>
Liputan: ECO-Creator, Jadi Cara Menggemakan Isu Lingkungan dengan Kreativitas

ECO-Creator, Jadi Cara Menggemakan Isu Lingkungan dengan Kreativitas

Menggemakan Isu Lingkungan dengan Kreativitas
I

“Manusia berperan menjaga bumi untuk mendorong ekonomi, kalau keseimbangan alam terjaga, maka makhluk-Nya akan sejahtera.”

Begitu filosofi hidup Dita Faisal, wanita 37 tahun kelahiran Balikpapan yang kini menetap di daerah wisata Pantai Serang, Blitar. Sebagai warga Serang, kini Dita banyak menghabiskan waktu dan kesehariannya sebagai eco-creator. 

Mantan presenter dan reporter berita selama 13 tahun di TVRI dan TvOne ini sudah terbiasa hidup di kota sejak kecil. Barulah pada Juni 2021, ia pun memutuskan untuk angkat kaki dari ibukota dan memilih Desa Serang, Kabupaten Blitar sebagai tempat bernaungnya di masa tua bersama suami dan anak kembarnya.

Di rumahnya yang berjarak hanya 200 meter-an dari tepi pantai Serang itu, ia juga mendirikan sebuah kedai kopi yang diberi nama “Dikasih Kopi”.

Tempatnya sendiri tidak terlalu luas. Bangunan semi permanen itu terbuat dari kayu dengan di sekelilingnya dipenuhi aneka tanaman. Bisa dibilang tempatnya sangat nyaman dan sejuk. Ditambah, pemandangan pantai Serang yang masih terlihat dengan jelas dari kedai kopi ini.

Punya Mimpi Bangun “Pabrik Oksigen”

ECO-Creator, Jadi Cara Menggemakan Isu Lingkungan dengan Kreativitas - Dita Faisal
(Di Bukit dekat Pantai Serang, Dita menunjukkan beberapa tanaman/Aprilia)

Setelah 17 tahun hidup di Jakarta, Dita memilih pindah ke Desa Serang, Kabupaten Blitar. Keinginannya pindah ke desa sebenarnya sudah ada sedari awal saat ia masih di ibukota. Mengingat, ibukota bukanlah tempat tinggal yang ideal karena adanya berbagai permasalahan lingkungan.

“Kalau misalnya aku melakukan perubahan kayaknya aku bisa deh menanam pohon tapi, bukan di Jakarta karena di Jakarta menanam pohon kita harus mikir akarnya mengganggu tetangga bisa bermasalah, daunnya rontok gugur kena rumah tetangga kita bisa berantem berhari-hari,” ujarnya.

Berangkat dari permasalahan itu, dan mengingat tanah sejengkal di Jakarta begitu gak masuk akal harganya. Ia berpikir untuk hijrah ke desa dan keinginannya peduli terhadap lingkungan itu bisa terwujud di saat pandemi terjadi.

Mimpinya untuk bisa punya andil besar terhadap lingkungan itu, banyak dipengaruhi saat ia menjadi reporter acara breaking news bencana alam.

“Nah, salah satu berita yang menurut aku waktu itu paling lama aku breaking news kan sama teman-teman itu adalah Gempa di Donggala, yang akhirnya terjadi Likuifaksi. Itu tanah yang terbelah ekstrem sekali,” ujarnya dengan raut wajah serius mengingat memori kala itu.

“Terus kita pikir lagi gimana nih? Kalau terjadi kiamat lebih ekstrim,” sambungnya. Semenjak itulah, ia terus merasa bahwa harus ada perubahan yang dilakukan untuk lingkungan.

Barulah kesempatan untuk bisa tinggal di desa dan peduli terhadap lingkungan itu semakin terbuka lebar. Berawal dari tahun 2018-2019, di mana tanaman warga berupa jagung dan singkong saat itu diserang hama tikus yang luar biasa.

Hal itu membuat petani lokal enggan untuk bertani atau bercocok tanam di area bukit dekat dengan bibir Pantai Serang. Terjadi kurang lebih dari 1 tahun, dan ia yang saat itu mendengar kabar tersebut pun mencari informasi tentang kemungkinan untuk memanfaatkan lahan tersebut agar ditanami pohon.

Dita menanam pepohonan di lahan bukit milik Perhutani. Lahan yang tidak boleh diperjualbelikan itu akhirnya diganti nilai kegagalannya oleh Dita. Pergantian lahan itupun atas sepengetahuan pihak Perhutani.

“Alhamdulillah dong. Berarti kan doa aku dijabah semua sama Allah yang tadi aku pengen nanam karena kalau misalnya kita punya bibit enggak ada lahannya bagaimana? Dari jauh pun aku sudah berpikir, sudah bilang tolong dong tanam pohon. Pas kebetulan lagi Perhutani menurunkan bibitnya sebanyak 500,” ungkapnya.

Bermodalkan cangkul kecil yang ia beli dan bawa dari Jakarta, dirinya pun mulai menanam banyak bibit pohon. Sayang beribu sayang, dari 500 bibit pohon yang ditanam itu, 90 persennya mengalami kegagalan dikarenakan tidak menyiramnya.

Apalagi, tanaman yang ditanam di bukit dengan hanya mengandalkan air hujan. Sementara, selama beberapa tahun terakhir hujan hampir tidak ada atau datang dengan intensitas kecil.

“Ternyata kita tahu bahwa menanam itu sangatlah mudah tetapi menyiram, merawat, menjaga hingga nanti memanen itu yang paling susah. Memanennya bukan hanya memanen buah ya, memanen kebaikan, memanen oksigen untuk kita hirup dengan orang-orang lain,” tegasnya.

Pohon Ketapang dan Harapan Baru

Belajar dari kegagalan yang terjadi, mimpinya untuk terus menanam di bukit dan membuat pabrik oksigen masih tetap berlanjut dan terus diusahakannya.

Ia merasa sangat bersyukur, setelah pohon ketapang yang ia tanam di depan rumahnya terus tumbuh dengan baik.

Pohon ketapang yang sudah berusia 5 tahun itu, buahnya di sukai oleh kelelawar. Dari peristiwa rantai makanan ini, ia mendapatkan bibit-bibit baru Ketapang yang ia cari dari bekas biji-biji yang dijatuhkan oleh kelelawar di tanah.

Dari bibit itu, ia pindahkan ke polybag dan jika sudah setinggi 50 cm, ia akan memindahkannya ke bukit. Di bukit itu, ia menanam banyak aneka pohon, tak terkecuali termasuk ketapang yang sudah mulai tumbuh besar.

Ia juga menanam kelapa. “Ada juga sih kelapa, karena di sini juga bisa meningkatkan nilai ekonomi kalau misalnya 3-4 tahun nanti aku jadi juragan kelapa kan berarti aku sudah bersyukur gitu loh,” ujarnya sambil tertawa.

“Nah nilai ekonominya dari mana, satu aku untung dan aku bisa meningkatkan ekonomi masyarakat sekitar. Dari pohon kelapanya, dan kita bisa menyuplai kelapa-kelapa itu. Jadi sebenarnya siklus itu harus terbentuk ketika ekonomi sudah mulai,” tambahnya.

“Aku rasa manusia dan bumi ini adalah dua hal yang melekat, kita bicara tentang peoplenya kita bicara juga tentang planetnya maka, profitnya akan mengikuti,” lanjutnya sekali lagi.

Eco-Creator Jadi Cara Menggemakan Isu Lingkungan

ECO-Creator, Jadi Cara Menggemakan Isu Lingkungan dengan Kreativitas - Dita Faisal 1
(Dita sedang meracik kopi di kedai “Dikasih Kopi”/Aprilia)

Usai pindah ke desa, eco-creator jadi cara Dita untuk menggemakan isu lingkungan. Ibu dari anak kembar ini, mengaku bahwa kebiasaannya yang berkaitan dengan lingkungan lahir secara bertahap.

Dengan background jurnalis, menjadikannya senang berbagi informasi terutama tentang lingkungan. Mengawali aktifitasnya dari punya cangkul, Dita mulai terbiasa dengan aktifitas menanamnya, aktifitas yang jauh berbeda ketika ia menjadi seorang presenter berita. Berada di ruangan ber-AC, dandan cantik dan rapi.

Tinggal di desa, artinya ia harus siap panas-panasan, tangan kotor setiap hari dan memegang cangkul. Sebuah aktifitas yang awalnya tidak mudah baginya.

Kini, kebiasaan yang sudah tertanam dalam dirinya itu terus ia lahirkan secara bertahap. Selain mimpinya punya pabrik oksigen, baru 6 bulan terakhir ini ia membuat kompos dari sampah-sampah organik.

“Sebelum aku menjadi warga desa selama 3 tahun ini artinya baru dua setengah tahun aku di sini baru berpikir kompos. Itu kan proses bagaimana hati kita nih legowo untuk menambah sebuah kebiasaan baru yang sebenarnya bisa kita lakukan tapi kalau tanpa hati ya enggak bisa dan itu proses juga,” tuturnya.

Selain berbagai tentang aktifitas menanam dan mengomposnya, kepedulian pada lingkungan itu juga ditunjukan dari pengelolaan kedai kopinya.

Kedai kopi ramah lingkungan dengan meminimalkan penggunaan plastik, menjadi konsepnya dalam usaha yang ia rintis bersama sang suami. Ia menyuguhi minuman kepada setiap tamunya dengan gelas kaca, yang bisa dipakai berulang-ulang; sedotan dari serutan bambu, yang bahkan bisa dipakai berulang-ulang juga.

Selain itu, ada konsep yang unik dalam “Dikasih Kopi”, meminimalkan penggunaan plastik juga terlihat dari tutup dan coaster – tatakan gelas, yang terbuat dari gerabah dan dipesannya langsung dari pengrajin gerabah di Blitar.

“Kita menyeduhkan kopi itu alaminya dapat, terus saringan kopinya pun kami menggunakan saringan kopi dari bahan kain dengan 100 persen kapas yang dipintal dan ditenun oleh para penenun di Lombok, Nusa Tenggara Barat,” katanya.

Alat-alat kopi yang terbuat dari gerabah itu tersusun rapi di rak samping, dekat Dita membuat kopi di meja baristanya.

Prinsipnya soal menyediakan apa yang ia suka dan keinginannya membuat orang lain juga sehat, menjadi filosofi tersendiri dalam ia menjaga usahanya ini untuk bisa bermanfaat pula bagi orang lain. Bahkan, nama “Dikasih Kopi” tercipta karena ia sendiri mengaku sering dikasih oleh orang lain.

Selain agar namanya kekinian dan berbau lokal. “Kalau dikasih orang tuh kita jadi beban loh kira-kira aku mau balikinnya gimana lagi ya. Biar kita ngasih juga gitu jadi, kita punya souvenir apa-apa yang kaitannya dengan kopi terus kita ngasih orang, orang itu bakal ingat sama kita, jadi yang melekat adalah dikasih kopinya,” ujarnya dibalik penamaan kedai kopinya.

Sebagai eco-creator, berbagai aktifitas lingkungannya itu ia bagikan lewat akun Instagram pribadinya @ditafaisal_. Dari akun itu, kita akan menemukan berbagai kegiatannya tentang lingkungan. Dirinya juga berbagi aktifitasnya sebagai volunter di Konservasi Penyu Segoro Lestari, yang letaknya juga di Pantai Serang.

Penulis

Aprilia Tri Wahyu Ningrum

Penyuka banyak hal. Menulis tentang apa saja yang menarik. Alumni Antropologi yang menggiati topik seputar manusia dan tingkahnya.
Baca Opini
Kenapa, sih, Cancel Culture Sulit Diterapin di Indonesia?
Ramai ‘Kamisan Date’, Emang Apa Salahnya?
Mengkritisi Bimbel SKD CPNS
Kalimantan Tidak Melulu Tentang Kuyang!