Ikonoklasme adalah pemusnahan terhadap simbol-simbol tertentu. Umumnya berupa logo atau gambar. Istilah ini pertama kali ditemukan pada 726 Masehi, ketika Kaisar Byzantium Leo III berdiri dengan angkuh dan melakukan penghapusan simbol-simbol yang terasosiasi dengan gereja-gereja kristen ortodoks. Lantas, selama satu abad ke depan, Byzantium jatuh ke dalam konflik internal gara-gara urusan simbol dan lambang.
Galen Tsongas, dalam jurnal penelitiannya, mencurigai bahwa pelaku ikonoklasme berasal dari mereka yang membawa ideologi-ideologi utopis. Penghancuran fisik terhadap benda-benda dengan relasi terhadap sebuah identitas sosial, dianggap sebagai penghapusan terhadap makna-makna yang terkandung di dalamnya.
Cara destruktif dan barbar seperti ini dapat diartikan sebagai ketidakmampuan untuk menawarkan ideologi atau identitas yang mereka bawa dalam menandingi makna-makna-makna yang melekat pada objek penghancuran.
Allen dan Greenberger berargumentasi bahwa tindakan ikonoklasme tak ubahnya seperti aksi vandalisme. Tujuannya adalah meneguhkan identitas sosial. Meski demikian, Rambelli dan Remmers juga berpendapat bahwa penghancuran terhadap objek atau gambar tertentu sebenarnya tidak hanya bersifat destruktif, namun juga konstruktif: dimana hal itu akan menciptakan ceruk kosong agar dapat diisi dengan identitas sosial yang baru.
Salah satu contoh bentuk ikonoklasme adalah tindakan ISIS pada 2015 silam, ketika dalam sebuah video, ISIS melakukan penghancuran terhadap artifak-artifak kebudayaan di Museum Mosul, Irak. ISIS mengklaim bahwa hal ini adalah bentuk ‘penegakan tauhid’ yang mencegah adanya penyembahan berhala.
Seperti sebelum-sebelumnya, tindakan ISIS tersebut merupakan pengejawantahan atas apa yang mereka percayai sebagai dunia ideal. Pandangan ini tidak dapat dilepaskan dari pandangan kaum takfiri seperti yang diungkapkan Maulana Abdul A’wa Maududi, yaitu untuk mengeliminasi apapun yang disebut sebagai ‘jahiliyah modern.’
Represi dan ancaman penghancuran terhadap pembangunan patung Jendral Guan Yu di Tuban pada 2017 lalu, misalnya, yang dapat dimaknai sebagai bentuk peneguhan terhadap identitas mayoritas sekaligus penolakan identitas lain.
Penurunan patung Buddha di Tanjung Balai pada 2016 silam juga. Karena dianggap menggangu proses ibadah lantaran ketika salat, masyarakat terpaksa menghadap patung tersebut. Ada juga kasus dimana Patung Tiga Mojang yang dibongkar oleh masyarakat dan ulama lokal karena dinilai melukai parasaan masyarakat islam.
Jika dikaji lebih dalam, aksi serupa ikonoklasme juga tampak pada penghancuran dan pelenyapan karya tangan manusia, yang dapat pula disebut sebagai produk kebudayaan. Seperti karya seni, buku, maupun film.
Baca Juga: Toko Buku Terbesar yang Melanggengkan Logika Mistika
Sebut saja praktik pemusnahan buku atau dikenal juga librisida. Aksi ini terjadi sejak 4000 tahun sebelum masehi, dimana bangsa Sumer telah melakukan pemusnahan terhadap tablet-tablet tanah liat. Begitu juga pada 213 SM, pemusnahan buku dilakukan oleh Hao Zheng. Contoh kasus lainnya, adalah pembakaran massal oleh Nazi pada 1933.
Di Indonesia, sejarah mencatat pembakaran sepuluh ton bacaan pada 1972 berupa buku, majalah, selebaran, dan pamflet yang dituduh memiliki kaitan dengan komunisme, pemusnahan ratusan jilid buku karya Yoshihara Kunio berjudul “Kapitalisme Semu Asia Tenggara” pada 1992, serta pembakaran buku terjemahan ‘5 Kota Paling Berpengaruh di Dunia’ terbitan Gramedia yang disaksikan oleh Ma’ruf Amin beserta tiga pengurus MUI yang lain pada 2012 lalu.
Bahkan baru-baru ini, sebelum masa pandemi berlangsung, penyitaan buku yang terjadi di berbagai kota, seperti Kediri, Padang, hingga Probolinggo pada 2019 lalu juga menjadi sorotan. Target penyitaan adalah buku-buku yang diduga berhaluan kiri. Buku-buku tersebut dianggap meresahkan masyarakat. Penyitaan dilakukan dengan alasan agar dikaji dan diteliti lebih lanjut oleh kepolisian dan MUI.
Lucunya, kerap kali, buku-buku ‘tak berdosa’ ikut tersita. Salah satunya adalah buku “Benturan NU-PKI 1948-1965” terbitan PBNU. Ini sebuah kelucuan hakiki, dimana aparat bersama MUI justru menyita buku terbitan PBNU. Apakah dengan begitu, negara ini menyatakan bahwa PBNU itu identik dengan komunis?
Baca Juga: Komunisme, PKI dan Syahrini, Siapa yang Lebih Berbahaya?
Salah duanya, buku-buku karya Franz Magnis Suseno yang isinya mengritik pemikiran komunis. Lantas apa itu berarti komunisme sama mulianya dengan pak presiden, sampai-sampai masyarakat dilarang membaca buku-buku berisi kritik terhadapnya?
Tentu bukan itu artinya, karena arti dari penyitaan keduanya, lebih indah bila disebut dengan ‘salah target’. Dan tentu penyitaan ‘salah target’ menunjukkan bahwa apa yang dilakukan aparat ataupun ormas tidak berfokus pada isi atau ide-ide yang dimuat. Melainkan pada ‘bentuk’ bukunya. Dengan kata lain, buku dilihat sebagai identitas simbolik: selama ada warna merah dan ada kata ‘kiri’ pada judulnya, buku dibaca sebagai ‘barang haram.’
Seperti halnya patung, lukisan, buku, bahkan film, objek-objek itu tidak dilihat sebagai sesuatu yang mandiri. Namun dilihat sebagai perwakilan dari sebuah identitas. Misalnya pada pembubaran diskusi film ‘Senyap’ di penghujung 2014 di Malang yang dibubarkan oleh Kodim, Kepolisian, dan warga karena dituduh berbau kiri dan diprakarsai oleh keluarga PKI. Setali tiga uang dengan pembubaran diskusi film ‘Senyap’ di tiga tempat di Jogja: ISI, UGM, dan Sleman pada tahun yang sama.
Jika dilihat lebih dekat, ada pola yang sama. Yaitu, tidak adanya dialog yang setara antar pihak yang berselisih. Hal ini disebabkan karena pemaknaan atas produk-produk budaya tersebut dimaknai secara sepihak: dimonopoli oleh mereka yang lebih kuat, dalam hal apapun. Bahasa salah satunya. Masih ingat soal pelarangan penggunaan kata ‘anjay’ oleh Komnas Perlindungan Anak pada Agustus silam?
Menurut Barthes, dalam semiologi, bahasa tidak dikembangkan oleh masyarakat luas yang menggunakan bahasa, namun justru oleh kelompok-kelompok yang sudah ditentukan. Kelompok itu pada dasarnya berada di pusat sistem kemasyarakatan dan biasanya adalah para teknokrat –sekelompok cendekiawan elit yang berada di pemerintahan- yang terkualifikasi dengan ketat.
Akibatnya, saat setiap patung dimaknai sebagai berhala sesembahan, buku ‘kiri’ diasosiasikan sebagai PKI, dan film bertema kerakyatan dituduh ‘meresahkan,’ satu hal yang kita ketahui: Pemaknaan atas sebuah simbol bukanlah milik semua orang. Namun, monopoli dari sebagian kecil orang saja yang memiliki daya tawar tinggi.
Begitulah cara kerja ikonoklasme. Dan begitulah, cara pandang masyarakat terhadap produk kebudayaan: semata-mata simbol identitas. Pada akhirnya, kebudayaan kehilangan makna.