Kemajuan teknologi secara perlahan telah mengubah cara masyarakat mendefinisikan “kerja”. Ia kini tidak lagi sekadar dipahami sebagai aktivitas yang hanya melibatkan berangkat pagi, pulang sore, berseragam lengkap, dan menerima gaji bulanan.
Hal ini sendiri tak lain merupakan ekses dari disrupsi teknologi yang memungkinkan para pekerja, utamanya pekerja lepas, untuk memanfaatkan teknologi sebagai media dalam kegiatan kerja mereka.
Banyak anak muda yang tertarik untuk berkarir menjadi pekerja lepas (freelancer) karena berbagai alasan, seperti kebebasan, ruang akselerasi yang lebih luas, fleksibilitas waktu dan tempat kerja (work from anywhere) hingga harapan soal keseimbangan cara hidup (work life balance).
Selain itu, mereka juga mempunyai potensi dan peluang yang cukup besar untuk berkolaborasi dengan berbagai klien internasional melalui berbagai platform online terkemuka seperti UpWork, Freelancer.com, hingga FastWork.
Merujuk data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2020, jumlah pekerja lepas di Indonesia mencapai angka 33,43 juta orang. Sementara menurut laporan dari UpWork Research Institute, pada tahun 2023, lebih dari separuh (52%) Generasi Z terlibat dalam pekerjaan lepas, sementara 44% dari Milenial juga melakukan pekerjaan serupa.
Namun, semua harapan akan pekerjaan yang fleksibel tersebut tampaknya kontras jika melihat kondisi yang terjadi di lapangan. Para pekerja lepas seringkali berada dalam keadaan di ambang ketidakpastian.
Sejumlah problem kompleks yang muncul sangat beragam. Misalnya, perjanjian kerja tidak jelas serta waktu kerja yang tidak sesuai dengan ketentuan. Hal ini sendiri diperkuat dengan temuan BPS pada tahun 2016 yang mengungkap bahwa sepertiga dari pekerja kreatif mengalami overwork karena bekerja di atas 48 jam per pekan.
Tak hanya itu, freelancer juga rentan menjadi korban penipuan, peretasan data pribadi, tidak adanya jaminan asuransi keselamatan kerja, nasib karir masa depan mereka yang diambang ketidakpastian, hingga permasalahan kesehatan mental.
Dari informasi yang dimuat di sejumlah sumber di media massa, beberapa freelancer mengungkapkan bahwa mereka hanya memiliki perjanjian kerja secara lisan, yang menempatkan mereka dalam posisi yang kurang menguntungkan. Eksesnya, terdapat ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban para pihak.
Tak selesai pada problem tersebut, para pekerja lepas juga belum mendapatkan proteksi kerja yang cukup memadai, khususnya perihal perlindungan upah layak yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ilusi Work Life Balance
Dalam sistem kerja lepas (freelance), terdapat dua ilusi yang kerap mengaburkan pemahaman kita tentang relasi kerja. Ada anggapan bahwa freelancer dapat dengan merdeka menentukan waktu kerja sendiri.
Faktanya, jam kerja mereka kerap dipengaruhi oleh target dan limitasi waktu yang telah ditetapkan oleh klien. Akibatnya, tak sedikit freelancer yang harus bekerja lembur tanpa mendapatkan kompensasi untuk waktu tambahan tersebut (C20 Library & Collabtive, 2019; Haryanto, 2019).
Hilangnya batas antara waktu kerja dan waktu luang serta kelonggaran dalam regulasi ketenagakerjaan tidak berdampak baik pada keseimbangan hidup yang diharapkan pekerja lepas.
Sebaliknya, ketidakstabilan tersebut justru berdampak pada masalah yang cukup kompleks. Implikasinya, beban psikologis meningkat, gangguan kesehatan mental, waktu luang menjadi surut, ruang untuk spiritual menyempit, dan waktu bersama teman, keluarga, serta masyarakat menjadi berkurang.
Melihat realitas kontradiktif yang terjadi dalam sistem relasi kerja freelancer saat ini, harapan atas kehidupan yang ideal dan seimbang nampak akan semakin sulit untuk terwujud.
Selain itu, keyakinan bahwa freelancer bekerja untuk diri mereka sendiri secara merdeka dan berbeda dari pekerja konvensional yang berada di satu tempat yang sama adalah ilusi selanjutnya.
Pada kenyataannya, mereka juga tetap bekerja untuk klien atau pengusaha, bukan untuk diri mereka sendiri. Pasalnya, relasi antara freelancer dengan klien tetap melibatkan dinamika pemberi dan penerima upah.
Konsekuensinya, ketika hak-hak dasar seperti pembayaran upah tertunda, freelancer tak jarang kesulitan untuk menuntut hak mereka secara langsung dikarenakan keterbatasan kontrak yang dibuat dengan jelas, terutama yang berkaitan dengan alternatif penyelesaian sengketa.
Menanti Andil Negara
Menyikapi dilematika dan kondisi serba tidak pasti yang dihadapi oleh para pekerja lepas saat ini, kita perlu juga mewaspadai kompleksitas masalah ketenagakerjaan yang ada.
Berbagai isu seputar jam kerja yang melampaui batas wajar tanpa upah tambahan, ketidakpastian kontrak kerja, outsourcing tanpa jaminan hukum, pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak, dan ketiadaan perlindungan jaminan sosial adalah beragam masalah penting yang harus menjadi perhatian khusus bagi para pekerja lepas.
Dari sejumlah masalah yang terjadi di lapangan tersebut, pemerintah masih belum nampak berperan aktif untuk mengawasi praktik baru dalam hubungan kerja yang semestinya menjadi tugas dan tanggung jawabnya.
Payung hukum yang melindungi para pekerja lepas tak kunjung diperbaharui, dan trend hubungan kerja ini masih bersandar pada regulasi lama yang tidak cukup relevan dengan kondisi perubahan yang terjadi.
Mengingat semakin tingginya angka freelancer, diperlukan adanya andil negara, baik pemerintah, kementerian terkait, serta DPR, untuk membahas dan merancang regulasi yang dapat mengakomodasi hak-hak dan perlindungan hukum para pekerja lepas.
Menyikapi nasib para pekerja lepas yang berada di ambang ketidakpastian perlindungan hukum saat ini, maka sudah seyogyanya materi mengenai freelance perlu secepatnya diatur lebih mendetail dalam regulasi terkait. Misalnya, dengan merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021.
Jika upaya pembaharuan dan penyempurnaan regulasi tersebut diwujudkan, maka cepat atau lambat para pekerja lepas akan mendapatkan kepastian dan perlindungan hukum yang berkeadilan.