Mencari psikolog/psikiater yang cocok memanglah hal yang sangat tricky dan sungguh sulit. Akan tetapi, yang lebih meresahkan bagi saya bukan hanya soal ketidakcocokan, tetapi juga beberapa psikolog/psikiater yang saya temui justru (maaf) malah memperparah keadaan.
Dilema antara pengucapan /f/, /v/, dan /p/ ini pada akhirnya lebih dari sekadar masalah linguistik. Hal ini juga berkaitan erat dengan identitas budaya dan perasaan inferioritas (insecurity) bahasa daerah di hadapan bahasa nasional atau bahasa internasional.
Kita harus memastikan dulu kalau lawan bicara mengerti, seolah kita tidak bisa membaca konteks, gestur dan mimik wajah, energi timbal balik, atau respon-respon non-verbal lainnya. Pokoknya, dia harus menjawab dulu baru kita mengerti.
Skincare dan makeup seharusnya menjadi sumber kesenangan, bukan kebutuhan yang menciptakan tekanan psikologis dan membebani keadaan finansial. Keduanya bertujuan membuat penggunanya memiliki kulit sehat dan merasa senang.
Romantisme menua di desa seperti yang diidam-idamkan banyak orang, menurut saya, perlu sedikit dibenahi, atau lebih tepatnya dispesifikkan. Bukan lagi “menua di desa adalah hal yang menyenangkan” tetapi “menua di desa adalah hal yang menyenangkan, jika Anda kaya.”
Harus diakui bahwa kehidupan interaktif di dunia maya memang begitu mengasyikkan. Namun, keasyikan tersebut tidak terbawa dalam interaksi di dunia nyata.
Panggilan ‘papa’ atau ‘ayah’ memiliki konsekuensi kelas atau status sosial yang, disadari atau tidak, meletakkan sosok lelaki kepala keluarga pada singgasana pegawai kantoran atau pekerja yang sering melakukan perjalanan dinas. Sebab, akan terasa janggal kalau ‘papa’ atau ‘ayah’ pergi ngramban.
Meskipun tak dapat dipungkiri bahwa negara atau korporasi dapat menjadi momok bagi kesejahteraan petani, ada faktor lain yang juga tak kalah penting untuk dicermati dalam melihat persoalan ini.