Sediksi – Krisis iklim adalah hal nyata ada di depan mata kita. Global Climate Strike, sebuah gerakan global yang mengangkat permasalahan seputar perubahan iklim. Gerakan yang diinisiasi dan dikelola oleh anak muda ini juga diadakan di Malang.
Sabtu (16/09) puluhan massa yang terkumpul dari berbagai kalangan mulai dari mahasiswa, pekerja, pelajar, warga atau siapapun yang peduli akan perubahan iklim utamanya ini menggelar aksi kepedulian tentang lingkungan.
Diawali dari long march dari titik kumpul stadion Gajayana menuju Bundaran tugu Balai Kota Malang dengan berbagai atribut seperti poster, spanduk sebagai sarana mereka menyampaikan keresahan soal krisis iklim yang dialami saat ini.
Ada jargon yang mereka teriakkan dalam aksi tersebut, dengan semangat mereka meneriakkan “Pukul! Mundur! Krisis! Iklim!!” jelas ini adalah pesan kepada semua untuk sadar akan krisis iklim yang sedang kita hadapi saat ini.
Tujuan dari Global Climate Strike Malang
Menurut Raka Nauval, narahubung dari Global Climate Strike Malang, acara ini memang untuk merayakan Global Climate Strike “Di sini kita merayakan Global Climate Strike, dan sebenernya di Indonesia pun diadakan di beberapa kota salah satunya di Malang ini” ucapnya saat diwawancarai ditempat.
Lebih lanjut, Raka mengatakan kalau di Malang ini mereka ingin menaikkan cerita-cerita atau isu warga soal lingkungan yang ada di daerah Jawa Timur sendiri.
Ia mengatakan, gerakan ini adalah gerakan kolektif dari anak-anak yang tergabung dalam Bumi Butuh Aksi. Mereka adalah jejaring orang-orang yang peduli akan isu lingkungan utamanya ancaman krisis iklim ini.
Isu yang Diangkat
Tak hanya aksi, Global Climate Strike Malang ini setelahnya juga mengadakan pertunjukan seni diskusi, dan nobar film bersama dengan tema lingkungan yang diadakan di So! Boutique Hostel Malang.
Dalam diskusi tersebut mengangkat sejumlah isu lingkungan yang penting di Jawa Timur, dari Malang sendiri ada permasalahan yang diangkat dari desa Jabung, Kabupaten Malang, yakni pembangunan pembangkit panas bumi yang bermasalah bagi sumber air waga.
Lalu mengundang juga warga dari daerah lain yakni Mengare Gresik, daerah pesisir utara Jawa Timur tentang permasalahan kenaikan muka air laut yang berdampak bagi warga sekitar.
Tak luput, permasalahan limbah B3 juga disorot dengan mengundang warga Lakardowo yang selama setidaknya 10 tahun ini atau lebih mereka berjuang melawan PT PRIA yang diduga sebagai pihak utama yang melakukan pemimbunan limbah B3 dan menimbulkan krisis air di sana.
Cerita Warga Soal Pejuangan Mereka Melawan Perusak Alam!
Dalam diskusi semua yang berkumpul saling cerita soal keresahan mereka masing-masing soal krisis iklim. Dalam diskusi ini dihadiri sendiri dari warga yang diangkat isunya, salah satunya yang hadir adalah Ibu Sutamah
Ibu Sutamah sendiri adalah seorang warga dari Lakardowo yang ikut langsung dan terjun dari awal mengawal permasalahan di desanya itu.
Permasalahan yang menimpa Lakardowo adalah kualitas udara yang memburuk akibat kegiatan pembakaran limbah di pabrik dan krisis air bersih yang sudah dialami sekitar tahun 2014 yang mulai timbul beberapa warga yang mengalami penyakit kulit akibat menggunakan air sumur untuk keseharian mereka.
Hal ini diduga karena aktivitas penimbunan limbah yang dilakukan oleh PT PRIA, perusahaan ini didirikan sejak tahun 2010 .
Perusahaan ini sebenarnya adalah perusahaan yang bergerak di bidang jasa pengangkutan, pemanfaatan limbah dan pengolahan limbah B3, khususnya pengolahan limbah B3 medis yang akan diubah menjadi batako dan kertas.
Ia juga menceritakan dirinya dan warga Lakardowo yang berjuang mati-matian mulai dari aksi protes, minta keadilan ke tingkat pemerintahan desa sampai nasional belum juga menemui jalan terang sampai sekarang.
Tak jarang ia dan warga kerap diintimidasi dan bahkan sampai kekerasan menimpa warga saat melakukan aksi penolakan ke pabrik atas penimbunan limbah B3 tersebut.
Salah satu peserta diskusi bertanya lebih lanjut mengenai aksi kekerasan yang menimpa dirinya dan warga ini.
Ibu Sutamah pun menjawab bahwa saat 2016 dulu saat warga memulai aksi penghadangan beberapa kendaraan PT, mereka (warga) pada akhirnya dibubarkan secara paksa oleh pihak kepolisian, dan parahnya dengan kekerasan yang berujung beberapa warga dilarikan ke Puskesmas Jetis untuk dilakukan perawatan.
Saat meminta hasil visum untuk bukti kekerasan, pihak puskesmas bersikeras menolak memberikan dengan alasan harus minta izin dulu ke Polsek Jetis untuk mendapat surat izin, namun pada akhirnya tidak diberikan izin.
Isu lingkungan lainnya yang diangkat seperti yang telah disebutkan di atas ada dari daerah pesisir utara Jawa Timur, Megare, Gresik. Mereka juga mengalami persoalan serius terkait laju abrasi yang terjadi setidaknya dalam 15 tahun terakhir.
Mengutip dari suarajatim, menurut Farikhah seorang pemerhati lingkungan dari Universitas Muhammadiyah Gresik, selama 15 tahun laju abrasi mencapai 5 kilometer.
Dampak dari abrasi itu mengakibatkan Gresik sering mengalami banjir rob di kawasan perisir dan merusak ratusan hektar area tambak dan pemukiman warga.
Dari Malang sendiri yang diangkat adalah dari Jabung, di mana di sana rencananya akan dibangun Geotermal. Ketakutan dari warga sendiri atau yang diresahkan adalah ketika dibangun Geotermal ini dan dioperasikan ditakutkan akan mengancam kelangsungan sumber air warga.
Jika berkaca dari daerah lain, pembangunan energi dari panas bumi juga sering mengalami penolakan dari warga sekitar, alasan utamanya memang masalah lingkungan.