Silang Sengkarut KIP K: Problematik Dari Hulu Hingga Hilir

Silang Sengkarut KIP K: Problematik Dari Hulu Hingga Hilir

Silang Sengkarut KIP K: Problematik Dari Hulu Hingga Hilir
Ilustrasi oleh Ahmad Yani Ali

Kalau kalian punya cukup tenaga untuk menghujat penerima beasiswa KIP K yang manipulatif, pastikan kalian juga punya cukup tenaga untuk mendesak pemerintah menghadirkan pendidikan yang lebih murah dan lebih aksesibel untuk semua warga

Kalau kalian adalah pengguna aktif media sosial, terutama Twitter (saya masih enggan menyebutnya X) dan Instagram, pasti kalian akan menemukan satu topik yang sedang ramai menjadi pembicaraan belakangan ini.

Jadi, topiknya adalah seputar silang sengkarut penerima Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP K), atau bantuan biaya pendidikan untuk mahasiswa berprestasi dan kurang mampu.

Nah, ada beberapa netizen yang spill soal penerima KIP K yang ternyata adalah seorang influencer dan suka beli barang branded. Pokoknya jauh dari kata tidak mampu, lha.

Netizen merasa bahwa pemberian KIP K ini tidak tepat sasaran dan penerima KIP K tadi pun dirujak dan dihujat rame-rame, hingga ia akhirnya mengundurkan diri dari penerima KIP K.

Ramai-ramai tentang masalah penerima KIP K yang diduga tidak tepat sasaran ini membawa diskursus yang cukup panjang.

Mayoritas netizen mengatakan bahwa “kartu sakti” satu ini kerap tidak tepat sasaran dan banyak yang memanipulasi. Bahkan, ada yang sampai “memburu” para penerima KIP K lainnya yang dirasa tidak pantas menerimanya.

Tapi, tidak sedikit juga yang kontra dengan sikap mayoritas netizen yang melakukan “pemburuan” ini. Selain karena alasan cyberbullying, alasan mereka yang kontra adalah karena silang sengkarut masalah KIP K adalah imbas dari gagalnya pemerintah menyediakan pendidikan—terutama pendidikan tinggi—yang terjangkau bagi seluruh warga negara.

Nah, sebagai mantan penerima beasiswa serupa (saya adalah penerima beasiswa Bidikmisi, sebelum akhirnya Bidikmisi berubah jadi KIP K pada 2020), saya tergelitik untuk berkomentar tentang silang sengkarut KIP K ini.

Saya akan memulai dengan sebuah pernyataan bahwa KIP K ini problematikanya merata, mulai dari hulu hingga ke hilir.

Pemerintah Tidak Mampu Menghadirkan Pendidikan yang Murah

Membahas persoalan KIP K yang katanya tidak tepat sasaran ini mau tidak mau harus dimulai dari hulu, dari masalah utamanya, yaitu pada pemerintah.

Pemerintah telah gagal menghadirkan pendidikan yang murah dan aksesibel bagi warga negara, khususnya dalam level pendidikan tinggi.

Coba saja lihat berapa biaya masuk kuliah dan biaya per semesternya. Angkanya selalu fantastis. Angka yang nyaris mustahil untuk dipenuhi oleh masyarakat, khususnya kaum menengah atau menengah ke bawah.

Tiap tahun ajaran baru, kita selalu mendapati keluhan dari para mahasiswa baru soal tingginya biaya kuliah yang harus mereka bayarkan.

Ironisnya lagi, ini terjadi di semua universitas, baik itu negeri maupun swasta. Dulu, kita mengenal stereotip bahwa universitas negeri lebih murah biayanya dari universitas swasta.

Sekarang, stereotip itu sudah tidak berlaku lagi. Semua sama mahalnya. Bahkan, tidak sedikit universitas negeri yang biayanya lebih mahal dari universitas swasta.

“Lho, bukannya dengan adanya KIP K orang-orang yang kurang mampu itu bisa tetap kuliah dengan bantuan pemerintah?”

Iya memang. Tapi, masalahnya tidak berhenti di situ. KIP K memang sangat membantu, tapi ia masih penuh dengan masalah. Salah satu masalah utama dari KIP K ini adalah proses seleksinya yang agak tidak jelas.

Seleksi KIP K yang Cenderung Asal-asalan dan Tidak Jelas

Dulu, waktu KIP K masih bernama Bidikmisi, saya adalah orang yang sangat terbantu dengan adanya beasiswa ini. Saya yang berasal dari keluarga kurang mampu jadi bisa mengenyam pendidikan tinggi dan menjadi seorang sarjana.

Saya tentunya sangat berterima kasih kepada pemerintah dengan adanya beasiswa Bidikmisi. Namun, sebagai penerima Bidikmisi, saya tahu betul bahwa proses seleksi beasiswa ini terlalu longgar, seakan asal-asalan, dan cenderung nggak niat.

Contoh paling gamblang dapat dilihat pada proses seleksinya. Selain harus menyertakan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM), salah satu seleksi yang akan dilakukan kepada calon penerima KIP K adalah survei kondisi rumah.

Ketika mendaftar KIP K, calon penerima akan dimintai foto kondisi rumah, mulai dari rumah tampak depan, ruang tamu, hingga dapur. Setelah meng-input semua foto ini, panitia KIP K beserta pihak kampus akan melakukan survei untuk memverifikasi kebenaran data-data tersebut.

Pada titik inilah masalah sering muncul. Survei yang mereka lakukan kayak nggak jelas gitu. Tidak benar-benar diketahui apakah survei dilakukan secara merata atau hanya mengambil sampel survei saja.

Bukan hanya itu, panitia survei ini juga kadang kurang niat. Tahun ini ada survei langsung, tahun depannya tidak survei langsung dan hanya pakai data dinsos atau dukcapil saja. Gimana beasiswanya mau tepat sasaran kalau proses verifikasinya saja udah kayak gini?

Proses seleksi seperti ini jelas menciptakan lubang menganga yang sangat mudah dimanipulasi oleh calon penerima beasiswa KIP K.

Data yang Terlalu Mudah Dimanipulasi

Di hilir, masalah timbul dari calon penerima beasiswa KIP K. Seperti yang sudah saya katakan bahwa persyaratan penerimaan beasiswa ini harus diakui terlalu longgar.

Para penerima hanya memerlukan beberapa hal seperti punya nilai rapor SMA yang oke (asal tidak ada yang merah), punya Kartu Indonesia Pintar (KIP), bukti slip gaji orang tua, punya SKTM, dan rumah (beserta fotonya) yang membuktikan bahwa si penerima termasuk ke golongan tidak mampu. Udah, itu saja.

Sayangnya, persyaratan di atas itu rawan banget dimanipulasi. Misalnya, SKTM itu gampang banget mintanya ke Kantor Desa, apalagi kalau ada “orang dalam”. Sehari juga bisa langsung jadi.

Selain itu, bukti rumah yang menandakan kita orang kurang mampu juga gampang banget dimanipulasi. Tinggal palsukan saja fotonya dan berharap tidak masuk sampel survei. Beres.

Saya sering banget dengar cerita-cerita soal penerima beasiswa KIP K yang begitu mudahnya memanipulasi data-data mereka.

Ada yang memalsukan slip gaji orang tua. Ada juga yang sengaja pakai rumah tetangga atau saudaranya yang “lebih jelek” sebagai data, padahal mereka sebenarnya golongan orang mampu.

Bahkan, ada yang sengaja ngontrak di rumah lain selama beberapa bulan untuk mengelabui seleksi dan verifikasi.

Mendengar cerita-cerita seperti itu, saya dan teman-teman penerima beasiswa lain yang memang kurang mampu cuma bisa ngelus dada. Kok, ya, tega banget melakukan manipulasi untuk dapat beasiswa.

Padahal, ada teman-teman lain yang lebih berhak dapat beasiswa tapi gagal mendapatkannya dan terpaksa harus mati-matian kuliah sambil kerja, atau bahkan mengubur mimpinya mengenyam bangku kuliah.

Tak heran jika akhirnya ketika para penerima beasiswa KIP K yang memanipulasi data ketahuan oleh netizen, mereka akan jadi bulan-bulanan.

Dihujat habis-habisan, diejek tanpa ampun, dilaporkan ke pihak kampus, dan didesak untuk segera mengundurkan diri dari penerima KIP K.

Ya, seperti inilah wajah pendidikan di negeri kita. Ironis dan kronis keadaannya. Mau menyalahkan sepenuhnya pada penerima beasiswa yang manipulatif juga kurang bijak.

Sebab, ada pihak lain juga yang patut disalahkan, yaitu pemerintah. Sekali lagi, pemerintah telah gagal menghadirkan pendidikan yang murah dan aksesibel bagi semua warga negara. Sudah gagal, pemerintah juga tidak becus dan seakan tidak niat ngurusin seleksi beasiswa.

Kalau pemerintah berhasil menghadirkan pendidikan yang murah dan aksesibel, mungkin kita tidak perlu ada beasiswa semacam KIP K.

Kalau pemerintah becus dan niat ngurusin beasiswa dan seleksinya, potensi kecurangan atau cara manipulatif tentu sangat bisa dihindari. Pastinya, beasiswanya akan tepat sasaran.

Sekali lagi, inilah wajah pendidikan kita hari ini. Pendidikan yang ironis dan kronis, mulai dari hulu sampai hilir.

Oh iya, kalau kalian punya cukup tenaga untuk menghujat penerima beasiswa KIP K yang manipulatif, pastikan kalian juga punya cukup tenaga untuk mendesak pemerintah menghadirkan pendidikan yang lebih murah dan lebih aksesibel untuk semua warga, tanpa terkecuali.

Penulis

Iqbal AR

Kembali jadi penulis lepas sejak akhir 2023. Kontributor di beberapa media daring seperti Mojok.co. dan KumparanPlus. Rutin makan es krim.
Opini Terkait
FOMO Isu Politik itu Baik, Tapi…
Kalimantan Tidak Melulu Tentang Kuyang!
Membela Gagasan Sistem Zonasi
Problematika Penghilangan Sistem Ranking dalam Agenda PPDB
Cinta Subuh, Program Ospek yang Sangat Nirfaedah

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel