Sekali waktu, saya melihat ada teman yang berbagi kegiatannya di Instagram. Ia sedang menyetir mobil. Entah itu mobil miliknya, meminjam, atau menyewa, saya tidak tahu. Berkat hal itu, saya menyadari sesuatu dan memikirkan ihwal-ihwal lain. Saya tidak iri, tentu saja, tetapi malah melamuni nasib yang begini-begini saja.
Demikian halnya dengan teman-teman saya lainnya, dan mungkin sebagian dari kita semua. Kita barangkali pernah mengukur pencapaian kita dengan membandingkannya dengan pencapaian orang lain yang mereka bagikan di media sosial. Dan, hal itu berpeluang membuat kita merasa cemas.
Media sosial memudahkan kita berinteraksi dengan orang lain, termasuk dengan memanfaatkan fitur berbagi keseharian: Instagram memiliki fitur story; WhatsApp pun demikian; dan media sosial lain juga menambahkan fitur ini dalam platform mereka. Kita bisa dengan mudah mengetahui keseharian teman kita, tetapi lain sisi, fitur ini ternyata bisa bikin orang lain jadi overthinking.
Sebagian besar waktu saya di internet saya habiskan dengan bermain media sosial, terutama di Instagram. Aplikasi ini tidak terlalu saya manfaatkan untuk pekerjaan. Untuk narsis juga tidak. Paling-paling buat scroll-scroll unggahan ciwi-ciwi, stalking, nontonin video-video viral, maupun nengkok katalog produk, dan sebagian besar untuk mantengin Instastory milik teman-teman.
Mantengin Instastory ini bikin saya tahu kabar terbaru teman-teman saya, entah sedang nongkrong di kafe fancy; jalan-jalan; uwu-uwuan sama pacar; bahkan galau. Apapun dibikin story. Enggak perlu kaget juga kalau ada teman kita di Instagram, story sampai jadi titik-titik saking banyaknya dia bikin story.
Di lain sisi, instastory juga bisa bikin overthinking, seperti kisah soal saya yang tiba-tiba merenung gara-gara melihat teman berbagi story saat nyetir mobil. Instastory lain yang sering bikin saya cemas yakni nikahan teman yang saya kenal. Makin gelisah jika resepsi nikahannya digelar mewah. Duh, asyik bener!
Insecure adalah jalan ninjaku
Orang-orang Indonesia rupanya cukup betah berselancar di dunia maya. Berdasar laporan We Are Social dan Hootsuite pada 2020, rata-rata orang Indonesia menghabiskan waktu di internet mencapai 7 jam 59 menit. Angka tersebut lebih tinggi ketimbang rata-rata global sebesar 6 jam 43 menit per hari.
Masih dari riset yang sama, kita juga doyan bermedia sosial. Lagi-lagi melebihi rata-rata yakni mencapai 3 jam 26 menit, sedangkan rata-rata global adalah 2 jam 24 menit.
Data-data tersebut menunjukkan betapa orang-orang Indonesia mendudukkan berselancar di dunia maya maupun media sosial sebagai salah satu aktivitas yang sulit dilewatkan. Selain memang menyenangkan, banyak informasi penting yang bisa diperoleh dari internet. Apesnya, aktivitas bermedia sosial berpeluang membikin orang-orang sambat.
Beberapa teman saya sering berkeluh setelah melihat story teman-temannya. Berikut ini saya kutip dari Bahasa Jawa aksen Semarangan beberapa keluhan teman-teman di lingkaran pertemanan saya:
“Wah, kanca-kanca ku wis do rabi ik. Aku piye ki? Isin diundang terus, tapi ra tau ngundang.” (Wah teman-teman ku udah pada nikah semua. Aku gimana ini? Malu diundang terus, tapi belum pernah mengundang.)
“Cah kui penak ya. Urip e dolan terus keluar negeri. Dolan rono, dolan rene”. (Anak itu enak ya. Hidupnya jalan-jalan terus ke luar negeri. Main ke sana, Main ke sini.)
“Kok wong-wong kerja ne do lancar. Gasyik entuk kerjaan ning perusahaan apik tur gaji ne gede. Kerjo setaun wis iso nyicil rumah karo mobil. Kapan aku iso ngono yaa?” (Kok orang-orang kerjanya pada lancar. cepat dapat kerja di perusahaan bagus dan gajinya gede. Kerja setahun sudah bisa nyicil rumah serta mobil. Kapan aku bisa begitu ya?)
Sebetulnya, masih banyak curhatan lain yang kalah tidak pentingnya saya dengar. Yang jelas, rata-rata curhatan macam begitu sering saya dengar sehabis mereka mendapat kabar dari temannya. Pemicunya bisa lewat undangan nikahan di grup WhatsApp, unggahan medsos, maupun lewat Instatory. Sebagai lawan bicaranya, saya hanya mampu menimpal sebaliknya.
Curhatan-curhatan semacam itu mengesankan perasaan cemas sebab membandingkan pencapaian diri sendiri dengan orang lain. Tidak jarang, perasaan semacam ini malah membikin kita meremehkan diri sendiri, menganggap diri sendiri belum mampu semapan yang digambarkan orang-orang lewat medsos. Singkatnya, kita merasa insecure.
Tetapi tunggu dulu, apakah perasaan cemas semacam ini juga dialami teman-teman yang membuat kita iri? Bisa jadi. Perasaan insecure barangkali dialami mereka yang kita anggap mapan.
Insecure dapat dipahami sebagai perasaan tidak aman yang membuat seseorang merasa gelisah, takut, malu, hingga tidak percaya diri. Kecemasan semacam itu bisa hadir salah satunya karena kita membandingkan pencapaian kita dengan orang lain. Apalagi saat kita menyadari apa yang telah kita capai tidak seperti kebanyakan teman-teman seumuran.
Umur makin bertambah, sementara karir lempang-lempang saja. Gaji pas-pasan atau UMR lebih dikit. Bahkan memikirkan pertanyaan semacam: Kapan bisa beli mobil? Kapan bisa nikah? Bagiamana dengan tanggungan keluarga? Dan seterusnya.
Medsos ini bak lingkaran setan. Sedemikian sistematisnya membuat kita terlalu berfikir amat dalam terhadap sesuatu yang belum atau tidak kita milki. Sebaliknya, bisa juga membuat kita selalu merasa ingin paling bahagia terhadap sesuatu yang sedang kita alami dan miliki.
Lantas, kalian (termasuk saya) buat apa juga mikirin orang-orang yang mau unggah sesuatu di medsos atau story? Apa hidup kalian di dunia nyata kurang asyik?
Pertanyaan terakhir ini bikin saya teringat dan terngiang akan satu kutipan dari seorang kawan. Dalam percakapan sekira tiga bulan lalu, ia mengatakan, “Ketika kau terlalu asyik di dunia nyata, kau ga akan punya akun Instagram”. Saya langsung menelan air liur sendiri setelah mendengar ceplosannya itu.
Sudah bisa diyakini, hidup saya mungkin kurang asyik di dunia nyata? Apa karena profesi saya yang bikin hidup enggak asyik? Profesi wartawan yang saya jalani saat ini kerap disebut suka ikut campur urusan orang lain, tapi sering lupa urusan sendiri.
Sebenarnya, bagi kita yang belum asyik, bisa dicoba tuh untuk sementara waktu mengurangi aktivitas di media sosial, atau mengakhirinya sama sekali. Ya bisa pilih salah satu saja, misal Instagram. Toh, katanya berhenti dari medsos sejenak diyakini bisa mewaraskan kembali pikiran. Kalau istilah ngetrennya saat ini disebut detoks medsos.
Itu merupakan salah satu cara agar kita fokus mengasyikkan diri di dunia nyata. Paling tidak, kita bisa melakukan kegiatan tanpa terdistrak notifikasi apapun dari medsos. Beberapa pesohor tanah air macam Ariel Tatum, Eva Celia, Dinda Kirana dan masih banyak yang lainnya pun mencoba cara ini. Katanya, mereka sepakat ingin fokus menikmati hidup.
Di sisi lain, jika meniadakan akun media sosial terlalu ekstrem, silakan mengurangi. Tetapi, kalau justru beralih ke media sosial lain, apalagi TikTok, siap-siap bertemu Sisca Kohl – TikTokers yang dikenal karena membuat konten soal barang-barang mahal.
Melihat Sisca Kohl yang super tajir, siap-siap saja jiwa-jiwa kismin kalian bergejolak, merasa ngenes kemudian kembali merasa insecure karena umur makin tua dan belum jadi apa-apa.