Cuti 40 Hari Untuk Suami: Solusi atau Sensasi?

Cuti 40 Hari Untuk Suami: Solusi atau Sensasi?

Cuti 40 Hari Untuk Suami: Solusi atau Sensasi?
Ilustrasi oleh Vivian Yoga Veronica Putri

Bagi saya, mau cuti 2 hari, 40 hari, atau bahkan setahun pun tidak akan mengubah kondisi jika proses pendidikan kesetaraan tidak berjalan secara masif dan terstruktur.

Gagasan cuti 40 hari untuk suami yang istrinya melahirkan sempat menerima banyak kritikan dan cemohan kala Anies Baswedan menjadikannya salah satu janji kampanye Pilpres beberapa bulan lalu.

Banyak di antara netizen yang menganggap agenda tersebut mustahil untuk dijalankan. Beberapa pihak juga mempertanyakan terkait kesediaan perusahaan untuk mengizinkan karyawannya cuti hingga 40 hari, sedangkan produksi tetap harus menjadi prioritas.

Ada pula yang menyindir, ngapain cuti sampai 40 hari? Mau ikut menyusui bayinya kah?

Padahal, apa yang dikatakan Anies salah satunya berkaca pada maraknya pemberitaan angka isu Fatherless di Indonesia. Indonesia sendiri sempat diberitakan sebagai negara dengan angka tertinggi ketiga di dunia perihal persoalan ini. Kebenaran penelitian tersebut memang belum dapat dipastikan.

Namun, hal ini tidak serta merta membuat Fatherless serta gagasan cuti untuk suami yang istrinya melahirkan menjadi tidak penting.

Apalagi setelah kejadian Pilot dan kopilot Batik Air yang tertidur dalam penerbangan menuju Kendari, di mana belakangan diketahui bahwa sang kopilot ternyata kurang istirahat setelah ikut membantu istrinya menjaga bayi mereka beberapa saat sebelum bertugas.

Aturan Paternity Leave di Indonesia Belum Efektif

Di Indonesia, istilah paternity leave (cuti suami untuk menemani istri yang melahirkan) masih terdengar asing jika dibandingkan dengan istilah maternity leave.

Hal ini menyebabkan partisipasi ayah untuk mengambil paternity leave tidak sebanyak ibu yang mengambil maternity leave. UU Ketenagakerjaan sendiri sebenarnya sudah mengatur terkait hal ini, tapi bisa dibilang masih kurang efektif.

Pasalnya, cuti yang diberikan kepada para suami hanya 2 hari. Jadi, bisa disimpulkan bahwa ini sebatas cuti menemani istri melahirkan saja, tidak termasuk menemani istri pada periode awal pasca persalinan.

Sejauh ini, hak cuti suami untuk menemani pasangannya mengasuh anak belum diatur secara khusus dalam perundang-undangan.

Sehingga, tidak mengherankan jika masih marak dijumpai kasus-kasus baby blues syndrome hingga istri yang memilih untuk resign dari pekerjaannya karena harus mengasuh anak tanpa ditemani suami.

Beban dan tanggung jawab pengasuhan utama kemudian diberikan pada ibu. Sehingga, apabila si ibu meninggalkan anaknya untuk bekerja di sektor publik, ia yang akhirnya disalahkan.

Stigmatisasi sebagai orang tua tidak becus, egois, dan tidak bertanggungjawab hampir tidak pernah ditujukan kepada ayah, melainkan hanya pada ibu.

Di sini lah pentingnya penerapan aturan paternity leave yang tidak hanya sekedar untuk menemani istri melahirkan. Ambil contoh, Jepang, yang mengatur hak pekerja laki-laki dan perempuan untuk mengasuh anak di dalam Undang-Undang Cuti Mengasuh Anak dan Merawat Keluarga.

Ketika paternity leave diterapkan dengan benar, selain mempererat ikatan emosional seorang ayah kepada anak, hal ini juga dirasa mampu untuk mewujudkan relasi kesetaraan gender.

Cuti Perempuan Juga Masih Perlu Mendapat Perhatian

Sepertinya sudah menjadi kebiasaan buruk, ya, ketika dalam suatu kontestasi politik para calon pemimpin mengobral janji-janji populis tanpa berkaca pada sejarah dan realita.

Anies bicara soal cuti 40 hari untuk para suami tanpa melihat realita bahwa sampai saat ini buruh perempuan saja masih susah untuk mendapatkan hak cuti haid.

Rasa keram perut sampai tulang pungung, pusing, mual, hingga muntah adalah siklus bulanan yang harus dihadapi para buruh perempuan.

Segala rasa sakit yang dirasakan menghalangi ruang gerak perempuan. Jangankan untuk bekerja, untuk sekedar berjalan ke kamar mandi saja kadang terasa menyiksa.

Meski begitu, para pemberi kerja ogah memberikan cuti haid bagi buruh perempuan yang menderita nyeri haid pada hari pertama dan kedua.

Padahal, hak untuk beristirahat selama dua hari pertama masa menstruasi sudah diatur dalam UU no 13 tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan.

Pasal yang mengatur pun jelas, bahwa pekerja yang mengambil cuti haid dikarenakan sakit akan tetap mendapatkan upah (pasal 93 nomor 2 huruf B).

Apakah Aturan Terkait Cuti Saja Cukup?

Jika ditanya apakah pemberian cuti 40 hari untuk suami adalah solusi? Saya rasa perlu dikaji kembali. Sebab, sebuah perubahan tidak bisa hanya didasarkan pada hal-hal yang bersifat permukaan dan spontan.

Bagi saya, mau cuti 2 hari, 40 hari, atau bahkan setahun pun tidak akan mengubah kondisi jika proses pendidikan kesetaraan tidak berjalan secara masif dan terstruktur.

Banyak, loh, suami yang masih memiliki mental penjajah dan istri yang cenderung menikmati keterjajahan. Iya, bisa saja si istri bahagia-bahagia aja, tuh, meskipun mengalami ketidakadilan pada ranah domestik.

Belum lagi bagi pasangan yang mungkin memiliki keterbatasan finansial, misalnya. Si istri mungkin ingin bekerja untuk membantu perekonomian keluarga, namun tidak memungkinkan untuk meninggalkan urusan rumahnya.

Atau ketika suami menginginkan istri bekerja sekaligus mengasuh anak, namun si suami tidak berkontribusi apapun dalam urusan domestik. Hal-hal semacam itu masih kerap terjadi, di mana perempuan menjadi pihak yang lebih dirugikan.

Mentalitas keberpihakan pada kelompok superior-maskulin yang masih banyak diamini oleh mayoritas masyarakat kita bukanlah suatu hal yang terjadi secara alamiah.

Hal tersebut memang dibangun, dibentuk, dan dikampanyekan mulai dari kelompok hierarki terkecil (keluarga), hingga negara yang merupakan hierarki terbesar. Bentuknya bisa berupa pengatasnamaan aturan adat, norma masyarakat, hingga doktrin agama tertentu.

Marx pernah mengatakan bahwa keluarga inti mempunyai fungsi kontrol ideologis. Intinya, keluarga sebagai unit terkecil memiliki peran besar terhadap pembentukan ideologi.

Dalam konteks pembentukan ideologi yang menjunjung tinggi kesetaraan, setiap keluarga diharapkan mampu untuk menciptakan suatu generasi yang paham kesetaraan dan tidak patriarkis.

Perspektif keluarga sebagai pembentuk nilai bagi anak bisa diwujudkan jika iklim rumah tangga dibangun atas dasar kesetaraan dan keadilan. Kondisi mental dan psikis ayah dan ibu harus sama-sama sehat.

Ditambah dengan penerapan paternity leave dan maternity leave secara maksimal diharapkan menjadi sebuah katalis perubahan menuju Indonesia yang lebih berkemajuan. Qobul!

Penulis

Suci Nor Afifah

Manusia kelebihan energi yang biasa disalurkan melalui tulisan, baking dan nonton anime. Mengikuti isu lingkungan dan perempuan. Mari berteman di instagramku @suciahimsa_

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel