Sediksi.com – Saint Porphyrius bukan hanya gereja tertua yang ada di Gaza, tapi juga menjadi tempat perlindungan bagi banyak penduduk Gaza dari serangan Israel.
Serangan itu menyebabkan “sejumlah besar pejuang Palestina terluka” di kompleks Gereja Ortodoks Yunani Saint Porphyrius di Kota Gaza, kata pihak kementerian Palestina pada Kamis malam (19/10).
Adapun kerusakan yang dialami gereja dari serangan tersebut adalah bagian luar dan serangan tersebut juga menyebabkan runtuhnya gedung-gedung di sekitarnya.
Hingga hari Jumat pukul 1 siang waktu setempat, total korban tewas dari serangan ini sudah mencapai 18 orang.
Saint Porphyrius, gereja tempat berlindung dari serangan Israel bagi semua yang kehilangan tempat tinggal
Konvensi Den Haag dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sudah mengatur kebijakan melarang penyerangan terhadap tempat ibadah.
PBB mencantumkan aturan tersebut dalam bagian 6.6 buletin Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB pada tahun 1999. Sedangkan Konvensi Den Haag menyebutkan hal serupa dalam Pasal 53 Tambahan Protokol I pada tahun 1977.
Tetapi, Israel melanggar peraturan tersebut setelah melakukan serangan udara ke gereja tertua di Kota Gaza pada Kamis, 19 Oktober 2023.
Pihak militer Israel juga sudah mengonfirmasi bahwa ledakan yang terjadi di gereja tersebut berasal dari salah satu serangan udara yang mereka.
Sejak konflik Israel-Palestina mengalami eskalasi, gereja ini turut menjadi salah satu tempat perlindungan setelah banyak dari penduduk Gaza kehilangan rumah yang sudah rata dengan tanah akibat serangan Israel.
Tidak hanya penduduk Palestina beragama Kristen yang berlindung di gereja ini, tapi juga umat Muslim.
Salah satu warga Palestina yang mengungsi ke gereja ini setelah rumahnya hancur karena serangan Israel sempat diwawancarai pada 16 Oktober 2023 oleh Al Jazeera.
“Meskipun kami bisa menjalani aktivitas ketika hari masih terang dengan aman, tapi tidak satu pun yakin apakah keamanan itu bisa bertahan sampai malam,” ucap Walaa Sobeh, salah satu pengungsi di gereja tersebut.
Ia juga menyebutkan menerima “dukungan yang sangat besar dari para pendeta dan orang lainnya di gereja secara sukarela tanpa kenal lelah, sepanjang waktu membantu keluarga-keluarga yang kehilangan tempat tinggal.”
Al Jazeera juga mewawancarai seorang pendeta pada tanggal yang sama, tiga hari sebelum serangan Israel.
“Militer Israel telah mengebom banyak tempat suci,” kata Pastor Elias, seorang pendeta di Saint Porphyrius.
Lalu ia melanjutkan bahwa dirinya “tidak yakin Israel tidak akan mengebom gereja ini.”
Gereja tertua dan paling besar di Kota Gaza
Saint Porphyrius merupakan gereja tertua di Kota Gaza, paling besar, dan juga masih aktif digunakan hingga saat ini.
Gereja ini dibangun antara tahun 1150-an dan 1160-an. Dan namanya diambil dari nama uskup Gaza pada abad ke-5, Saint Porphyrius.
Karena Saint Porphyrius atau Santo Porphyrius memiliki tempat khusus di hati umat Kristen, khususnya penduduk Palestina, karena ia adalah pejuang agama politeistik yang memiliki pengikut di seluruh Gaza dan Levant.
Eskalasi konflik Israel-Palestina dimana Israel terus melakukan serangan yang menargetkan pemukiman warga sipil di Jalur Gaza.
Menyebabkan gereja tertua yang mestinya dilindungi karena nilai sejarahnya ini tidak luput digunakan untuk menjadi tempat perlindungan bagi ratusan warga Palestina yang kehilangan rumahnya akibat serangan Israel.
Di Gaza, hanya ada tiga gereja Kristen. Selain Saint Porphyrius, ada Gereja Baptis yang menjadi satu-satunya untuk umat Protestan.
Yang terakhir adalah Gereja Keluarga Kudus, juga satu-satunya gereja Katolik yang ada di Jalur Gaza.
Pada Mei 2023, Mohammad Shtayyeh, Perdana Menteri (PM) Palestina sudah meminta United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) untuk menekan Israel agar menghentikan pembangunan pemukiman mereka di dekat desa bersejarah Sebastia di Nablus.
UNESCO ini merupakan salah satu badan PBB yang salah satunya fokus pada pelestarian situs-situs kebudayaan, termasuk bangunan dan wilayah bersejarah.
Sehingga ketika Shtayyeh menyampaikan permintaan ini kepada UNESCO, harapannya UNESCO bertindak.
Dengan menghentikan pembangunan pemukiman Israel di dekat Sebastia, maka situs bersejarah lainnya akan aman. Termasuk gereja Saint Porphyrius yang letaknya tidak jauh dari pemukiman tersebut.