Saat tulisan ini dibuat, layar pemberitaan tengah dipenuhi oleh kabar dugaan kasus kekerasan seksual terhadap belasan korban. “A”, terduga pelaku, kebetulan adalah seorang penyandang disabilitas fisik yang memiliki hambatan pada anggota gerak bagian atas.
Sayangnya, media nampak terjebak oleh bias yang mendalam ketika memberitakan kasus ini. Bias tersebut hadir dalam bentuk pelabelan terhadap status pelaku sebagai penyandang disabilitas.
Kita bisa melihat, media kompak memberikan sorotan yang terlalu berlebihan perihal kondisi kedisabilitasan pelaku. Selain itu, tidak sedikit pula media yang ramai-ramai menyematkan atribut “buntung” untuk menyebut pelaku.
Gaya pemberitaan ini berimplikasi pada dua persoalan besar. Pertama, ia melanggengkan penggambaran negatif mengenai penyandang disabilitas.
Menurut Remotivi, misrepresentasi menjadi salah satu penyakit akut yang menjangkit media ketika membicarakan penyandang disabilitas.
Media sering kali menggambarkan mereka dengan cara yang tidak adil, dan hal ini berdampak pada posisi sosial penyandang disabilitas di masyarakat.
Masalah misrepresentasi yang sama juga terlihat pada pemberitaan tentang kasus kekerasan seksual yang menyeret A sebagai pelaku. Atribut “buntung” yang marak disematkan oleh media, misalnya, tidak bisa diremehkan begitu saja.
Jika ditelisik melalui kamus tesaurus, diksi “buntung” setara dengan “pincang”, “timpang”, “sial”, “apes”, “celaka”, “malang”, “naas”.
Dengan demikian pengunaan istilah tersebut secara eksploitatif bukan tidak mungkin semakin mempertebal stigma penyandang disabilitas sebagai kelompok masyarakat kelas dua yang kekurangan, cacat, tidak utuh, tidak mampu, dan kekurangan.
Cara pandang ini biasa dipakai di dalam perspektif amal, di mana penyandang disabilitas selalu dilihat sebagai objek yang rentan, tidak berdaya, serta harus dikasihani dan ditolong.
Implikasi persoalan yang kedua adalah pemberitaan bernada labelling seperti ini juga mengalihkan dan mengaburkan fokus atas kekerasan seksual sebagai inti masalah utama. Seakan-akan kondisi kedisabilitasan pelaku adalah informasi yang relevan untuk disampaikan.
Padahal, posisi pelaku sebagai penyandang disabilitas jelas tak memiliki relevansi apapun dengan persoalan kasus kekerasan seksual. Tindak pidana atau moralitas individu tidak memiliki hubungan dengan kondisi kedisabilitasan.
Beberapa media bahkan juga memberikan panggung bagi narasi pelaku yang menggunakan kondisi kedisabilitasannya untuk menyangkal tuduhan kekerasan.
Hal ini sama saja dengan meremehkan urgensi kasus kekerasan seksual. Seolah-olah adalah sebuah anomali ketika seorang penyandang disabilitas fisik melakukan tindak pidana kekerasan.
Media mungkin lupa bahwa definisi kekerasan seksual itu sendiri semakin cair dan tidak selalu mensyaratkan aktivitas fisik. Menurut Undang-undang TPKS Nomor 12 Tahun 2022, kekerasan seksual juga bisa terjadi dalam nuansa verbal dan juga psikologis.
Modus tersebut menjadi tidak kalah bermasalahnya karena dengan demikian media ikut mereproduksi mitos-mitos yang keliru tentang kekerasan seksual, mengkerdilkan pengalaman korban, dan berpotensi menyulitkan publik dalam memahami situasi darurat dari kasus kekerasan seksual.
Tak hanya itu, publik pun beresiko diarahkan kepada simpati yang salah. Tidak menutup kemungkinan publik justru malah menyalahkan korban dan berempati kepada pelaku sebagai penyandang disabilitas, atau bahkan menambah lapis stigma penyandang disabilitas sebagai calon pelaku kekerasan.
Mengapa Gaya Pemberitaan Ini Ternormalisasi?
Praktik pelabelan berjamaah dari media terhadap penyandang disabilitas pelaku kekerasan seksual memperlihatkan adanya lubang besar di dalam praktik jurnalisme. Ada dua persoalan besar yang kiranya bisa menjelaskan mengapa gaya pemberitaan seperti ini dinormalisasi.
Persoalan pertama adalah minimnya perspektif para pekerja media mengenai isu disabilitas dan inklusifitas.
Dewan Pers sendiri telah menerbitkan Peraturan Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pedoman Pemberitaan Ramah Disabilitas. Pedoman ini di antaranya menghimbau wartawan untuk tidak melakukan stigma dan stereotip kepada penyandang disabilitas saat melakukan aktivitas jurnalisme.
Selain itu, pedoman yang sama juga menyarankan wartawan untuk tidak serampangan dalam memilih terminologi mengenai penyandang disabilitas.
Maraknya tren pemberitaan “Agus Buntung” memperlihatkan bagaimana sosialisasi dari pedoman ini belum menyentuh para pekerja media secara menyeluruh. Sehingga, pemberitaan yang ada masih banyak membawa stigma atau streotip negatif yang berkembang di masyarakat.
Di samping perspektif tentang isu disabilitas dan inklusifitas, media nampaknya juga masih minim perspektif korban. Di dalam kerangka kerja jurnalisme tradisional, wartawan dituntut untuk menghasilkan pemberitaan yang berimbang.
Prinsip ini memang tidak salah. Namun, jika tanpa adanya perspektif korban, modus keberimbangan ini hanya akan menghasilkan pemberitaan kekerasan seksual yang tidak adil. Hal ini terbukti dengan tren pemberitaan “Agus Buntung” yang masih banyak memberikan ruang bagi narasi penyangkalan dari pelaku.
Persoalan kedua berkaitan dengan corak ekonomi politik media. Penormalisasian atribut “buntung” dalam pemberitaan kasus kekerasan seksual yang menersangkakan A dapat dimaknai sebagai cara media untuk mendapatkan lebih banyak keuntungan.
Memanfaatkan stigma dan stereotip yang sudah langgeng di masyarakat dinilai efektif untuk menambah bumbu dramatisasi pada berita, dan dengan demikian dapat mengundang lebih banyak klik.
Perlunya Jurnalisme yang Inklusif Sekaligus Berperspektif Korban
Media memiliki tanggung jawab yang besar dalam memberitakan kasus kekerasan seksual. Bukan sekadar untuk menyampaikan fakta, tetapi juga memastikan bahwa korban mendapatkan keadilan dan hukum bagi pelaku ditegakkan.
Berikut ini adalah beberapa saran pendekatan yang bisa diterapkan oleh media ketika ingin meliput kasus kekerasan seksual yang menyeret penyandang disabilitas sebagai pelaku:
- Fokus pada Kekerasan, Bukan Identitas.
Pemberitaan harus fokus menyoroti tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pelaku, tanpa harus mengulas identitas pribadi yang tidak relevan, seperti kondisi kedisabilitasannya.
Berita harus menegaskan bahwa kekerasan adalah perilaku individual dan tidak mewakili kelompok yang direpresentasikannya.
Jangan sampai publik justru berempati kepada pelaku kekerasan hanya karena ia adalah seorang penyandang disabilitas, apalagi sampai mempersepsikan semua penyandang disabilitas sebagai calon pelaku kekerasan.
- Gunakan Terminologi dengan Hati-hati.
Terminologi bisa mengindikasikan stigma dan stereotip negatif tertentu. Oleh karena itu, media juga perlu berhati-hati memilih terminologi untuk menyebut penyandang disabilitas.
Dalam hal ini, wartawan bisa mengacu pada istilah ragam disabilitas yang telah diatur di dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Selain itu, jurnalis juga bisa menggunakan berapa terminologi alternatif yang disarankan di dalam Pedoman Pemberitaan Ramah Disabilitas dari Dewan Pers.
- Libatkan Perspektif Korban.
Memahami perspektif korban memang membutuhkan proses yang panjang. Namun, hal yang paling minimal yang bisa diupayakan oleh wartawan adalah membatasi ruang bagi suara pelaku dan sumber-sumber lain yang meremehkan urgensi kekerasan.
Pemberitaan sebisa mungkin menunjukkan empati dan dukungan kepada korban sebagai individu yang membutuhkan penanganan dan akses keadilan.
- Edukasi kepada Publik.
Ketika kasus kekerasan seksual menyeret kelompok rentan sebagai pelaku, publik rentan dihadapkan dengan berbagai dilema moral dan bingung kepada siapa harus berempati. Di sinilah media tidak boleh melupakan fungsi edukasi.
Media juga perlu membantu publik untuk memahami bahwa kondisi disabilitas memang membuat seseorang terpinggirkan, namun bagaimanapun tindakan kekerasan tetap tidak bisa dibenarkan.
Sebaliknya, karena penyandang disabilitas juga setara di mata hukum, mereka juga harus bertanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukannya dengan dukungan sistem peradilan yang inklusif.
Baca Juga: Menyuarakan Nasib PRT di Tahun Kritis