Anomali Bahasa dan Hiperkoreksi Orang Sunda

Anomali Bahasa dan Hiperkoreksi Orang Sunda

Anomali Bahasa dan Hiperkoreksi Orang Sunda
Ilustrasi oleh Ahmad Yani Ali

Dilema antara pengucapan /f/, /v/, dan /p/ ini pada akhirnya lebih dari sekadar masalah linguistik. Hal ini juga berkaitan erat dengan identitas budaya dan perasaan inferioritas (insecurity) bahasa daerah di hadapan bahasa nasional atau bahasa internasional.

“Siapa bilang orang Sunda gak bisa ngomong /f/? Itu pitnah!”

Kita pasti pernah mendengar guyonan klasik semacam itu terkait orang Sunda yang kesulitan dalam membedakan pengucapan /f/, /v/, atau /p/.

Tetapi, di balik lelucon tersebut, ada suatu fenomena linguistik menarik yang melibatkan sejarah bahasa, kebudayaan, hingga cara kerja otak dalam memproses bahasa.

Mengapa orang Sunda cenderung susah membedakan pengucapan tiga huruf itu? Apakah ini semata-mata masalah keseleo lidah, atau ada sesuatu yang lebih rumit di baliknya?

Baca Juga: Rekognisi Seniman (terhadap dan oleh) Daerah

Sejarah Singkat Aksara Sunda: Dari Lontar hingga Unicode

Sebelum lebih jauh membahas fenomena anomali bahasa ini, kita perlu sedikit menengok terkait sejarah aksara Sunda. Sebagai salah satu peradaban yang mempunyai tradisi tulisan yang cukup panjang, orang Sunda sudah mengenal sistem aksara jauh sebelum huruf Latin merajai Nusantara.

Aksara Sunda kuno pertama kali muncul pada abad ke-14 di berbagai prasasti dan naskah lontar yang digunakan oleh kerajaan-kerajaan di Jawa Barat. Bentuknya sendiri cukup unik, menyerupai aksara Jawa. Namun, terdapat beberapa perbedaan yang cukup signifikan, terutama dalam bunyi huruf-huruf tertentu.

Seiring masuknya pengaruh Islam dan kolonialisme Belanda, aksara Sunda mulai tersingkir dan digantikan oleh huruf Latin. Pada abad ke-19, aksara Sunda nyaris punah dan hanya tersisa dalam naskah-naskah tua yang diarsipkan.

Upaya pelestarian baru muncul kembali di akhir abad ke-20, terutama dengan masuknya aksara Sunda ke dalam sistem Unicode pada tahun 2008. Ini memberi aksara Sunda peluang untuk kembali hidup, meski masih terbatas pada akademisi, penggiat budaya, dan desainer font digital.

Hal menarik dari aksara Sunda adalah ketiadaan fonem /f/ dan /v/ di dalamnya. Sistem aksara ini memang didesain untuk bahasa Sunda kuno yang tidak mengenal bunyi-bunyi tersebut.

Fonem-fonem ini sendiri baru masuk ke dalam bahasa Sunda modern melalui serapan dari bahasa-bahasa asing, seperti Arab, Inggris, ataupun Indonesia.

Anomali Bahasa

Lantas, mengapa orang Sunda sering kesulitan mengucapkan huruf /f/ dan /v/? Fenomena ini sebenarnya bukan hanya terjadi pada orang Sunda.

Dalam kajian linguistik, ada istilah yang dikenal dengan phonological gaps—yaitu, kekosongan bunyi tertentu dalam suatu bahasa. Bahasa Sunda, pada dasarnya, tidak memiliki bunyi /f/ dan /v/ dalam sistem fonetisnya.

Jadi, ketika bahasa Sunda harus meminjam kata dari bahasa asing yang mengandung bunyi-bunyi tersebut, terjadi apa yang disebut sebagai substitution (pergantian bunyi asing dengan bunyi yang lebih familiar).

Dilansir dari detik.com, ketua Kelompok Studi Budaya Sunda ‘Rawayan’, Agustin Purnawan, menjelaskan bahwa kesulitan orang Sunda dalam melafalkan /f/ dan /v/ sebenarnya hanya perihal kebiasaan saja, bukan mutlak tidak bisa.

Menurutnya, ini berkaitan dengan literasi tulisan dan lisan yang tidak mengenal huruf-huruf tersebut. Meskipun beberapa orang Sunda dapat melafalkannya dengan baik, terutama mereka yang belajar bahasa Arab atau Quran, banyak juga yang tetap menggunakan /p/ untuk menggantikan /f/ dan /v/ dalam penggunaan sehari-hari.

Sebagai contoh, kata “fitnah” (yang berasal dari bahasa Arab “الفتنة”) lebih lazim diucapkan “pitnah”. Orang Sunda biasa menggantinya dengan bunyi /p/ karena lebih dekat dengan bunyi-bunyi asli dalam bahasa Sunda.

Proses substitusi ini menjadi salah satu anomali linguistik yang sering muncul di berbagai bahasa di dunia, terutama dalam konteks bahasa-bahasa yang tidak memiliki bunyi serapan dari luar.

Sebaliknya, ketika orang Sunda berusaha terlalu keras mengikuti kaidah bahasa asing, muncullah fenomena yang dinamakan dengan “hiperkoreksi”.

Ini terjadi saat seseorang melebih-lebihkan usaha untuk berbicara “benar” sesuai standar bahasa asing, sampai-sampai malah terdengar salah. Misalnya, ketika mengucapkan “sarafan” alih-alih “sarapan”.

Hiperkoreksi: Diam Salah, Usaha salah

Hiperkoreksi sendiri merupakan fenomena menarik dalam konteks sosiolinguistik. Fenomena ini muncul bukan karena ketidaktahuan, tapi justru karena terlalu sadar.

Banyak orang Sunda yang mengetahui bahwa dalam bahasa Indonesia atau bahasa asing, huruf /f/ dan /v/ memang berbeda dengan /p/. Namun, kesadaran ini malah memunculkan kecenderungan untuk melebih-lebihkan, sehingga seringkali berujung pada penggunaan yang salah.

Hiperkoreksi juga bisa kita temukan di berbagai bahasa, termasuk bahasa Arab yang tidak memiliki bunyi /p/. Akibatnya, /p/ sering diubah menjadi /b/. Contohnya, “Stop” jadi “Stob”.

Upaya orang Arab untuk memperbaiki pengucapan mereka kadang justru menghasilkan sesuatu yang lucu, seperti dalam pengucapan “Hapipi” alih-alih “Habibi”.

Fenomena hiperkoreksi ini juga erat kaitannya dengan tekanan sosial. Dalam situasi formal, orang sering merasa harus berbicara sesuai dengan standar bahasa yang dianggap “lebih tinggi”.

Di Indonesia sendiri, standar ini sering kali diambil dari bahasa Indonesia atau bahkan bahasa Inggris, yang notabene memiliki sistem fonetis yang berbeda dengan bahasa Sunda.

Orang Sunda yang berusaha menyesuaikan diri dengan standar ini sering kali tersandung dalam proses adaptasi, terutama ketika harus berbicara di depan publik atau dalam situasi yang dianggap penting.

Bahasa Juga Bisa Insecure

Dilema antara pengucapan /f/, /v/, dan /p/ ini pada akhirnya lebih dari sekadar masalah linguistik. Hal ini juga berkaitan erat dengan identitas budaya dan perasaan inferioritas (insecurity) bahasa daerah di hadapan bahasa nasional atau bahasa internasional.

Dalam banyak kasus, orang Sunda merasa perlu “menyesuaikan diri” dengan bahasa lain untuk terdengar lebih intelektual atau berpendidikan. Ini adalah bentuk dari apa yang disebut “inferioritas linguistik”, sebuah kondisi di mana penutur bahasa daerah merasa bahasanya kurang berharga dibandingkan bahasa yang dianggap lebih maju atau modern.

Padahal, jika kita tengok lebih dalam, bahasa Sunda memiliki kekayaan yang luar biasa. Tidak hanya dalam hal kosakata atau tata bahasa, tetapi juga dalam cara berpikir yang tercermin melalui penggunaan bahasanya.

Seperti yang diungkapkan oleh linguis Edward Sapir, selain menjadi alat komunikasi, bahasa juga merupakan produk budaya dan cerminan dari cara pandang suatu komunitas terhadap dunia.

Ketika kita mulai mengesampingkan bahasa daerah kita sendiri, sebenarnya kita sedang mengkerdilkan sudut pandang bahasa tersebut terhadap dunia.

Berdamai dengan Keadaan (Huruf F)

Jadi, apakah kesulitan orang Sunda dalam mengucapkan bunyi-bunyi tersebut adalah masalah yang harus diatasi? Atau justru kita harus menerima bahwa ini adalah bagian dari identitas linguistik kita?

Jawabannya, mungkin, ada di tengah-tengah. Sebagai bagian dari masyarakat global, kita memang perlu memahami dan bisa berkomunikasi dengan bahasa-bahasa yang lebih luas, terutama bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.

Namun, kita juga perlu menjaga dan merayakan kekhasan bahasa daerah kita, termasuk anomali-anomali yang muncul di dalamnya.

Nah, untuk Anda yang mungkin memiliki kendala dalam hal pengucapan seperti yang telah dipaparkan di atas, beberapa tips berikut mungkin bisa dicoba. Tetapi, tetap perlu diingat bahwa gak ada yang sempurna, apalagi soal lidah.

Pakai “F” sebagai Default, Tapi Jangan Terlalu Percaya Diri

Ini cara yang paling mudah. Kalau kamu bingung dan ragu untuk menentukan pengucapan yang benar, langsung saja pakai /f/.

Tapi, hati-hati, jangan sampai kebiasaan. Tetap perhatikan konteks! Misalnya, mengucapkan “fancake” saat di restoran Western bisa membuat pelayan kebingungan. Trik ini bisa jadi aman, tapi pastikan pelafalannya sesuai dengan keadaan.

Jadikan Sebagai “Trademark” Gaya Bicara

Kalau kamu terus-menerus salah, lebih baik jangan dipaksakan. Jadikan itu sebagai ciri khasmu.

Daripada kamu stres berkutat dengan salah ucap, lebih baik embrace saja kekeliruan itu. Terlebih, punya gaya bicara yang berbeda bisa membuat kamu lebih memorable di lingkungan sosialmu.

Hindari Kata-Kata “Berbahaya” Saat Momen Penting

Di saat kamu sedang presentasi formal dan tiba-tiba bingung harus mengucapkan “vaksin” atau “paksin”, coba cari kata pengganti yang aman.

Misal, dengan menggunakan kata “imunisasi” atau “program suntik”. Intinya, hindari kata-kata yang bikin lidah keseleo. Trik ini bisa jadi semacam “cheat code” untuk kamu yang tidak suka mengambil risiko.

Berlatih dengan Tongue Twister

Coba latihan dengan kalimat-kalimat cepat yang banyak memakai /f/, /v/, dan /p/. Misalnya, “Feri Foto Pakai Vaksin Pas Valentine.” Awalnya pasti membuat lidah keseleo, tapi lama-lama lidahmu akan lebih luwes.

Gunakan Intonasi yang Kalem saat Situasi Formal

Saat kebingunganmu kambuh ketika berada di acara resmi, coba gunakan intonasi yang rendah dan kalem. Maksudnya, suara yang diucapkan pelan tapi dalam.

Cara ini tidak hanya membuat kamu terdengar lebih berwibawa, tapi juga memberi waktu ekstra buat lidahmu berpikir: “Ini /f/ apa /p/, ya?” Paling tidak lumayan, lah, untuk menghindari salah ucap di depan atasan atau klien.

Selalu Siap Sedia Kartu “Maaf, Lidah Sunda”

Kalau sudah mentok dan lidah tetap saja tidak mau kompromi, tak ada salahnya mengeluarkan kartu ini. Dijamin, orang akan paham, kok.

Terapkan Prinsip “Yang Penting Nyambung”

Nah, yang terakhir, jika kamu sedang mengobrol dan mulai bimbang apakah mau mengucapkan “fakta” atau “pakta,” jangan terlalu lama berpikir!

Sebab, yang terpenting adalah pesanmu bisa nyambung. Terkadang, kecepatan berpikir itu lebih penting dari keakuratan bunyi. Kalau orang lain paham maksudmu, ya, sudah, beres.

Pada akhirnya, kita tidak perlu terlalu tegang saat berurusan dengan huruf-huruf tertentu. Intinya, komunikasimu sampai dan pesanmu diterima.

Lagipula, bahasa itu, kan, soal pesan, bukan kesan. Seperti kata David Crystal dalam bukunya How Language Works:

The chief function of language is communication—whether that communication takes place in spoken, written, or sign language. The ultimate aim is to make oneself understood.” (Fungsi utama bahasa adalah komunikasi—terlepas dari komunikasi itu terjadi secara lisan, tulisan, atau bahasa isyarat. Tujuan utamanya adalah agar seseorang paham).

Penulis

Muhammad Adam Rahman

Pecinta film yang lebih sering bingung sama plot twist politik Indonesia daripada alur cerita Christopher Nolan.
Opini Terkait
Dear Mental Health Professional…
Ramai ‘Kamisan Date’, Emang Apa Salahnya?
Mengkritisi Bimbel SKD CPNS
Freelancer dan Ilusi Work Life Balance

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel