Miftahu Ainin J

7 Momen Pelik Pemicu Quarter Life Crisis, Nomor 7 Paling Serius!

Hai sobat krisis, pernahkah kalian jengkel pada artikel-artikel di internet soal Quarter Life Crisis? Saya pribadi, seringkali jengkel. Sebab, artikel yang beredar seringkali mengulas penyebab QLC dengan memusatkannya kepada penderitanya, seperti: “Kamu terlalu membanding-bandingkan dirimu dengan rang lain” atau “Kamu terlalu banyak bermain sosial media” dan lainnya. Namun, pernahkah kamu merasakan bahwa krisis yang kamu alami bukanlah kemauanmu dan bukan kamu yang menyebabkannya? Nah di bawah ini adalah ulasan dari beberapa momen yang dapat menyebabkan seseorang mengalami QLC.

1. Fresh Graduate: “Cari kerja gampang, yang susah dapatnya bos!”

Saya cukup yakin bahwa momen ini telah dialami oleh banyak orang. Ribuan lulusan SMK yang digadang-gadang siap kerja, maupun lulusan perguruan tinggi berbondong melamar pekerjaan. Memang benar adanya bahwa selain banyak lulusan, banyak juga lowongan yang tersedia. Tapi gimana ya, dari deretan persyaratan selalu ada syarat yang siap menjegal langkah semangat dari para fresh graduate ini: telah berpengalaman. Hal yang bertolak belakang dengan maksud para pencari pengalaman ini. Ada sih yang menyertakan kalimat “Fresh graduate dipertimbangkan”, tapi buat apa juga kalau jelas yang dicari adalah yang sudah berpengalaman. Hedeh.

Ya tapi kalau dipikir lagi, mana ada bos perusahaan – yang dimana-mana tujuannya melipatgandakan kapitalnya, rela keluarin duitnya buat bayar orang tidak berpengalaman, resiko kan. Mending merekrut yang jelas punya potensi buat bantu dia untuk dapat untung lebih gede lah. Eh, jangan bilang kamu masih mikir kalau itu simbiosis mutualisme?!

2. Punya kerja sih, tapi gak cukup untuk subsisten.

Momen lain dari kisah fresh graduate yang malang di atas ya momen ini, bisa dapat kerja, tapi gajinya terlampau rendah. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan dasar gak cukup. Kadang sampai ada yang harus memilih: bisa makan cukup tapi tidak bisa sewa tempat tinggal, atau bisa sewa tempat tinggal tapi kurang makan. Sayangnya banyak orang yang menganggap kondisi ini sebagai opsi logis untuk menyelamatkan para pencari kerja dari bayang-bayang pengangguran. Padahal disebut opsi pun tak pantas, ya mau gak mau jalani saja pekerjaan bergaji tak manusiawi ini (sambil kerja dobel di tempat lain mungkin), daripada disebut kufur nikmat kan.

Kalau masih ngotot ini opsi logis, coba tengok kawan-kawan guru honorer yang harus masuk dan mendidik anak-anak tiap hari, tapi gaji bulanannya di bawah angka 300 ribu deh. Gimana?

3. Punya kerja gaji lumayan, tapi beban kerja berlipat ganda.

Bukan hanya Munir yang berlipat ganda, beban kerja juga bisa gengs. Momen ini terlihat jelas berbeda dari momen sebelumnya. Dari segi gaji ya memang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar, bahkan mungkin lebih. Tapi apa bedanya kalau beban kerjanya juga meningkat berlipat ganda? Momen ini bisa mengantar banyak orang menjadi stress karena pekerjaan, atau sakit, atau mengeluarkan banyak uang untuk menghibur diri namun keesokan hari stress itu muncul kembali. Huhuhu. Inilah wujud dari syarat “Mampu bekerja di bawah tekanan” yang ada di lowongan pekerjaan yang dianggap wajar oleh banyak orang. Ya tekanan waktu, beban kerja, ataupun tekanan dari atasan saat pekerjaanmu tak mampu kamu bereskan. Pekerja kantoran maupun freelancer punya peluang yang cukup besar untuk mengalami momen ini. Apalagi saat work from home seperti saat ini kan? Jika kamu tak mapu lagi menyelesaikan pekerjaanmu, tak masalah bagi bos untuk memecat. Sebab ia punya banyak cadangan. Pada akhirnya, kesimpulan dari gaji cukup bagi pekerja di level rendah – selain untuk mengganti tenaga agar dapat bekerja di hari esok, adalah untuk membeli ketenangan hidup dan kesehatan. Atau ada hal lain yang kamu rasa terbeli dari dirimu?

4. Pemaksaan minat belajar dan pekerjaan.

Kita dapat menemuai dengan mudah anak-anak yang dipaksa untuk belajar ini itu oleh orang tuanya, atau dipaksa harus bekerja di bidang tertentu mengalami kebuntuan dan tidak terkoneksi dengan yang mereka jalani. Kondisi ini biasanya terjadi karena pihak pemaksa – biasanya orang tua atau keluarga, memiliki kuasa yang lebih besar dan tidak bisa dilawan oleh pihak yang terpaksa. Alasannya bermacam-macam: karena pihak pemaksa yang membiayai pihak terpaksa, karena orang tua tau apa yang terbaik untuk aaknya, untuk menjaga martabat keluarga di masyarakat, dll.  Namun layaknya bom waktu, stress yang dipendam akibat selalu menjalani hal diluar minatnya suatu saat akan meletus juga.

5. Belum lulus kuliah saat orang sepantaran sudah punya kerja.

Kondisi yang pedih ini hanya bisa dirasakan oleh mahasiswa yang masa studinya lebih dari 4 tahun. Merasa tertinggal dan terus diperbandingkan dengan sepupu, tetangga, saudaranya tetangga, tetangganya saudaranya tetangga, dst yang sudah bekerja. Huff. Dear sobat kuliah lebih dari 4 tahun, izinkan saya sedikit menjelaskan kondisi pelik ini.  Huhuhu.

Kuliah lebih dari 4 tahun lebih sering disebut denga kuliah lulus molor oleh banyak orang. Tapi bagaimana bisa dibilang molor, kalau proses yang dilalui setiap mahasiswa berbeda-beda? Khususnya saat pengerjaan tugas akhir. Apa yang menjadi standar molor dan tidak molor?

Seperti yang kita tahu, bahwa kelancaran proses perkuliahan mahasiswa tidak hanya ditentukan oleh mahasiswa itu sendiri. Setidaknya ada 3 hal yang mempengaruhinya: kemampuan mahasiswa itu sendiri untuk mengelola dirinya dan memahami kompleksitas penelitiannya, tenaga pengajar dan/atau pembimbing tugas akhir, serta tenaga administrasi kampus. Satu saja dari beberapa hal tersebut berulah, habislah. Dan perlu diingat, bahwa setiap mahasiswa mengalami hambatannya masing-masing, Namun yang sering terjadi, para mahasiswa legend ini langsung dilabeli pemalas saja, tanpa mau membantu masalah apa yang membuat mereka terhambat dan menjadi malas. Ya tapi memang lebih enak ngatai malas saja sih daripada repot-repot ikut mencari solusi dari permasalahan yang tidak jarang kompleks. Hihihi.

6. Belum nikah atau punya anak saat orang-orang segenerasi telah melaluinya.

Populasi dari kelompok ini gak sedikit, lho. Begitu kerasnya ejekan dan tekanan kepada mereka, sampai-sampai kita mudah menemukan orang-orang yang mengejek dirinya sendiri sebelum diejek orang lain. Ejekan dan tekanan itu mengaburkan berbagai penyebab yang membuat orang-orang tak kunjung menikah atau memiliki keturunan. Seakan-akan menikah dan memiliki keturunan adalah fase terakhir yang harus dicapai dalam hidup ini. Seakan masalah ekonomi, perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, parenting dan lainnya tak eksis di dunia ini.

7. Hidup di tengah masyarakat yang mengabadikan momen-momen di atas.

Momen-momen di atas adalah sedikit dari momen yang dapat memicu Quarter Life Crisis dan dapat dianggap sebagai masalah receh bagi orang lain. Namun kita tidak sedang berbicara betapa lemahnya mental orang-orang yang mengalami stress dengan berbagai pemicu. Kita juga sedang tak berbicara soal seseorang yang terlalu membandingkan dirinya dengan orang lain, pemalas, kurang usaha ataupun kurang bersyukur. Sebab ia tak akan membanding-bandingkan jika tak ada standar yang diamini. Dan bagaimanapun kita menolak standar tersebut, kita tetap hidup di dalamnya. Mau tak mau harus diakui bahwa kondisi sosial, ekonomi dll di zaman ini memang nyata dapat menyebabkan permasalahan serius terhadap kesehatan mental seseorang.

Tragisnya, saat seseorang mengamini nilai-nilai sosial yang eksis saat ini secara buta, saat itu pula dirinya akan terjerumus dalam perputaran krisi tak berkesudahan. Inilah momen inti dari pemicu quarter life crisis. Saat berbagai momen pemicu terus dianggap tak bermasalah dan para targetnya terus hidup di dalamnya maka krisis ini semakin lama akan menjadi wajar dialami oleh orang-orang di usia 20-30 an. Padahal seperti demam berdarah, QLC ini lebih baik dicegah daripada harus mengobati.

Tapi bukannya mencegah, masyarakat kita justru sedang mengabadikannya, misalnya lewat seminar kewirausahaan, seminar-seminar motivasi yang materinya disampaikan oleh ‘orang sukses’, juga seminar-seminar nikah muda yang beberapa tahun terakhir sedang laku di pasar. Para pemateri itu tak jarang mengaburkan berbagai faktor dasar yang menyebabkan seseorang bisa ‘sukses’ juga menyempitkan arti kesuksesan pada aspek finansial saja.  Jadi, untuk penyelenggara seminar-seminar motivasi atau nikah muda, daripada menyajikan materi kunci sukses yang sulit diimplementasikan dalam kehidupan nyata dan mengajak nikah muda tapi tak tau bagaimana menyelesaikan permasalahan pasca pernikahan, sebaiknya habiskan anggaran dana untuk riset dan studi yang mendukung perubahan sosial lebih baik.

Gimana, sudah terlihat serius belum? Hehehe.

Topik