Sediksi.com – Bagi Indonesia, tanggal 30 September akan selalu diingat untuk memperingati peristiwa Gerakan 30 September (G30S) yang terjadi di tahun 1965.
Pada tanggal dan tahun tersebut, terjadi penculikan dan pembunuhan terhadap enam jenderal Indonesia.
Peristiwa Gerakan 30 September 1965
Partai Komunis Indonesia (PKI) dituduh sebagai dalang dari pembunuhan tersebut. Padahal keenam jenderal tersebut dibunuh oleh sekelompok anggota tentara yang menyebut diri mereka sebagai G30S.
Pembunuhan dan penculikan tersebut diklaim dengan tujuan untuk mencegah kudeta terhadap Soekarno selaku presiden masa itu. Agar PKI dengan paham komunisme mereka kehilangan kesempatan dalam menguasai Indonesia.
Soeharto diangkat sebagai presiden Indonesia pada 26 Maret 1968, yang mengantarkannya menjadi presiden Indonesia kedua.
Soeharto juga seorang jenderal ketika peristiwa pembunuhan terhadap enam jenderal itu terjadi pada 30 September 1965.
Tapi mengapa ia tidak menjadi target penculikan dan pembunuhan seperti jenderal yang lainnya?
Sementara ada satu lagi jenderal yang menjadi target pembunuhan tapi berhasil melarikan diri dari upaya penculikan tersebut, yaitu Jenderal Nasution.
Tapi lagi-lagi, mengapa Soeharto tidak menjadi target dari peristiwa ini? Di mana Soeharto saat kejadian tersebut berlangsung?
Soeharto berada di RSPAD Gatot Subroto
Dalam autobiografi Soeharto yang ditulis oleh G. Dwipayana dan Ramadhan K.H. “Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya”, ia menyampaikan sendiri di mana ia berada pada saat kejadian tersebut berlangsung.
Soeharto mengaku berada di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto pada 30 September 1965 dari pukul 9 malam hingga kira-kira pukul 00.15 WIB.
Alasan Soeharto berada di rumah sakit adalah untuk menengok dan merawat Tommy Soeharto, anaknya yang saat itu berusia 4 tahun akibat ketumpahan kuah sup panas.
Di rumah sakit tersebut, ia tidak menjaga anaknya sendirian. Soeharto bersama Siti Hartinah, istrinya.
Soeharto lalu meninggalkan rumah sakit pada tengah malam karena istrinya memintanya menemani putri bungsu mereka yang masih berusia 1 tahun, Mamik, di rumah mereka yang terletak di Jalan Haji Agus Salim.
“Kira-kira pukul sepuluh malam saya sempat menyaksikan Kolonel Latief berjalan di depan zaal tempat Tomy dirawat,” begitu pernyataan Soeharto dalam buku tersebut di bab “Mengatasi ‘G.30.S/PKI’”.
Kolonel Latief ini bernama lengkap Abdul Latief, seorang tentara yang awalnya menjadi saksi dari peristiwa G30S. Kemudian dituduh terlibat hingga ditangkap atas dugaan tersebut pada pada 2 Oktober 1965.
Ia lalu dihukum karena terlibat dalam peristiwa ini. Dipenjara dari 11 Oktober 1965, dan dibebaskan pada 25 Maret 1999 setelah Soeharto lengser dari posisinya sebagai presiden Indonesia yang masa jabatannya berlangsung selama 30 tahun.
Alasan Soeharto tidak diculik
Dari ketujuh jenderal yang menjadi target penculikan dan pembunuhan, Soeharto yang saat itu juga masih menjabat sebagai jenderal bukan salah satu target kelompok ini.
Soeharto menjabat sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) atau Pangkostrad berpangkat mayor jenderal.
Alasannya, karena Soeharto dianggap setia atau loyal kepada Soekarno.
Kelompok tentara ini memang bermaksud membunuh jenderal-jenderal yang tidak loyal kepada Soekarno demi mempertahankan kekuasaan mereka dan agar Indonesia tidak jatuh ke tangan penganut paham komunisme.
Alasan ini disampaikan oleh Kolonel Latief dalam “Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan, dan Petualang” karya Julius Pour yang diterbitkan pada tahun 2010.
“… karena kami anggap Jenderal Soeharto loyalis Bung Karno, maka tidak kami jadikan sasaran,” kata Latief dikutip dari buku tersebut.
Kontradiksi pengakuan Soeharto terkait kasus pembunuhan terhadap enam jenderal
Masih dalam autobiografi karya G. Dwipayana dan Ramadhan K.H., Soeharto mengaku tidak bertemu dengan Kolonel Latief di RSPAD malam itu.
Namun pernyataan ini berbeda dengan yang ia sampaikan pada Der Spiegel, media Jerman pada 1970 yang mengatakan bahwa mereka bertemu di RSPAD Gatot Subroto pada malam hari di tanggal 30 September 1965 itu.
Dalam keterangannya, Soeharto juga mengatakan Kolonel Latief tidak memberinya informasi apapun dan justru berniat membunuhnya saat itu juga.
Sedangkan dari penjelasan Kolonel Latief sendiri dalam “Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto” karya John Roosa, ia bersaksi sudah memberi tahu Soeharto tentang rencana penculikan sejumlah jenderal.
Menurut Kolonel Latief setelah melaporkan informasi ini, Soeharto tidak memberikan reaksi sama sekali.
“Dengan laporan saya ini, berarti saya mendapat bantuan moril, karena tidak ada reaksi dari beliau,” ucapnya dikutip dalam buku tersebut.