Program naturalisasi pemain keturunan yang lebih selektif yang digencarkan timnas sepak bola Indonesia dalam beberapa tahun terakhir menjadi salah satu faktor kunci peningkatan kualitas tim Garuda saat ini.
Salah satunya dapat dilihat dari keberhasilan Indonesia menembus Piala Asia lewat jalur kualifikasi untuk pertama kalinya sejak 2004 serta keberhasilan skuad asuhan Shin Tae-yong melaju ke babak 16 besar turnamen tersebut untuk pertama kalinya dalam sejarah.
Inilah yang membuat PSSI nampaknya akan terus melanjutkan program ini, di mana beberapa nama baru seperti Maarten Paes, Jay Idzes, Nathan Tjoe-A-Non, Thom Haye, dan Ragnar Oratmangoen kabarnya juga telah masuk pertimbangan pemain yang akan dinaturalisasi selanjutnya.
Meskipun punya bukti keberhasilan, program naturalisasi ini sendiri masih menimbulkan berbagai perdebatan, baik di antara permerhati sepak bola nasional, mantan penggawa timnas, serta para fans.
Dikotomi Pemain Naturalisasi dan Lokal
Cukup masifnya pemanggilan pemain keturunan yang dilakukan PSSI menyita perhatian jagad sepak bola nasional serta menimbulkan berbagai pro dan kontra.
Beberapa pihak menilai bahwa fenomena ini bisa saja memangkas kesempatan bagi pemain lokal untuk membela timnas. Bahkan, ada juga yang menganggap jika pemain-pemain keturunan ini bukan orang Indonesia sehingga tidak layak untuk membela timnas.
Sementara yang lain mengatakan bahwa pemain keturunan yang dipanggil oleh PSSI berhak membela timnas karena memiliki darah keturunan Indonesia serta, tentu saja, kualitas yang mumpuni.
Saya sendiri tanpa ragu setuju dengan langkah yang telah dilakukan oleh PSSI ini. Bagi saya, tidak peduli mereka mau tinggal di mana atau lahir di mana, selama masih memiliki darah Indonesia, mereka juga punya hak untuk membela merah putih. Hal yang saya sesalkan dari polemik ini adalah pemain keturunan seolah-olah dianggap sebagai orang asing.
Apa karena bentuk fisik mereka yang lebih mirip dengan orang Eropa sehingga terkesan aneh jika pemain-pemain keturunan ini mengenakan seragam dengan lambang garuda di dada?
Pola pikir yang umumnya muncul dari para kaum local pride ini saya rasa harus diubah. Di manapun mereka lahir dan tinggal atau bagaimanapun bentuk fisik serta rupa wajahnya, selama secara aturan yang berlaku memenuhi syarat untuk menjadi warga negara serta bermain di timnas Indonesia, maka PSSI sangat wajar untuk memanggil para pemain tersebut.
Bagi saya, mereka sama saja dengan pemain-pemain lain yang memiliki ayah asal Solo dan Ibu asal Probolinggo. Bedanya hanya dari jarak dan rasnya saja, serta mungkin dari kualitas, hehehe.
Selain itu, saya melihat apa yang dilakukan oleh PSSI ini juga masih masuk akal dan berada dalam taraf wajar, tidak membabi buta dengan memberikan kewarganegaraan secara serampangan. Pasalnya, dalam melakukan naturalisasi, setidaknya ada dua hal penting yang menjadi pertimbangan.
Selain harus memiliki darah keturunan Indonesia maksimal dari nenek atau kakek, para pemain keturunan yang dipanggil juga wajib memiliki kemampuan sepak bola yang mumpuni. Jadi, bukan sekedar mas-mas bule dengan skil pas-pasan.
Respons yang bagus dalam menghadapi polemik ini diberikan oleh para penggawa timnas Indonesia dengan mengirim postingan secara serentak yang menyatakan bahwa sejatinya mereka semua sama, baik itu pemain keturunan, naturalisasi, ataupun pemain lokal.
Mereka memiliki tujuan yang sama yaitu membela merah putih dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya di kancah internasional.
Dianggap Jalan Pintas
Suara kontra terkait pemanggilan pemain keturunan juga biasanya akan mengatakan bahwa PSSI mengambil jalan pintas. Mereka menuduh PSSI berusaha menutupi kekurangannya dalam pengembangan pemain muda dengan memanggil pemain keturunan. Intinya, PSSI dianggap ingin meraih kesuksesan secara instan.
Pengembangan pemain muda memang merupakan salah satu program yang perlu mendapat perhatian lebih. Tetapi, alih-alih melihat naturalisasi sebagai bom asap atas kegagalan pengembangan usia muda, mengapa tidak melihatnya sebagai salah satu penopang.
Pasalnya, kehadiran para pemain keturunan, yang semuanya pernah mengenyam ilmu-ilmu sepak bola di luar negeri pada usia muda, ini justru dapat membawa pengaruh positif, khususnya terhadap para pemain lokal yang masih dalam tahap perkembangan.
Lalu, terkait dinilai sebagai jalan pintas, apakah kualitas permainan timnas Indonesia yang diisi banyak pemain naturalisasi langsung ujug-ujug menyamai level Jepang? Bahkan, kualitas permainan timnas kita pun sebenarnya masih kalah dengan Vietnam, terlepas dari keberhasilan kita mengalahkan mereka pada penyisihan grup Piala Asia kemarin.
Jadi, terlepas dari berbagai capaian mengesankan skuad Garuda Muda akhir-akhir ini, harus diakui bahwa mereka juga masih butuh proses sebelum mencapai level bermain yang diharapkan.
Meskipun kualitas bermainnya belum bisa dibilang luar biasa, jangan disimpulkan kalau kualitas mereka sama saja dengan pemain lokal kebanyakan. Jelas beda lha boss.
Pelajaran Bagi Pemain “Lokal”
Pendapat yang kontra naturalisasi lainnya mengatakan bahwa dengan adanya gelombang pemanggilan pemain keturunan, maka kesempatan pemain lokal untuk bisa bermain di timnas akan semakin kecil. Sejujurnya, saya juga bingung dengan pandangan seperti ini.
Pemain keturunan seolah-olah dilihat sebagai produk impor yang akan mengganggu pasar produk UMKM lokal. Padahal, sudah jelas yang dipanggil oleh PSSI adalah pemain dengan garis keturunan Indonesia.
Justru dengan adanya pemanggilan pemain keturunan, para pemain lokal dapat belajar banyak. Pertama, belajar untuk meningkatkan kualitas bermain mereka karena sepak bola modern saat ini bukan hanya sekedar menendang bola dan berlari saja. Kemampuan fisik juga harus diimbangi dengan kemampuan intelegensia atau kecerdasan bermain yang mumpuni.
Berdasarkan pengalaman pribadi saya menonton timnas selama kurang lebih 15 tahun, saya sudah sangat hafal dengan pola bermain para pemain kita. Grasah-grusuh, pengambilan keputusan yang serampangan, teknik dasar pas-pasan, stamina amburadul, serta berbagai hal lain yang tidak mencerminkan gaya sepak bola modern.
Masalah-masalah tersebut sudah menjadi permasalahan klasik yang mendarah daging. Jika tidak ada upaya pembenahan nyata yang dilakukan, maka bisa dibayangkan ketika negara lain sudah mengembangkan sistem serta teknologi dalam sepak bola mereka, kita mungkin masih akan terjebak di persoalan-persoalan yang sama.
Nah, program naturalisasi ini dapat menjadi salah satu langkah nyata dalam pengembangan kualitas sepak bola kita. Selain kualitas bermain, kehadiran para pemain keturunan di dalam skuad kita juga diharapkan dapat menularkan tingkat kedisiplinan yang lebih profesional.
Aspek kedisiplinan tak jarang masih menjadi momok bagi para pemain lokal. Mendengar berbagai perilaku indisipliner yang masih dilakukan para pemain di level timnas merupakan hal yang sangat melelahkan bagi para fans.
Salah satunya terkait menjaga pola makan. Sandy Walsh pernah menyampaikan bahwa masih banyak pemain timnas yang mengonsumsi coklat secara berlebihan, di mana kebiasaan seperti punya efek yang buruk bagi atlet.
Belum lagi jika berbicara mengenai ‘penyakit’ Star Syndrome atau sikap terlalu egois dari beberapa pemain kita. Baru megang bola langsung gocak-gocek sendirian yang akhirnya lebih banyak gagalnya. Baru cetak gol ke gawang Brunei aja, senengnya udah kaya ngegolin ke gawang Brazil. Hal-hal seperti itu juga perlu diubah.
Semoga kejengahan kita sebagai pendukung timnas terhadap perilaku serta kualitas pemain lokal dapat terobati dengan kehadiran para pemain keturunan. Bukan hanya kita akan disuguhkan oleh kemampuan permainan ala Eropa, mereka juga akan memberikan banyak pengaruh positif pada pemain-pemain lainnya.
Tapi jangan lupa, program naturalisasi juga masih harus diikuti dengan berbagai program lain, seperti pengembangan usia muda, peningkatan kualitas liga di semua level, menekankan disiplin profesional, dan lain-lain, demi meningkatkan kualitas olahraga yang katanya paling dicintai di negara ini.
Semoga timnas merah putih dapat kembali menjadi Macan Asia, minimal di Asia Tenggara dulu, dan di masa mendatang dapat mulai berbicara di tingkat dunia.