Sediksi.com – Intifada atau Intifadah merupakan gerakan perlawanan Palestina terhadap penindasan Israel. Upaya perlawanan yang tercatat dalam sejarah ada dua.
Upaya perlawanan pertama terjadi pada 9 Desember 1987 yang disebut sebagai Intifada Pertama.
Sedangkan Intifada Kedua atau Intifadah al-Aqsha terjadi pada 28 September 2000.
Adanya serangan kelompok Hamas terhadap Israel yang terjadi pada Sabtu, 7 Oktober 2023 ini diasumsikan mungkin menjadi Intifada ketiga.
Dalam serangan tersebut, lebih dari 900 orang tewas di Israel, termasuk warga asing yang menghadiri festival musik ketika kelompok Hamas menargetkan serangan ke mereka.
Atas serangan tersebut, Israel kemudian melakukan serangan balik pada Senin, 9 Oktober 2023, terhadap warga Palestina yang tinggal di Jalur Gaza hingga menewaskan lebih dari 500 orang.
Intifada Pertama
Intifada juga umum disebut intifadah, berasal dari bahasa Arab yang berarti “melepaskan diri”.
Intifada Pertama ini dimulai sejak 9 Desember 1987 dan berakhir pada 13 September 1993.
Penyebab munculnya gerakan Intifada Pertama ini adalah pengambilalihan wilayah secara paksa oleh Israel.
Serta pembangunan pemukiman di Tepi Barat dan Jalur Gaza setelah Likud, partai sayap kanan Israel memenangkan Pemilihan Umum (Pemilu) pada tahun 1977.
Eskalasi konflik juga disebabkan oleh represi Israel terhadap Palestina yang tidak menolak invasi Israel di Lebanon pada 1982.
Di tengah situasi yang terus memanas, peran Palestine Liberation Organization (PLO) semakin kuat sebagai perwakilan resmi Palestina yang diakui secara internasional.
Sedangkan PLO ini merupakan organisasi yang didirikan pada 28 Mei 1964 oleh Liga Arab, organisasi kawasan Timur Tengah dan sebagian negara di Afrika.
Melansir dari Al Jazeera, Intifada Pertama yang berlangsung enam tahun dari 1987–1993 menyebabkan lebih dari 1.300 warga Palestina terbunuh, 120.000 lainnya mengalami luka-luka, dan 600.000 dari mereka dipenjara.
Sedangkan total orang Israel yang terbunuh menurut pernyataan resmi pihak Israel adalah 200.
Perlawanan ini berakhir setelah adanya Konferensi Madrid tahun 1991. Namun lebih banyak sumber yang menyimpulkan Intifada Pertama ini berakhir pada tahun 1993 setelah penandatanganan Perjanjian Oslo.
Intifada Kedua
Intifada Kedua juga bisa disebut sebagai Intifadah al-Aqsha dimulai sejak 28 September 2000 dan berakhir pada 8 Februari 2005.
Meskipun tidak ada satu aspek signifikan yang diakui menjadi penyebab Intifada Kedua berakhir, kebanyakan analis setuju bahwa gelombang perlawanan Palestina terhadap kependudukan Israel kedua ini berakhir pada tahun 2005.
Di samping itu, banyak juga yang menganggap Sharm el-Sheikh Summit di tahun 2005 menjadi penanda berakhirnya Intifada Kedua.
Disebut Intifadah al-Aqsha karena Ariel Sharon, kandidat Perdana Menteri (PM) Israel saat itu yang dibawa oleh Partai Likud mengunjungi Gunung Kuil di Yerusalem sebagai penegasan kedaulatan Israel atas Masjid al-Aqsha, salah satu situs paling suci bagi umat Islam.
Akibat dari upaya ini, kerusuhan pun terjadi. Pasukan polisi Israel juga melakukan perlawanan dengan kekuatan yang mematikan. Pihak Palestina juga terus berusaha membela diri.
Sehingga, dengan ini Intifada Kedua pun dimulai. Dan dengan tindakan Israel tersebut, dinilai telah melanggar Perjanjian Oslo.
Gelombang perlawanan kedua ini dikenal lebih brutal dari sebelumnya.
Perbandingan antara korban tewas Palestina dan Israel dari perlawanan yang berlangsung selama lima tahun juga cukup jauh, sedikit lebih dari 3:1.
Lebih dari 3.000 warga Palestina tewas selama Intifada al-Aqsha. Sedangkan warga Israel yang terbunuh mencapai 1.000. Jumlah warga asing yang ikut terbunuh dalam peristiwa ini ada 64 orang.
Pada gelombang kedua ini, juga terjadi bom bunuh diri pada Maret 2002 yang ikut menewaskan 30 orang lainnya. Atas tindakan ini, tentara Israel kemudian meluncurkan operasi untuk kembali menduduki Tepi Barat dan sebagian wilayah di Gaza.
Israel juga berupaya menekan perlawanan dari Palestina dengan membunuh lebih dari 200 orang yang merupakan pihak militer dan pemimpin politik Palestina.
Di akhir tahun 2005, angka kekerasan yang terjadi semakin menurun. Tetapi, kependudukan Israel di Tepi Barat semakin meningkat dan menguat.
Sehingga banyak warga Palestina yang terpaksa bermigrasi atau mendapat tindak kekerasan dari Israel.
Di sisi lain, pihak berwenang Palestina juga semakin lemah dengan semakin berkurangnya warga Palestina yang bisa membela negara, dan meningkatnya angka korupsi.
Ketidakstabilan Palestina yang tidak kunjung membaik ini kemudian menyebabkan banyak warga Palestina mendukung kelompok Hamas, kelompok yang mendukung pembebasan rakyat Palestina dari Israel.
Kelompok ini juga telah memenangkan pemilihan legislatif tahun 2006 dan mengambil alih kekuasaan Gaza dari PLO di tahun berikutnya.