Ada perasaan bersalah yang masih saya tanggung pada seorang teman. Pernah sekali waktu saya membongkar-bongkar isi dompet untuk mencari sisa uang receh—ritus di akhir bulan. Harapannya bisa nemu seribu dua ribu buat ngecer rokok. Saya lupa berapa rupiah yang saya temukan, tapi ada sepotong kartu yang membuat saya berpikir jauh ke belakang. Mengingatkan saya pada seorang kawan lama.
Kawan ini saya kenal sewaktu masih di asrama mahasiswa. Sebut saja Kujam, tubuhnya kurus karena jarang makan. Kami cukup akrab setidaknya sampai semester dua. Menginjak semester tiga, khusus mahasiswa penghuni asrama yang tidak layak mendapatkan predikat rajin salat berjamaah, pulang tepat waktu, dan tidak ngutangan di kantin, wajib didepak keluar. Saya dan Kujam termasuk mahasiswa yang harus dengan senang hati keluar dari balai rehabilitasi tersebut.
Meski kami tetap saja satu kampus, saya kesulitan bertemu dengan Kujam. Apalagi mengingat sepotong kartu tadi. Kalau nanti saya ternyata bertemu Kujam di kantin, saya juga tidak yakin berani membicarakan hal ini.
Masalahnya ada di kartu yang saya temukan itu. Multi Level Marketing. MLM. Pakai skema Piramida. Bisa berkedok chip penghemat pulsa. Bisa juga buat belanja di toko member. Menjanjikan kaya dengan cepat. Passive Income yang menggiurkan. Bahkan bisa jadi sponsor klub sepak bola.
Untuk mengenal lebih jauh bagaimana sistem MLM bekerja, silakan cari di google (langkah yang tidak saya lakukan sebelum terjebak menjadi agen MLM): niscaya kita akan lebih banyak menemukan mudarat-nya daripada faedahnya.
Saya juga tidak berbakat betul untuk menjelaskan kartu cum sistem kerjanya yang aneh ini. Selain itu, ya saya masih sangat malu sebenarnya harus mengakui kalau pernah masuk dalam lingkaran yang saru ini. Seperti Geger Riyanto yang mengamini perkataan Jojo, tokoh utama dalam film Quickie Express. Jojo mengatakan bahwa menjadi agen MLM itu jauh lebih buruk dari profesi sebagai Gigolo.
Kesempatan Itu Datang Lagi
Saya sempat berpikir jebakan serupa tidak akan terjadi lagi. Dalam hal seperti ini saya sudah punya pijakan. Selain pengalaman menjadi korban sekaligus pelaku, kuliah saya sudah semester dua digit. Latar belakang akademik harusnya berperan penting agar saya lebih dewasa dan tidak terjerembab dalam lubang yang sama.
Selama kuliah, ada saja peluang pekerjaan yang menghampiri. Saya juga selalu berusaha untuk tidak melewatkannya. Saya sadar untuk panjat sosial itu butuh banyak modal: nonton konser, nongsky di kafe cozy; jadi naq indie.
Dalam proses evolusi sebagai mahasiswa, saya juga menganut paham oportunisme. Akan tetapi, rasanya saya belum layak memperoleh predikat sebagai oportunis tulen. Sebab belum waktunya untuk saya menghalalkan segala cara demi golongan. Tepatnya belum ada partai politik yang mau menggaet saya sebagai kadernya. Apa yang saya lakukan hanya sebatas salah satu bagian dari perilaku oportunistik yaitu melihat kesempatan. Salah satunya kesempatan menjadi ojek pribadi anak dosen.
Tawaran ini datang saat saya menginjak semester delapan. Ketika sedang rajin-rajinnya mondar-mandir di depan ruang dosen untuk bimbingan skripsi—sebelum memutuskan untuk meninggalkan berkas skripsi sampai batas waktu yang belum ditentukan. Seorang Ibu Dosen bermurah hati memberi saya pekerjaan.
Tapi, kehidupan mahasiswa memang tidak semulus suara Rara Sekar. Justru seringkali seperti ludah yang kesandung di tengah tenggorokan saat kamu mencoba meniru gaya bicara Rocky Gerung.
Setiap hari saya diminta untuk antar-jemput anak-anak yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar dan Taman Kanak-kanak. Dasar mahasiswa yang terbiasa bangun siang, sekali waktu saya datang terlambat. Dikira si Ibu saya tidak akan datang pagi itu. Jadi dia memilih menggunakan jasa Ojol.
Mas Ojol datang dengan motor Honda Karisma 125. Saya juga baru sampai di depan gerbang dengan motor lebih butut. 15 cc di bawahnya. Sambil menunggu anak-anak Bu Dosen sarapan, Mas Ojol menyapa saya dengan akrab. Obrolan berlanjut membahas rutinitas kami. Dia bercerita tentang hobi-nya di akhir pekan; touring Moge!
Sampailah pada pembahasan profesi dia selain jadi Ojol, dengan tanggap Mas Ojol menunjukkan sebuah bukti transaksi berisi sejumlah nominal uang dalam nilai dolar. Menurutnya, hanya demi kebutuhan mengisi waktu luang saja menjadi Ojol. Pendapatan terbesarnya bisa ia terima setiap minggu tanpa susah payah.
Sembari memberikan nomor HP, Mas Ojol meminta saya untuk bertemu lagi di akhir pekan. “Dengan modal tiga ratus ribu rupiah, berdolar-dolar uang akan datang dengan sendirinya” Mas Ojol melempar senyum gagah.
Beberapa saat sebelum setan diusir dari neraka, setan pernah bilang “Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka.” Karena harus ada yang disalahkan, dalam kasus ini saya memilih untuk menyalahkan setan. Datang tiba-tiba di saat yang tidak tepat.
Saya dalam keadaan setengah sadar karena terlambat bangun, belum mandi dan sikat gigi, dan harus segera mengantar anak orang ke sekolah. Ya salah saya memang, rezeki pagi itu menjadi milik Mas Ojol. Sekalipun Mas Ojol katanya sudah punya Moge dan saya belum, seberapa menyedihkannnya tampang saya sehingga kembali mendapat tawaran jadi agen MLM? Bukan yang terakhir. Lebaran kemarin sewaktu saya datang ke salah satu pusat oleh-oleh di Malang. Si pemilik juga menawarkan saya pekerjaan yang serupa.
Saya jadi terus ingat Kujam. Kartu member MLM itu memang akhirnya saya buang. Terakhir yang saya tahu, Kujam memang lebih berbakat menjadi agen MLM ketimbang saya. Saya hanya bisa menghasut seorang Kujam. Tapi Kujam, berhasil mengajak lebih banyak orang untuk menjadi agen MLM. Ini bukan hal yang menyenangkan. Saya jadi lebih takut: saat Kujam sadar nanti, bisa jadi dia juga merasa bersalah sama seperti halnya saya. Kalau sudah begini salah siapa?