Pak Ucup dan Segudang Dosa Sistem Pendidikan Kita

Pak Ucup dan Segudang Dosa Sistem Pendidikan Kita

Pak Ucup dan Segudang Dosa Sistem Pendidikan Kita
Ilustrasi oleh Ahmad Yani Ali

Tenaga pendidik tidak seharusnya menanggung dosa apapun. Baik Ucup yang honorer atau tenaga pendidik penggantinya yang PPPK merupakan korban dari sistem pendidikan kita, yaitu sistem yang tidak meritokratik dan kurang ramah ketika hendak dievaluasi.

Padahal uwes enak karo Pak Ucup, lho. Saiki guru kimia seng anyar malah mung nge-i tugas gur ditinggal. Dikon sinau dhewe.” (Padahal sudah enak dengan Pak Ucup, lho. Guru kimia yang baru cuma memberi tugas saja. Kita disuruh belajar sendiri).

Kutipan di atas berasal dari salah seorang siswa kelas 10 bernama Arvi. Ia mengenang Ucup (bukan nama sebenarnya) yang sejak 1 Mei 2024 kemarin dinonaktifkan dari pekerjaannya sebagai guru kimia honorer di salah satu SMA Negeri Kota Semarang.

Selama menjalani profesi terdahulunya itu, Ucup tidak pernah mengajar dengan tanggung-tanggung. Bahkan, seakan kurang puas bila hanya mengajar kimia secara reguler, ia juga aktif menjadi guru pembimbing di berbagai kompetisi.

Mulai dari kompetisi seperti olimpiade kimia, sampai yang berbau riset ia tandangi. Ini tentu saja dilakukan tanpa insentif tambahan dari pihak sekolah.

Kini, dirinya digantikan oleh guru PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) yang, jangankan aktif membimbing siswa, kemampuan pedagogiknya saja banyak dikeluhkan.

Sistem Pendidikan Malah Menyuburkan Permasalahan

Dulu, saya termasuk salah seorang siswa yang sangat giat mengkritik guru. Dibebani oleh bayang-bayang guru ideal, yang saya temui di sekolah tampak serba tidak becus: banyak yang mengajar sekadarnya, memberi bimbingan hanya supaya namanya dicantumkan dalam sistem kemudian hilang entah ke mana, atau justru lebih banyak mengurusi administrasi.

Saking kesalnya, keluhan pertama sudah saya tulis jauh sebelum ini: pada Oktober 2023 di Omong-Omong Media. Dalam keluhan tersebut, saya membahas soal bagaimana kebanyakan guru di sekolah negeri mengajar asal-asalan karena aji mumpung dengan maraknya lembaga bimbingan belajar.

Bila masih boleh saya keluhkan, tidak hanya bimbingan belajar, guru masa kini juga lebih leluasa aji mumpung karena kurikulum merdeka.

Bukan sebuah kesalahan kalau kurikulum merdeka mendorong pendidikan ala pedagogi diiringi dengan andragogi. Akan tetapi, meskipun dicirikan dengan kemampuan siswa belajar mandiri, merdeka belajar bukan lantas disikapi dengan merdeka tidak mengajar.

Keluhan-keluhan klise tersebut berubah drastis bersamaan dengan dinonaktifkannya Ucup. Tidak diprioritaskannya guru berkompeten seperti beliau, membuka mata saya untuk melihat asal dari segala masalah yang selama ini saya singgung.

Kualitas tenaga pendidik kita memang tidak sempurna, tetapi ketidaksempurnaan tersebut justru didukung oleh sistem pendidikan yang jauh lebih busuk.

Sistem yang Tidak Meritokratik

Alih-alih memberi pembobotan bagi tenaga pendidik berdasarkan kompetensinya, sistem kita hanya menilai tenaga pendidik berdasarkan gelar atau titipan dari siapa.

Sistem yang antimerit tersebut membunuh kompetensi tenaga pendidik secara perlahan, seiring dengan munculnya keyakinan bahwa gelar dan sertifikasi adalah segalanya.

Padahal, tenaga pendidik dibebani oleh tuntutan untuk mengajar, bukan hanya memahami materi yang diajarkan.

Menjadi ahli dalam ilmu kimia—seperti yang mungkin terjadi pada guru PPPK yang menggantikan Ucup—tidak lantas membuatnya lebih baik dalam mengajar dan melakukan asesmen bagi kemampuan siswa.

Jangan salah. Gelar dan sertifikasi tetap penting. Akan tetapi, dalam mengoreksi sistem di tanah air tercinta ini, segala sesuatu harus dipandang dalam kemungkinan terburuknya terlebih dahulu.

Penting bagi sistem untuk menyadari bahwa budaya perjokian masih marak beredar dan dilakukan, terutama pada kalangan ASN—yang sebagian diantaranya berprofesi sebagai tenaga pendidik di sekolah negeri. Dalam keadaan tidak kondusif tersebut, satu-satunya yang dapat kita pegang adalah kompetensi guru.

Standar Kompetensi yang Perlu Dievaluasi

Bilapun meritokratik, standar kompetensi kita perlu dievaluasi lebih lanjut. Benar adanya bahwa sistem yang merit berarti menggantungkan penilaian pada kompetensi tenaga pendidik.

Namun, kompetensi yang dimaksud juga sering disalahpahami. Sistem pendidikan kita umum mendefinisikan tenaga pendidik yang kompeten sebagai tenaga pendidik yang mampu mengurus administrasi, ambisius dalam menjalankan program dinas, atau ahli membuat video-pendek lucu untuk mempromosikan sekolah.

Padahal, kompetensi seorang tenaga pendidik harus dinilai berdasarkan tingkat penguasaan siswa pada materi yang diajarkan, bukan pada banyaknya like pada laman TikTok.

Predikat guru inovatif akan percuma bila siswa tetap tidak mampu mencapai kompetensi dasar yang diharapkan.

Sayangnya, guru-guru seperti ini—yang menjokikan tugas akhir sarjana pendidikannya untuk membuat “aplikasi-pendidikan-interaktif” dibanding mengembangkan model asesmen inovatif bagi siswa, atau yang meninggalkan kewajiban mengajar di kelas dan lebih mementingkan urusan administrasi dan mempertahankan gelarnya—akan terus berlipat ganda dan menggantikan Ucup-Ucup lain di luar sana. Sistem pendidikan kita harus bertanggung jawab untuk ini.

Tuntutan Sistem yang Mencekik

Terakhir, tenaga pendidik tidak seharusnya dipaksa untuk sujud menyembah kurikulum merdeka. Dalam lingkaran setan di mana tenaga pendidik dicekik oleh tuntutan sistem, tetapi tetap dipaksa untuk mengglorifikasi kurikulum merdeka sebagai juru selamat pendidikan, sistem pendidikan akan selamanya stagnan dan tidak dapat dievaluasi.

Omong kosong soal mengajarkan peserta didik untuk berpikir kritis apabila tenaga pendidik masih dipaksa oleh sistem untuk bekerja sebagai sales program dinas pendidikan. Sementara itu, tenaga pendidik yang cukup berani untuk melawan dan mengkritisi akan dimusuhi oleh sistem.

Toh, kurikulum merdeka tetap menyisakan banyak masalah bagi penyelenggaraan pendidikan, terutama bagi sekolah-sekolah yang masih terpinggirkan dan minim fasilitas.

Selain itu, ia juga membebani tenaga pendidik dengan ekspektasi berlebihan dan tugas administrasi yang menggunung.

Tenaga pendidik tidak seharusnya menanggung dosa apapun. Baik Ucup yang honorer atau tenaga pendidik penggantinya yang PPPK merupakan korban dari sistem pendidikan kita, yaitu sistem yang tidak meritokratik dan kurang ramah ketika hendak dievaluasi.

Bersama keluh-kesah ini, saya mengajak kita untuk merenungkan segala tudingan yang kita layangkan kepada individu tenaga pendidik sebagai dalang utama mundurnya pendidikan. Sejatinya siapa yang salah? Tenaga pendidik atau justru sistem pendidikan kita?

Penulis

Jonathan Toga Sihotang

Penulis lepas dan peneliti belia dengan lingkup studi sastra, sejarah, filsafat, dan bidang-bidang humaniora lain.

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel