Esensi Kerjasama Suami-Istri, Malah Rugikan Laki-Laki?

Esensi Kerjasama Suami-Istri, Malah Rugikan Laki-Laki?

Jika perempuan memiliki penghasilan lebih sekalipun, itu seharusnya juga tidak menjadi persoalan lagi, bukan?

Seiring berkembangnya zaman, peran egaliter atau pembagian peran dan tugas antara suami dan istri dalam rumah tangga yang bersifat lebih fleksibel semakin lantang. Misalnya dalam urusan domestik, para suami-istri sepakat bahwa urusan domestik adalah basic skill yang tidak hanya ditanggung oleh salah satu gender. Tak sedikit juga suami yang mulai mendukung istri untuk berkarya dan berkarir setinggi-tingginya.

Namun jika ditelurusi lebih dalam, menurut saya hal itu berpotensi merugikan suami atau laki-laki. Lha kok bisa? Jadi saya nggak mendukung bentuk kerjasama antar suami-istri ini? Apa saya pendukung patriarki?

Sebentar, sebentar. Bukan saya tidak mendukung kerjasama antara suami dan istri. Bukan juga saya menolak perempuan untuk mengepakkan sayap dalam berkarya. Dan jelas saya bukan pendukung budaya patriarki. Tapi saya rasa kok ada yang salah ya…

Begini, menurut saya laki-laki kerap kali dituntut untuk turut serta membantu pekerjaan rumah dengan dalih ‘kerjasama’. Namun, tak sedikit perempuan yang juga menuntut laki-laki untuk memiliki karir lebih tinggi darinya.

Hah? Apa iya seperti itu?

Sebelumnya saya mau cerita sedikit. Jadi suatu ketika saya duduk bersama teman-teman perempuan, bertukar cerita, membahas soal arti kerjasama, esensi ‘perempuan boleh berkarir, urusan domestik tanggung jawab berdua’, dan segala hal tentang patriarki. Lalu saya mendengar kalimat yang cukup menggelitik di telinga, seperti ini,

Mosok karirku nanti lebih tinggi dari dia?” ujar salah satu teman perempuanku.

Bukankah itu lucu? Jika kita sepakat untuk sama-sama berkarya, maka siapa saja yang berada di puncak bukanlah persoalan lagi. Jadi, apa salahnya jika perempuan memiliki karir yang lebih tinggi dari laki-lakinya?

Jika perempuan memiliki penghasilan lebih sekalipun, itu seharusnya juga tidak menjadi persoalan lagi, bukan?

Tuntutan laki-laki harus ikut turun tangan dalam pekerjaan domestik seakan berbanding lurus dengan tuntutan ia harus memiliki karir lebih tinggi dari perempuan.

“Bukankah seharusnya karir laki-laki memang berada di atas perempuan?”

Saya kurang sepakat dengan kalimat itu. Tidak seharusnya perempuan menuntut karir laki-laki berada di atasnya jika ia saja tidak mau dituntut lihai mengurus pekerjaan rumah.

Maka di sini, saya mulai melihat bahwa patriarki bisa membawa dampak yang tidak menyenangkan atau berpotensi membuat laki-laki memiliki peran ganda. Perempuan yang telah memahami makna patriarki, di mana ia enggan dituntut mengurus rumah hanya karena dia perempuan, maka seharusnya ia juga tidak menuntut laki-laki harus lebih tinggi karirnya hanya karena ia laki-laki.

Kalau boleh jujur, saya sangat suka dengan obrolan soal patriarki. Saya cukup aktif mengajak perempuan berdaya. Saya suka melihat sesama perempuan mampu berkembang dalam konteks karir. Namun ketika saya melihat perempuan yang memiliki karir lebih dari pasangannya, kemudian ia mulai menuntut, wah, sudah jelas bahwa itu lahir dari budaya patriarki. Apalagi jika perempuan itu sampai merendahkan pasangannya.

Menurut Pinem (2009) dalam buku Kesehatan reproduksi dan kontrasepsi, patriarki merupakan sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang sentra; dalam sebuah organisasi sosial. Sehingga posisi laki-laki dianggap lebih tinggi daripada perempuan dalam banyak aspek kehidupan, baik sosial, budaya, hingga ekonomi.

Dari situ kita bisa lihat bahwa budaya patriarki tidak hanya menyetir laki-laki untuk menuntut perempuan namun juga sebaliknya. Karena budaya tersebut, masyarakat kerap menuntut suami untuk memiliki karir serta pendapatan, yang lebih tinggi dari perempuan. Serta istri tidak boleh lebih unggul dari sang suami dan melimpahkan urusan domestik pada peran istri.

Oleh karenanya, beberapa perempuan ingin kesetaraan dalam konteks, ia bebas berkarir dan harus dibantu soal urusan domestik. Namun, laki-laki tetap harus lebih hebat soal cari uang. Cara seperti ini menurut saya juga masih menyisakan budaya patriarki. Sebab hal itu masih membuat kesulitan dan menguntungkan salah satu pihak.

Saya pikir kalau ingin menerapkan kesetaraan, perempuan juga harus siap jika dia yang memiliki pendapatan lebih. Karena jika bicara soal pendapatan sendiri, hal itu tidak ada kaitannya dengan ‘laki-laki’ atau ‘perempuan’. Keduanya punya kesempatan yang sama. Toh urusan domestik jadi pekerjaan berdua juga, bukan?

Jadi, perempuan tidak ada lagi alasan ia kesulitan mengejar karir karena harus mengurus domestik seorang diri.

Perempuan yang masih mengelu-elukan kesetaraan gender namun naik darah ketika laki-lakinya tidak bisa lebih sukses darinya, sebenarnya masih termakan budaya patriarki.

Katanya, “Mosok aku yang perempuan yang jadi kepala keluarga?”

Padahal kalau dibalik, laki-laki yang mengurus rumah juga sah jika mengatakan, “Mosok aku jadi bapak rumah tangga?”

Perihal kerjasama antara laki-laki dan perempuan tidak melulu harus 50:50. Beragam situasi kerap menggagalkan hal tersebut. Bisa jadi laki-laki mengurus pekerjaan rumah lebih banyak karena memang memiliki waktu lebih senggang. Boleh jadi perempuan bekerja lebih keras karena memang ia mumpuni.

Ini bukan lagi soal laki-laki dan perempuan tapi tentang tim yang solid untuk membangun rumah tangga agar lebih baik dengan jalan kerjasama. Kerjasama antar suami dan istri merupakan konsep di mana segalanya terjadi atas dasar persetujuan kedua belah pihak tanpa membawa-bawa gender lagi.

Jika kerjasama mampu dijalankan dengan baik, laki-laki tidak akan menuntut perempuan pandai mengurus rumah dan perempuan tidak akan menuntut laki-laki memiliki karir lebih unggul darinya.

Baik suami maupun istri boleh sama-sama pandai mengurus rumah karena menyadari bahwa urusan domestik merupakan basic skill yang harus dimiliki setiap orang tanpa memandang gender. Laki-laki juga bisa mengejar karir setinggi-tingginya saat ia sadar bahwa itulah mimpi yang ia genggam selama ini dan karena memang ia mampu, begitu sebaliknya perempuan.

Sehingga tidak ada lagi kalimat, “Kamu kan perempuan jadi harus pandai masak, nyuci, urus anak, urus rumah,”. Dan tidak akan ada lagi, “Kamu kan laki-laki, jadi harus bisa menanggung semua biaya hidup kita,”.

Editor: Rifky Pramadani J. W.
Penulis

Chandra Indah Kusumawati

Suka menulis dan menggambar. Senang tantangan biar hidup nggak datar-datar amat!
Opini Terkait
Polemik ODGJ Dalam Pusaran Pemberitaan Pemilu
Cuti 40 Hari Untuk Suami: Solusi atau Sensasi?
Ironi KPU di Balik Gugurnya Anggota KPPS
Jebolnya Taktik Parkir Bus PDIP
Sisi Lain Aksi Kamisan yang Dituding Aksi Bayaran
Topik

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel