Sediksi.com – Sejak pandemi COVID-19, banyak orang terpaksa harus bisa beradaptasi dengan situasi yang terjadi. Karena jadi harus mematuhi kebijakan isolasi yang membatasi mobilitas mereka.
Tidak satu hari atau satu bulan, kondisi saat itu penuh ketidakpastian. Termasuk ketidakpastian apakah segala pembatasan mobilitas ini bisa dilonggarkan sehingga kita bisa kembali hidup seperti normal.
Dan benar. Mulai 2023, kebijakan isolasi dan status pandemi sudah dicabut. Seharusnya kehidupan sudah bisa kembali normal seperti yang diharapkan.
Tapi rupanya commute ke kantor menjadi salah satu rutinitas yang terasa lebih berat untuk dilakukan pasca pandemi. Jika kalian merasakan hal tersebut, itu valid.
Dampak psikologis dari commute ke kantor yang berat
Sulit dan beratnya rutinitas commute ke kantor dapat berdampak signifikan terhadap kesehatan mental, menyebabkan stres, kecemasan, dan penurunan kepuasan kerja.
Waktu perjalanan yang lama dapat mengganggu keseimbangan kehidupan kerja dan menyebabkan kelelahan. Ketidakpastian dalam perjalanan juga dapat meningkatkan perasaan kehilangan kendali, yang selanjutnya memperburuk tekanan psikologis.
Diketahui, mereka yang terpaksa harus menghadapi commute ke kantor yang sulit memiliki lebih banyak keluhan dibandingkan sebelumnya.
Menurut sebuah penelitian baru-baru ini, 239 jam yang dihabiskan rata-rata orang Amerika untuk bepergian pada tahun 2022 menandai peningkatan 20 persen dibandingkan angka pada tahun 2019.
Dengan kata lain, rutinitas commute ke kantor yang sudah memberikan dampak buruk bagi individu, kini menjadi lebih buruk dari sebelumnya.
Hilangnya waktu atau habisnya waktu hanya untuk di perjalanan adalah salah satu dampak paling nyata dari sulitnya commute ke kantor. Begitu pula hilangnya uang, termasuk biaya bahan bakar dan perawatan kendaraan yang dimiliki.
Namun rutinitas commute ke kantor juga memiliki dampak psikologis lainnya. Jika kalian menghadapi jenis commute yang sulit, kalian juga tahu betul betapa stresnya hal itu, hanya membayangkan perjalanannya saja sudah cukup untuk membuat stres.
Apa yang mungkin tidak diketahui adalah bahwa stres yang kalian alami selama perjalanan yang sulit dapat menyebabkan efek samping psikologis yang lebih serius, termasuk kecemasan (anxiety) dan depresi.
Bagaimana commute ke kantor menyebabkan anxiety dan depresi
Ketidakpastian dalam perjalanan sehari-hari merupakan salah satu faktor yang dapat memicu kecemasan. Intinya, otak dengan cepat melihat ketidakpastian sebagai bahaya, yang menyebabkan otak mengaktifkan respons waspada sepanjang waktu. Begitu hal itu terjadi, maka timbul anxiety itu.
Perjalanan yang sulit juga dapat memicu kecemasan karena membuat kalian merasa kehilangan kendali.
Overstimulasi adalah faktor lain yang dapat menyebabkan kecemasan, khususnya untuk pengguna transportasi umum.
Masing-masing penyebab tersebut kemudian dikombinasikan dengan kelelahan. Akhirnya anxiety pun semakin betah bertahan.
Jika kecemasan disebabkan oleh ancaman yang dirasakan selama commute, depresi berasal dari rasa kehilangan yang dirasakan. Waktu yang hilang, yang mestinya dapat digunakan untuk melakukan aktivitas yang lebih memuaskan dan bermakna, merupakan salah satu variabel kunci yang dapat menyebabkan depresi pada mereka yang menghadapi perjalanan yang sulit.
Perjalanan yang sulit juga dapat merampas waktu yang diperlukan untuk perawatan diri, yang selanjutnya dapat menyebabkan depresi.
Perusahaan mungkin belum memahami struggle kalian
Kecemasan dan depresi merupakan dua penyebab umum rutinitas commute ke kantor terasa lebih sulit dari sebelumnya. Tapi tanpa campur tangan pihak perusahaan untuk mengatasi situasi ini, bisa menyebabkan dampak yang signifikan jika terjadi dalam jumlah yang banyak.
Bagaimana perusahaan akan membantu jika mereka saja tidak tahu struggle yang kalian hadapi ini?
Maka dari itu, menyadari realitas permasalahan ini adalah langkah pertama bagi organisasi yang ingin mengurangi dampak negatif dari sulitnya commute ke kantor. Sebab aktivitas bepergian ini tidak hanya merupakan tantangan logistik, namun juga dapat menjadi tantangan bagi kesehatan kita.
Beberapa penelitian juga menunjukkan peningkatan tingkat stres dapat berkontribusi pada peningkatan risiko tekanan darah tinggi, yang dapat menyebabkan serangan jantung atau stroke.