Hai gaes Selamat Hari Selasa!
Meskipun jarang ada yang mengucapkan selamat di hari ini, saya tetap akan mengucapkannya. Bisa dibilang ini sebagai bentuk merayakan Hari Senin setelah kita melewatinya dengan selamat dan tersenyum. Kenapa begitu? Karena Hari Senin adalah awal dimana seorang manusia normal yang berkegiatan dan terlebih para masyarakat urban kaum pekerja akan merasakan dua hal dalam lubuk hatinya yang terdalam. Yang pertama, rasa sedih tak percaya ketika detik berganti begitu cepat dan akhir pekan hanya berlalu begitu saja. Rasa yang kedua adalah rasa (seolah) bersemangat ingin bersegera menuntaskan hari yang katanya begitu panjang dan padat. Sehingga tanpa disadari sering kita dengar muncul ungkapan “I hate Monday” di tengah masyarakat kita. Sebuah penegasan jika hari Senin adalah hari yang menyebalkan dan suka tidak suka, seorang manusia harus kembali (ingin) melewatinya dalam kondisi perasaan apapun.
Namun beberapa waktu ini muncul ungkapan yang tidak kalah ngetrendnya. Ungkapan yang muncul dari kalangan masyarakat jenis baru yang menamakan diri “mahasiswa tingkat akhir”. Ungkapan itu berbunyi “I hate to be graduated”. Menurut berbagai kesaksian yang bisa dipercaya, ungkapan ini lebih menakutkan dari ungkapan legendaris “I hate Monday”. Salah satu alasannya adalah, rasa sakit dan benci yang muncul bukan hanya dirasakan dalam hitungan 24 jam. Bisa hitungan hari, bisa hitungan bulan, bisa juga hitungan tahun, hingga seorang tersebut benar-benar mampu melalui fase perenungan suci mencari jati diri dan tidak mewek saat mendengarkan Lagu Iwan Fals yang berjudul “Sarjana Muda”.
Hal itu sebab musabab yang melatarbelakangi dua kakak aktipis keren yang berlabel Sadam Husaen dan Abdus Somad menulis curhat revolusioner tentang mereka. Saya cukup tertarik dengan tulisan mereka di siksakampus.com. Karena selama ini, kita kerap melihat jika kebanyakan aktipis akan menomorsatukan kepentingan orang lain yang tertindas dan lembaga yang sekarat daripada memperhatikan kondisi (memprihatinkan) dirinya sendiri.
Namun saya menemukan hal lain, yaitu tentang sisi senyap seorang aktipis yang selama ini jarang diungkap ke permukaan. Hal ini begitu teramat senyap, Se-senyap perasaan Cinta yang pernah kehilangan Rangga 14 tahun lamanya.
Dan mungkin saking senyapnya sebenarnya mereka juga ingin berbisik dengan lirih dalam hati kepada seseorang yang gemar mengunggah foto prosesi wisuda di sosial media, “tahu ngga? apa yang kamu lakuin ke saya itu jahat”
Dan mungkin juga, yang menjadi sebab lain mereka menulis tentang perasaannya dengan sepenuh hati kakak aktipis tengah pada kondisi “Post Power Syndrome”. Kondisi dimana seseorang merasa gamang tanpa kekuasaan setelah sebelumnya punya peran yang lebih di dalam lingkungannya. Terlebih, apabila di penghujung perannya mendapati segala hal yang dikorbankan selama ini hanya diapresiasi dengan bentuk penolakan LPJ (ehh… bapeer). Sekedar informasi kakak Sadam adalah Mantan Sekjend Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia Kota Jember. Namun dalam kenyataannya, post power syndrome tak hanya menjangkiti mereka yang sedang tidak mempunyai kekuasaan, Kakak Somad yang notabene sekarang masih menjabat sebagai Sekjend Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia pun juga mengalami hal kegamangan yang sama. Khususnya gamang dalam hal perasaan dan mencoba untuk selalu terlihat tegar.
Tulisan ini bukan bentuk surat terbuka dari saya yang bukan apah-apah jika dibandingkan dengan mereka. Bukan pula semacam Pleidoi seperti surat Pahri Hamjah yang katanya merasa didzholimi dan teraniaya. Maka dari itu sengaja tulisan ini dimuat di Sediksi.com, bukan di siksakampus.com, karena sebagai bentuk solidaritas dan penegasan bahwa kita pernah merasakan hal yang sama. Ini hanya sebuah coretan yang mencoba menguatkan, meskipun sebenarnya saya yakin kalian sudah sekuat “Saitama Sensei” dan tidak perlu lagi meminum obat kuat.
Mungkin hampir semua masyarakat baru dengan label mahasiswa tingkat akhir akan merasakan hal yang sama. Merasakan dirinya sepi, sendiri dan tersisih apalagi jika harus berurusan dengan administrasi, jurusan, dan perpustakaan. Namun mungkin karena itu Goenawan Mohammad dalam sebuah ungkapan mengatakan “hakikat sebenarnya dari kesepian adalah ketika seseorang sudah tidak mempunyai tanggung jawab sosial” adalah salah satunya untuk menghibur para mahasiswa akhir yang berlabel mantan aktipis saat merasa kesepian tidak mendapati dirinya hanyut dalam kesedihan yang teramat mendalam. Hampir sama dengan ungkapan “wisuda adalah kesunyian masing-masing” atau “wisuda maka aku ada” yang terkonstruksi untuk menghibur diri sendiri.
Terkadang sebagai aktipis, mantan aktipis atau apapun yang sejenis, harus mulai legowo dan menyadari, jika kondisi di luar ruang senyapnya tak begitu ramah pada kondisi diri sendiri. Dan nampaknya lingkungan kerja dalam lingkungan urban memaksa seseorang untuk menumbuhkan sikap egois walaupun sebesar biji zarah. Dan apabila kesulitan menumbuhkan sikap egois, mungkin Senayan jadi tempat belajar yang tepat untuk tahu bagaimana cara menanamnya.
Karena jika melihat saat ini, kampus juga sudah tak lagi ramah terhadap jalan sunyi yang dipilih para kakak aktipis. Sederhana seumpama di kampus Universitas Borjuis yang mini namun mewah, mencari parkir untuk sepeda onthel saja sulitnya seperti mencari lapangan bola di rimba Jakarta, sold out hampir semua ruang terisi kendaraan bermotor dan juga deretan mobil mewah. Bahkan di Kota Malang yang beranjak urban dan sudah tidak dingin, Abah Wali yang katanya kerakyatan juga membenarkan ungkapan “aku wisuda maka aku ada”, dengan menyebutkan secara jelas di media jika angka pengangguran di Kota Malang mencapai 7% dari seluruh total jumlah penduduk, dan hampir semuanya disumbang oleh mahasiswa pendatang yang tidak segera kembali ke kampung halamannya.
Ya pada akhirnya para kakak aktipis juga harus bangun pagi membuka mata dan berolahraga, walaupun malamnya sudah terlanjur insomnia. Hal ini bukan karena pepatah kawak tentang rejeki dipatok ayam, tapi juga upaya untuk menghindari hal-hal baper menyakitkan yang lainnya. Seumpama melihat tetangga yang lulusan SMA sudah mampu beli kambing dan beranak dua, kawan lama foto memakai jas mengacungkan jempol dengan latar mobil mewah dengan caption “dahsyat luar biasa”, atau bahkan gebetan memilih menikah dengan orang biasa yang hidupnya lurus dan datar-datar saja, ya semua memang resiko dan harus dijalani dengan kekuatan ketika tiba pada waktunya.
Dan di penghujung tulisan ini saya hanya berharap semoga kalian semua selalu diberi kesehatan dan wajah yang ceria. Sembari rajin melakukan Yoga dengan iringan lagu The Rain dan Endank Soekamti, agar kita selalu sehat jiwa raga dan tetap bergandengan tangan (ih jijay).
*disaat tulisan geje ini telah rampung, saya mendengar kabar jika kakak Sadam Husaen yang kece dan gundul tengah bermasalah dengan pihak birokrasi kampus FS UJ (yang tidak dewasa) karena tulisannya. Saya secara pribadi sebagai warga asli kota Jember yang Cek Jembere, turut bersuwar-suwir atas segenap komponen kampus yang hobi main ludruk dan suka memerankan peran seolah selalu teraniaya. Dan saya turut berduka cita atas matinya budaya Padhalungan Kejemberan dalam ranah akademi budaya di kampus kerakyatan.