Menantang Toxic Masculinity: Melawan Pemerkosaan terhadap Laki-Laki

Menantang Toxic Masculinity: Melawan Pemerkosaan terhadap Laki-Laki

Membongkar Toxic masculinity: Sebuah Krisis dari Menjadi “Kuat”
Ilustrasi oleh Ahmad Yani Ali

Berita pemerkosaan terhadap laki-laki sedikit. Padahal kasus pemerkosaan terhadap laki-laki banyak juga loh.

Merasa nggak, kalo topik pemerkosaan terhadap laki-laki masih sering dianggap sepele dan cenderung diabaikan?

Ini bisa kita lihat dari media pemberitaan yang ada. Jika kita mengetikkan keyword “kasus pemerkosaan terhadap laki-laki” di Google, beritanya sedikit. Kasus pemerkosaan didominasi oleh perempuan dan pelaku mayoritas laki-laki.

Padahal kasus pemerkosaan terhadap laki-laki tuh banyak juga loh.

Ini bukan berarti saya membanding-bandingkee lohyaaa.

Tapi kasus-kasus pemerkosaan, atau lebih luas tentang kekerasan seksual, baik perempuan maupun laki-laki penting dibahas. 

Jadi meskipun kasusnya “terlihat” sedikit—atau barangkali sedikit yang ter-publish padahal sebenarnya banyaakk, tapi kasus pemerkosaan terhadap laki-laki ada dan terjadi.

Mengutip dari Indonesia Judicial Research Society (IJRS) yang berdasar data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlidungan Anak pada 2017, pada kelompok umur 13-17 tahun prevalensi kekerasan seksual terlihat lebih tinggi pada laki-laki sebesar 8,3% atau dua kali lipat dari prevalensi kekerasan seksual pada perempuan yakni 4,1%.

Tahun berikutnya, data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan kasus kekerasan seksual lebih banyak dialami oleh laki-laki dengan porsi 60% anak laki-laki dan sisanya anak perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual.

Dari data diatas menunjukkan bahwa laki-laki juga rentan mengalami pemerkosaan. 

Lalu kenapaa yaaa kok yang ter-publish di berita sedikit? Laki-laki yang speak up sebagai korban pun juga hampir tidak pernah terlihat.

Toxic Masculinity adalah Akar Masalahnya!

Pemberitaan kasus pemerkosaan yang kurang masif dan kurangnya korban yang speak up, masih terkait dengan toxic masculinity. Istilah ini mengacu pada seperangkat norma budaya dan harapan yang menentukan bagaimana seorang “pria sejati” seharusnya berperilaku. 

Masyarakat kita, seringkali menganggap bahwa laki-laki merupakan makhluk kuat, dengan menekankan ketangguhan, sikap tahan banting, dominasi, dan penekanan emosi. 

Media bahkan menggambarkan laki-laki sebagai makhluk yang agresif, tidak dapat dipuaskan secara seksual, dan tanpa emosi, mencerminkan dan memperkuat ekspektasi masyarakat.

Salah satu konsekuensi yang sangat menakutkan dari toxic masculinity ini adalah adanya stigma yang melekat pada korban pemerkosaan terhadap laki-laki. Kayak kok bisa sihh laki-laki diperkosa? Kena kekerasan seksual? Nggak mungkin ahhh. Laki-laki kan kuaaat harusnya bisa dong ngelawan.

Menurut sebuah artikel di Bitch Media, “Male Rape is No Joke- But Pop Culture Often Treats It That Way” budaya pop secara konsisten meremehkan pemerkosaan laki-laki, baik melalui humor kasar maupun dengan menggambarkannya sebagai lelucon.

Representasi merusak dari pelecehan seksual ini memperpetuasi gagasan bahwa laki-laki seharusnya tidak terguncang oleh pengalaman semacam itu, dan bahwa rasa sakit mereka bisa dianggap sebagai bahan tertawaan. 

Hal ini tidak hanya menghina korban pemerkosaan laki-laki, tetapi juga berkontribusi pada ketidakberanian korban untuk melangkah maju!

Harapan masyarakat terhadap laki-laki untuk sesuai dengan skrip toxic masculinity, lebih memperdalam gagasan bahwa pemerkosaan laki-laki adalah topik tabu yang sebaiknya tidak pernah dibicarakan.

Ketika kita mengungkap lapisan toxic masculinity dan dampaknya pada korban laki-laki, menjadi jelas bahwa stigma yang mengelilingi pemerkosaan laki-laki adalah krisis yang tidak disadari. 

Korban pemerkosaan laki-laki sering menghadapi keraguan dan ejekan saat mereka mencoba berbicara tentang pengalaman mereka. 

Ide yang sangat mendarah daging bahwa laki-laki seharusnya tahan banting terhadap “luka” membuat sulit bagi mereka untuk mencari bantuan atau dukungan.

Stigma meninggalkan korban merasa terisolasi, dengan trauma mereka tersembunyi di balik topeng kekuatan palsu. Keyakinan masyarakat bahwa “pria sejati” tidak bisa menjadi korban pelecehan seksual adalah beban yang sangat berat. 

Akibatnya, banyak korban menderita dalam keheningan, yang lebih memperburuk tekanan psikologis mereka. 

Menantang Toxic Masculinity: Melawan Pemerkosaan Terhadap Laki-Laki

Bagian penting dari perubahan yang diperlukan adalah pemahaman bahwa pemerkosaan adalah tindakan kejam yang dapat menimpa siapa saja, tanpa memandang jenis kelamin.

Untuk melawan pemerkosaan pada laki-laki, kita perlu merubah budaya yang mengutamakan kekerasan dan dominasi. Kita perlu mendukung pandangan maskulinitas yang positif, yang mencakup empati, menghormati hak-hak semua individu, dan menekankan pada hubungan yang sehat. 

Ini adalah bagian dari upaya lebih besar untuk memahami bahwa setiap orang, tanpa memandang jenis kelaminnya, memiliki hak untuk hidup tanpa takut akan pemerkosaan atau kekerasan.

Dengan menantang toxic masculinity, kita berdiri bersama korban dan berkomitmen untuk menghilangkan stigma yang melekat pada pemerkosaan terhadap laki-laki, menjadikan dunia ini tempat yang lebih ramah dan mendukung bagi semua.

Jadi, mari bersama-sama menantang toxic masculinity, karena hanya dengan meruntuhkan dinding-dinding ekspektasi yang merugikan ini, kita dapat menciptakan masyarakat yang memahami bahwa pemerkosaan adalah kejahatan yang merusak, tanpa memandang jenis kelamin.

Ketika kita menantang toxic masculinity, kita bukan hanya memerangi ketidaksetaraan, tapi juga membangun jembatan empati untuk menciptakan dunia yang lebih aman dan berdaya bagi semua. 

Penulis
Pramanajati

Pramana Jati Pamungkas

Belasan semester kuhabiskan di bangku kuliah jurusan pertanian. Sehari-hari menjadi buruh tulis di Sediksi.
Topik

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel