Anak Muda, ketimbang Politisi, Tangisilah Dirimu Sendiri

Anak Muda, ketimbang Politisi, Tangisilah Dirimu Sendiri

Anak Muda, ketimbang Politisi, Tangisilah Dirimu Sendiri
Ilustrasi oleh Arkandy Velkan Gisaldy

Saya hanya ini ingin para netizen itu menyadari bahwa sebenarnya yang pantas ditangisi itu diri mereka sendiri, bukan politisi kesayangannya itu.

Pasca debat Pilpres 2024 ketiga yang diikuti oleh para calon presiden (capres) beberapa waktu lalu, muncul beberapa konten viral di media sosial yang membuat geleng-geleng kepala. TikTok dan X (sebelumnya Twitter) saat itu diramaikan oleh unggahan para anak muda yang menangisi salah satu capres.

Jujur saja, saya sebenarnya muuales menanggapi tren para netizen di TikTok, khususnya tren nirguna seperti ini. Selain karena itu terkesan menye-menye, saya juga awalnya merasa buang-buang tenaga kalau harus ikut mengkritik mereka.

Akan tetapi, semakin ke sini, tren ini semakin menjadi-jadi. Bahkan, ada beberapa teman saya yang turut memeriahkannya di story WhatsApp mereka.

Saya juga belakangan mendapat info dari seorang mahasiswa bahwa katanya ada salah satu organisasi mahasiswa ekstra kampus (ormek) yang antar anggotanya sampai bertengkar gara-gara tren ini. Astaghfirullah, sampe segitunya lho!

Sebelumnya, saya ingin mengatakan bahwa saya bukanlah buzzer ataupun pendukung salah satu dari ketiga politisi yang nyapres itu. Saya juga bisa dibilang termasuk swing voters dalam pemilu 2024 ini.

Di sini, saya hanya ini ingin para netizen itu menyadari bahwa sebenarnya yang pantas ditangisi itu diri mereka sendiri, bukan politisi kesayangannya itu.

Paham Soal Debat Nanti, yang Penting Nangis Dulu

Meski saya nggak terlalu memperhatikan tren menangisi politisi ini, tapi saya tahu kalau tren tersebut muncul akibat konten yang menampilkan raut wajah Pak Prabowo ketika diserang oleh Pak Anies dan Pak Ganjar. Saya lupa siapa saja yang membikin konten itu. Yang pasti buanyak, dan Pak Erick Thohir adalah salah satunya.

Oh bukan, saya bukan bermaksud menyebut Pak Erick sebagai biang keladi merebaknya tren nangis-nangis ini. Saya cuman heran, mengapa ada yang menaruh rasa kasihan sampai segitunya saat melihat Pak Prabowo diserang oleh Pak Anies dan Pak Ganjar. Apalagi, sampai mencap Pak Anies dan Pak Ganjar sebagai orang jahat. Padahal, dalam debat, bersikap ofensif itu hal yang lumrah.

Maksud saya, yang namanya debat itu pasti selalu ada pihak yang pro dan kontra. Makanya, wajar kalau kemarin ada yang menyerang pendapat salah satu capres. Sebab, justru itu yang menjadi salah satu ciri khas debat; Mencoba menjatuhkan lawan yang pendapat atau argumentasinya lemah.

Sungguh betapa kasihannya mereka yang menangis hanya karena idolanya diserang dalam sebuah debat. Udah nggak paham soal debat, emosinya terkuras pula. Saran saya, mending nonton Spongebob saja, ora risiko!

Menyerang Personal Tidak Selalu Buruk Sejauh Argumennya Relevan

“Tapi kan, itu Pak Prabowo diserang secara personal?”

Sekarang begini, istilah “menyerang personal” dalam debat itu biasanya disebut “argumentum ad hominem.” Sederhananya, argumen yang tertuju pada pribadi atau karakter seseorang.

Kalaupun memang kemarin ada unsur personal, Doug Walton, akademisi asal Kanada, mengatakan bahwa argumen semacam itu juga tidak selalu salah, sejauh argumennya berhubungan dengan topik pembahasan.

Misal, topik pembahasannya tentang presiden, lalu ada argumen mengatakan “kalau rumah tangga dia aja berantakan, maka dia nggak cocok mengurus negara.” Nah, ini contoh argumen personal yang nggak berhubungan dengan topik pembahasan. Kenapa? Karena urusan rumah tangga dan negara itu dua hal yang berbeda.

Beda kalau misalnya ada argumen personal yang mengatakan, “seorang pemimpin yang mau memimpin negara demokratis harus pandai mengelola emosi. Sebab, kalau nggak bisa, bagaimana nantinya saat memimpin?”

Ini contoh argumentum ad hominem yang masih berhubungan dengan topik pembahasan. Sebab, negara demokratis pastilah dekat dengan kritikan, dan menerima kritik jelas membutuhkan pengelolaan emosi yang kuat.

Itu tadi cuman contoh saja. Saya rasa, serangan argumen yang ada kemarin sifatnya masih dalam taraf seperti yang dijelaskan Walton di atas. Hanya saja, memang ada beberapa serangan yang kurang substansial ke arah gagasan dan lebih ke arah mengundang sensasi saja.

Seperti soal tanah Pak Prabowo yang katanya ratusan hektar, sementara banyak prajurit yang tidak punya rumah dinas, misalnya. Pak Anies memakai argumen itu seakan-akan ingin menunjukkan kekurangan Pak Prabowo karena tanah Hak Guna Usaha (HGU) yang ia miliki tidak dipakai untuk keperluan rumah dinas para prajurit.

Hal ini memang ada relevansinya dengan tema. Hanya saja, seperti yang saya katakan tadi, kurang substansial ke arah gagasan.

Soal penilaian atas kinerja Pak Prabowo selaku Menteri Pertahanan (Menhan) pun demikian, mengandung unsur ad hominem. Akan tetapi, argumen ini juga masih ada relevansinya dengan tema debat.

Kasihan kalau Menanggapi Soal Politik dengan Emosional

Kembali ke soal fenomena nangis-nangisin capres, bagi saya, emosi mereka itu sayang sekali kalau terkuras hanya gara-gara menanggapi isu politik, apalagi yang bersumber dari for you page (fyp) TikTok.

Durasi video di TikTok itu terbatas. Dengan segala kompleksitas dunia politik yang ada, informasi yang ditampilkan jelas nggak cukup jika diambil sebagai bekal menanggapi dinamika politik.

Belum lagi kalau misalnya ada konten politik yang diproduksi oleh buzzer. Bukan tak mungkin jika para ‘tukang nangis’ ini akan cenderung mudah terjebak ke dalam framing si buzzer.

Sisi emosional mereka akan dimanfaatkan untuk menaikkan popularitas politisi tertentu. Buzzer yang dapat untung, emosi mereka yang buntung.

Saran saya, jangan menanggapi berita politik dengan emosional. Tanggapilah secara rasional. Meski saya bukan orang yang paham banget soal politik, tapi saya sedikit banyak tahu kalau politik itu urusannya sama rasionalitas. Tepat tidaknya suatu kebijakan atau bagaimana dampaknya terhadap rakyat jelas nggak mungkin dinilai dengan marah-marah atau nangis-nangis doang.

Anak Muda, Jangan Mau Diperbudak Sensasionalitas Politik

Sekali lagi, saya ini bukan buzzer, tim sukses, atau apapun itu, yang berpihak pada salah satu capres. Keresahan yang saya utarakan ini murni atas dasar keinginan agar anak-anak muda yang menjadi mayoritas pemilih di pemilihan umum mendatang tidak diperbudak oleh sensasionalitas politik, khususnya yang berasal dari media sosial.

Jangan cuman karena fyp TikTok yang durasi kontennya terbatas itu, lantas sok-sokan merasa sudah paham politik lalu dengan pd-nya menilai kualitas capres.

Cari tahu tentang berita-berita politik atau kebijakan-kebijakan politik yang diusung oleh masing-masing capres. Toh, mereka saat ini sudah punya website-nya masing-masing yang bisa diakses secara gratis.

Tapi, kalau mereka masih kekeh melakukan semua kekonyolan itu, sungguh betapa kasihannya mereka sebagai manusia muda. Udah dihadapkan dengan berbagai masalah krisis eksistensial atau quarter life crisis, diperbudak sama sensionalitas politik pula. Sengenes-ngenesnya Pak Prabowo dalam debat capres, kalianlah yang sebenarnya lebih pantas ditangisi.

Editor: Ahmad Gatra Nusantara
Penulis

Achmad Fauzan Syaikhoni

Pemuda yang kadang menulis dengan marah, serius, juga ala kadarnya.
Opini Terkait
Mengkritisi Bimbel SKD CPNS
Anomali Bahasa dan Hiperkoreksi Orang Sunda
Freelancer dan Ilusi Work Life Balance
Menimbang Kembali Aksi Sosial ke Panti Asuhan
(Nyaris) Tiada Harapan Dari Merah Putih
Salah Kaprah Perihal Matematika

Cari Opini

Opini Terbaru
Artikel Pilihan

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel