadis kerasukan, terus ilmuwan masuk dan bilang, “Oh, ini namanya Dissociative Personality Disorder,” Dijamin lebih kocak dan greget.

Iya, sih, mungkin hal ini terdengar aneh, tapi anggap aja ini inovasi. Lagi pula, konon katanya pemasukan unsur agama dalam film horor Indonesia itu gara-gara Orba. Dulu, ada undang-undang yang menyatakan bahwa film horor yang gak melibatkan unsur agama gak bakal ditayangkan. 

Jadi, unsur agama dimasukkan cuma biar film-film horor bisa lulus sensor. Nah, pada zaman sekarang dengan demokrasi yang (katanya) sudah jauh lebih baik, bukannya hal ini sudah gak relevan lagi? 

Eits, jangan ngambek dulu. Yang ingin saya sampaikan adalah, penggunaan unsur agama sebagai pendukung alur cerita film hororlah yang gak relevan. Bukan agamanya yang gak relevan! 

Sebagian orang mungkin setuju dengan ide inovatif saya untuk memasukkan unsur sains dalam film horor. Argumen mereka, “sains itu rasional,” Tapi, kata siapa agama gak rasional? Agama itu juga bisa dijelasin, kok, secara ilmiah. Agama memberi rasa tenang dalam menghadapi ketidakpastian. Jadi, inti argumen saya bukan “agama gak penting, makanya gak usah ada dalam film horor,” big no!

Unsur Agama dalam Film Horor Minim Riset, Sangat Merendahkan!

Yang jadi masalah adalah, dalam film horor, penggambaran agama terlalu cetek. Padahal, agama itu seperangkat aturan kompleks yang mengatur kehidupan manusia. Menafsirkan unsur-unsur agama juga tidak semudah itu. Makanya penafsiran tak bisa sembarangan.

Agama menjadi bagian penting dalam jiwa manusia dan menuntun manusia ke arah kehidupan yang baik dan bermanfaat bagi sesama. Nah, dalam film horor, kedalaman makna ini selalu luput dari perhatian sutradara. Agama ditampilkan sebagai unsur yang sambil lalu. 

Ketika setannya udah berhasil diusir, Pak Ustadz atau Pak Pendeta langsung pulang. Udah. Masa gitu doang? Agama cuma ditampilkan sebagai solusi singkat, padahal konflik ceritanya udah disajikan panjang lebar. 

Udah diceritain dari awal, tuh, gimana ceritanya si A bisa kesurupan dan bikin orang-orang di sekitarnya ketar-ketir, terus tiba-tiba tokoh agama dateng dan plong! Semua masalah dijamin selesai begitu aja. Apa boleh semudah itu?

Teknik penceritaan ini menyebabkan agama gak ditampilkan sebagaimana mestinya sebagai suatu hal yang suci dan penting dalam kehidupan manusia. Ini sangat merendahkan. Bahkan, agama itu digunakan sebagai fondasi utama jalan cerita. Keseraman cerita film horor dibangun mengelilingi tema agama. 

Di film pendek Makmum, misalnya, setan digambarkan sebagai sosok yang tiba-tiba ada di belakang kita pas lagi salat. Udah berapa orang, coba, yang takut salat gara-gara film itu? Bukannya mendekatkan penonton ke amanat yang ingin disampaikan (bahwa agama adalah penyelamat), penonton jadi takut beribadah. Geser dikit ke Barat, di film The Nun (2018), misalnya, setannya justru lahir dari arwah suster gereja. Tokoh agama yang seharusnya jadi penyelamat malah jadi setan. Jadi, siapa yang salah?

Salah Kaprah dalam Film Horor

Ada juga trope “tokoh agama nyerah karena setannya terlalu kuat”. Pak Ustadz atau Pak Pendeta udah nyoba berkali-kali biar setannya tunduk, tapi gak bisa-bisa karena setannya makin kuat. Ya udah, deh, mereka kabur karena ketakutan. Kalau penonton memiliki iman yang lemah, bisa aja mereka jadi putus asa karena mikir bahwa agama itu bikin manusia gak berdaya. 

Makanya, unsur agama dalam film horor itu selalu kontradiktif. Bertentangan dengan tujuan aslinya. Buktinya, banyak orang yang taat beragama gak mau nonton film horor. 

Mungkin, dampak film horor yang mengandung unsur agama bakal tergantung keimanan masing-masing. Harus diakui, unsur agama emang bikin film horor jadi makin serem. Ada baiknya kita murni menjadikan film-film seperti itu sebagai bentuk hiburan aja. Daripada pusing-pusing mikir, kok bisa begini, kok bisa begitu, kok alurnya gak masuk akal?

Tapi, ya, gak apa-apa juga sih kalau mau mikir kok begini kok begitu. Kalau gak mikir begitu mana ada yang namanya apresiasi dan kritis film.

Kembali ke topik, manusia memang jauh lebih takut sama hal yang gak kasat mata. Karena justru dalam hal yang tidak kasat mata, terdapat ketidakpastian. Tetap aja, bagi saya, hal-hal kasat mata yang dekat dengan keseharian kita juga layak diangkat sebagai tema cerita horor, seperti pembunuhan, rezim pemerintah yang otoriter, dan sains atau kecerdasan buatan yang merusak lingkungan. Lagi pula, bukannya manusia lebih menakutkan daripada setan?

Editor: Anatasia Anjani
Penulis

Dinar Maharani H.

Mahasiswi HI. Penulis lepas. Hobi: suka sama orang yang suka sama orang lain. Suka makan sushi pake ikan asin.
Topik

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel