Politik ketakutan atau politics of fear seakan menjadi mantra dalam arena politik belakangan ini, khususnya setelah geger pemutaran film Dirty Vote. Bagi yang sudah menontonnya, pasti sudah tahu apa saja yang dibahas oleh para ahli hukum tata negara, seperti Bivitri Susanti, Feri Amsari, dan Zainal Arifin Mochtar, di dalam film garapan Dandhy Laksono itu.
Rilisnya Dirty Vote menjelang hari pencoblosan tentu saja memunculkan beragam respons. Dari yang merasa semakin tercerahkan terkait begitu kotornya praktek politik di Indonesia, terutama dalam kaitannya dengan sistem pemilihan elektoral, hingga yang merasa ketar-ketir karena menganggap film tersebut menyerang paslon tertentu.
Namun, dari berbagai reaksi yang muncul, kita sepertinya bisa bersepakat bahwa film ini memunculkan kepanikan, mengubah masa tenang Pemilu menjadi ‘masa tegang’.
Politik Ketakutan: Senjata Beracun dalam Arena Kontestasi Politik
Politik ketakutan bukanlah hal baru dalam dunia politik. Namun, seiring berkembangnya teknologi dan media sosial, politik ketakutan semakin mudah menyebar luas dan menjangkiti masyarakat.
Politisi dan calon pemimpin kerap menggunakan retorika yang menimbulkan ketakutan untuk memperoleh dukungan, mengalihkan perhatian dari isu-isu nyata, atau bahkan mengintimidasi lawan politik serta mereka yang berani mengkritik.
Kepanikan akibat penayangan Dirty Vote menjadi salah satu bukti suburnya dampak politik ketakutan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari masih tingginya tingkat sentimen serta penilaian atau reaksi yang cenderung hitam-putih (pendukung-penentang paslon tertentu) di antara masyarakat.
Perdebatan, diskusi, atau kritik yang didasarkan pada bukti-bukti ilmiah seolah sering absen. Padahal, dalam berdemokrasi dan berpolitik, masyarakat bukan hanya memiliki hak suara untuk memilih pemimpinnya, tapi juga mengkritisi dan memberikan feedback, terserah mau berupa kritik constructive atau pun destructive. Atau bahkan, keduanya malah bisa dilakukan secara bersamaan.
Kritik atau feedback yang constructive berbentuk masukan dan saran berupa solusi dan rekomendasi termasuk di dalam kesempatan hearing dengan menyampaikan policy brief dan lain sebagainya.
Sedangan feedback yang destructive adalah untuk menampar para pemimpin yang melakukan abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan yang hanya menguntungkan diri mereka dan orang-orang terdekat.
Cerminan Realitas Politik yang Pahit
Di tengah riuhnya kegegeran penayangan film Dirty Vote, ketiga narasumber beserta sutradara film ini dilaporkan ke polisi dengan tuduhan melanggar UU ITE (Undang-Undang Inforasi dan Transaksi Elektronik).
Meskipun demikian, mereka justru semakin lantang untuk hadir di berbagai forum untuk menangkis tuduhan tim paslon 02 dan para pendukungnya yang merasa film ini sebagai fitnah.
Seperti dalam Forum Demokrasi, Bedah Film Dokumenter Dirty Vote: How Dirty Can You Go yang dilaksanakan oleh Jaringan Gusdurian dan Gardu pada Selasa malam, 13 Februari 2024, Bivitri Susanti dan Dandhy Laksono menegaskan bahwa film ini bukanlah kampanye hitam (black campaign).
Film ini hanya mencoba untuk menggambarkan realitas pahit politik Indonesia saat ini. Ia tidak hanya berfokus melihat kebobrokan pada paslon 02, namun juga membuka mata penonton tentang rekam jejak paslon 01 dan 03.
Secara keseluruhan, Dirty Vote menggambarkan kecurangan, kelicikan, dan manipulasi yang terjadi dalam proses politik, terutama dalam konteks Pemilu 2024.
Sangat mengenaskan jika melihat bahwa pembuat film dan para narasumbernya—para ahli di bidang hukum—yang memilih untuk tidak duduk santai di kursi emas menara gading mereka malah dihadapkan pada ancaman pidana dan intimidasi.
Fenomena ini lagi-lagi menjadi bukti masih kuatnya praktek politik ketakutan di negara ini, bahkan setelah tumbangnya Orde Baru. Kebebasan berekspresi dan keadilan dalam masyarakat demokratis yang jelas-jelas dilindungi konstitusi UUD 1945 Pasal 28 seolah menjadi tidak ada artinya.
Tantangan Menyelamatkan Demokrasi yang Sekarat
Pertama, kita semua perlu meningkatkan kesadaran diri dan orang-orang di sekitar kita tentang apa itu politik ketakutan dan dampak negatifnya terhadap demokrasi.
Pemilih harus lebih kritis dalam menyaring informasi, berani menyuarakan kebeneran berdasarkan nurani, dan tidak terjebak dalam narasi yang menakutkan meskipun disampaikan oleh pihak yang memiliki jabatan atau pun kekuasaan.
Kedua, terus berupaya untuk mengawal dan menjadi benteng untuk menegakkan kembali demokrasi yang telah layu dan bahkan sekarat. Tanpa masyarakat yang kritis, bernurani, dan melek politik, demokrasi menjadi tidak ada artinya.
Demokrasi tanpa demos atau masyarakat hanya akan tersisa kratos atau kekuasaan. Kekuasaan yang tidak dibatasi, dipantau, dan anti kritik, adalah otoritarianisme seperti yang terjadi pada masa Orba.
Ketiga, berkaca dari usia 17 tahun Aksi Kamisan, kita perlu menyadari bahwa belum ada upaya nyata dan niat baik tanpa udang di balik bakwan dari pemerintah untuk benar-benar menegakkan demokrasi.
Jangan sampai kita menggawangi semakin suburnya Orba yang nyatanya tidak pernah benar-benar lengser apalagi musnah dari bumi pertiwi Indonesia. Jika pada akhirnya golput adalah cara yang dipilih karena sudah sangat muak dan kecewa pun tidak masalah. Sebab, pilihan untuk menggunakan suara kita adalah hak demokratis.
Akan tetapi, jika kita memutuskan untuk memilih, pilihlah yang paling sesuai dengan akal sehat serta nurani murni kita. Pilihlah mereka yang memiliki program jelas dan tidak sekadar janji manis, dan juga mau membuka pintu dan mempersilahkan duduk bersama untuk bertukar pikiran dan menerima masukan.
Terkait pilihan dalam Pemilu, mungkin sementara ini sudah tidak terlalu relevan untuk dibahas. Namun tentu saja, hal ini dapat menjadi bekal pada pemilihan-pemilihan selanjutnya.
Terakhir, terkait film Dirty Vote, meskipun rasanya masih cukup kurang untuk membantu masyarakat luas melek politik, pendidikan politik yang dibawanya sangatlah penting, mengingat politik bukanlah suatu hal yang bersifat musiman seperti Rambutan atau Mangga.
Ia tidak hanya dipraktekkan per lima tahun sekali. Berpolitik harus dilakukan setiap hari, di mana masyarakat bukan hanya diobjetifikasi menjadi ceruk suara yang dimonopoli dengan janji-janji manis dan uang amplop.