Dunia pendidikan kembali mendapat sorot tajam. Pergantian era dari Nadiem Makarim ke Abdul Mukti masih penuh bayangan masalah lama. Kurikulum, kualitas pendidikan, kesejahteraan guru, akses, sarpras, dan yang tidak bisa dipinggirakan kemampuan dasar murid.
Terkait yang terakhir, belakangan ramai di media sosial video eksperimen tanya jawab pengetahuan umum pada anak-anak usia sekolah.
“Sebutkan negara-negara di Eropa!”, menjadi salah satu pertanyaan yang diberikan. Sejumlah anak berseragam putih abu-abu kesulitan menjawabnya.
Bahkan, jawaban pertama dari salah satunya adalah Garut (kota Indonesia). Sekalipun telah diberi clue, seperti sepak bola atau timnas, jawaban masih banyak yang terdengar ngasal. Seperti Amerika, Brazil, Australia, hingga Filipina, Vietnam, dan Thailand.
Total hanya 4 negara Eropa yang berhasil disebutkan (Inggris, Jerman, Belanda, Polandia) oleh keempat anak di video. Itu pun setelah mencoba trial-error asal jawab beberapa kali.
Kita memang tidak bisa menarik secuil fakta tersebut untuk menghakimi tubuh pendidikan Indonesia yang sudah sejak lama “gagal terurus”.
Apalagi menggeneralisasi bahwa semua murid Indonesia kurang mampu dalam pengetahuan dasar. Namun, kita tetap juga perlu sadar dan terusik dengan persoalan tersebut.
Sebab, fakta serupa terkait hal tersebut juga ditemukan pada video-video lain yang tak kalah pelik. Semisal, unggahan seorang guru yang memperlihatkan ketidakmampuan murid membilangkan angka seribu sembilan puluh.
Tak sampai di situ, ditemukan juga sejumlah fakta yang tidak kalah mencengangkan, bahwa masih ada anak sekolah jenjang menengah yang belum bisa membaca.
Rentetan hal tersebut menarik perhatian sejumlah warganet melalui komentar dan produksi video respon. Kebanyakan dari mereka menanyakan bagaimana sistem kerja kurikulum, terutama aturan naik/tinggal kelas serta problem kebijakan terkait lainnya?
Guru dalam Paranoid Solidarity
Dalam melakukan penilaian sebagai seorang guru, saya sebenarnya sangat ingin untuk mengatakan, “Anak A belum tuntas, ia harus mengulang karena nilainya rendah. Ayo, sama-sama melakukan perbaikan.”
Akan tetapi, mengucapkan kejujuran tersebut tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ada faktor lain yang lebih menentukan hasil akhir, seperti tekanan sosial, harapan orang tua, dan sistem penilaian.
Kita juga terkadang belum seberapa jelas memastikan, saat ada masalah ketercapaian pembelajaran murid, subjek mana yang pertama bertanggung jawab?
Apakah guru, sekolah (kebijakan), orang tua, atau si murid itu sendiri? Atau bahkan ada faktor non–human yang lebih memiliki pengaruh kuat.
Dikutip dari The Conversation, Vina Adriany, Profesor Universitas Pendidikan Indonesia, menyebutkan soal lima masalah pendidikan Indonesia. Yakni, akses dan partisipasi, neoliberalisasi, kesejahteraan guru dan dosen, tata kelola, hingga inklusi sosial.
Mengurai problematika dasar ini sangat penting, namun sering pula luput dibahas. Alhasil, upaya mengucapkan keputusan asesmen akan lebih dipengaruhi faktor luaran (eksternal)—terkadang jauh dari kebutuhan orientasi pendidikan, seperti nama sekolah, amarah orang tua, gengsi pribadi, stigma masyarakat, feodalisme struktural.
Sekolah swasta, misalnya, tentu mempertimbangan nama baik sekolah sebagai prioritas. Stigma masyarakat sangat dipelihara oleh sekolah swasta.
Lalu, orang tua, merasa sudah membayar tiap bulan, apa bakal terima mendengar kabar anaknya tidak naik kelas? Sekolah negeri pun demikian, di mana pengaruh administrasi dan tekanan struktural tidak kalah menentukan.
Ini lebih mirip efek domino yang memutar. Satu kejadian (anak tinggal kelas) dapat mengakibatkan persoalan beruntun yang urut.
Katakanlah, guru orang pertama yang “dipersalahkan”, kemudian guru akan menuntut faktor pendukung seperti peran orang tua, sarpras sekolah, dan kesejahteraan.
Berhubung faktor pendukung juga lebih banyak bermasalah, menaikkan murid adalah solusi yang menyelamatkan semua.
Langkah semacam itu dalam psikologi disebut sebagai paranoid solidarity, yaitu perasaan takut akan dikucilkan, dibenci, dan dijerumuskan dalam kelompok, sehingga mau tak mau para pelaku akan saling melindungi satu sama lain. Murid akan jadi korban paling ujung yang bisu.
Ini serupa penyakit dalam, menggerogoti tanpa disadari hingga suatu saat meledak dan mematikan. Salah satu ledakannya, sebutkan negara Eropa! Jawabnya, Garut.
Memutus Paranoid Solidarity
Para pelaku pendidikan perlu mulai bersikap jujur dan menerima fakta bahwa kesalahan bukanlah aib. Gagal juga tidak akan membuat dunia berakhir. Sedangkan kurang juga bukanlah penderitaan.
Persoalan ketercapaian pembelajaran tidak perlu ditutupi, direkayasa, dan dikondisikan, melainkan harus disikapi dengan keterbukaan pikiran dan kedewasaan.
Hal itu dapat dimulai dengan menjadikan asesmen bukan lagi jadi ajang judgement naik atau tinggal kelas. Hal itu perlu dilihat sebagai ruang memulai upaya kritik dan autokritik.
Kritik artinya melihat faktor di luar diri, apa yang bermasalah. Autokritik melihat ruang kesalahan yang ada di dalam diri. Sehingga, keterjalinan pembangunan mutu sekolah memungkinkan tumbuh lebih sehat, beragam, dan dalam.
Dari adanya kesalahan dan mengakuinya, subjek pendidikan akan memungkinkan untuk terus belajar. Ditambah lagi, pendidikan merupakan proses panjang kebudayaan. Artinya, tidak ada jalan praktis dan instan, apalagi sulapan.
Bila memang ada ketercapaian pembelajaran murid yang belum tuntas, semua elemen pendidikan (sekolah, orang tua, masyarakat, dan pemerintah) harus mulai belajar menerima lalu memperbaiki.
Belajar sepanjang hayat bukan semata belajar tanpa henti selama hidup, melainkan adalah pikiran dan kesadaran yang terus tumbuh dewasa dan terbuka.
Di dalam sains pun hasil sebuah teori tetap terbuka untuk dikoreksi, diperbarui, dan dikritik. Padahal, objek kajiannya statis (terukur jelas, empiris). Apalagi terkait pendidikan—yang objek belajarnya terikat pengaruh aneka faktor human/non–human yang dinamis.
Belajar pengetahuan dari sarjana sampai doktoral selalu tentang mencari permasalahan lalu melakukan tawaran solusi. Justru saat pendidikan diklaim sudah baik-baik saja, di sanalah kita harus memasang alarm.
Sebab, pendidikan sudah berusaha menutup ruang pembelajaran lewat perbaikan yang nyata dengan menutupi kesalahan, kekurangan, dan kekeliruan.